Biarkan jiwa ini terlepas dari bungkusnya. Tubuh telah letih memaknai hidup yang berjalan di tempat tanpa pernah memperoleh sedikit ruang bahagia. Jika nyawa telah berpisah dari dunia, maka carut-marut derita tak perlu lagi dicari sebabnya, karena air mata tak hendak tercurah dari titik mata air kepedihan. Jadi, bila tubuhku melayang bebas dari jembatan Liliba ini, jangan kau tangisi pecahan raga yang terserak, karena aku kini bukan siapa-siapa, aku telah melebur bersama debu tanah dan membujur kelu.
Liliba! Jembatan yang berdiri kokoh di sepanjang perjalanan menuju Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur itu, diam membisu. Mayat yang berada di dasar jurang yang curam dan kering itu, seakan menyimpan cerita melalui luka-luka memar yang tampak pada sosok pemuda berusia dua puluh tahun itu. Konon ia terjun dengan bebas melalui tepian jembatan yang terbuat dari baja kokoh dan perkasa. Jalur di jembatan yang senyap di malam hari, menyajikan suasana sendu yang membangkitkan beragam kisah pahit untuk menjadi pemicu seseorang melakukan bunuh diri. Tebing yang menyerupai lembah, penuh dengan rumput liar yang berpadu dengan pohon lontar itu, benar-benar seperti dua bukit yang disambung oleh beton dan baja yang panjangnya sekitar seratus meter. Jika malam tiba, jembatan ini bagai lintasan sunyi yang lamat-lamat menyanyikan lagu perkabungan dengan iringan musik sesandu. Dua tebing curam tersebut bagaikan gundukan bukit hitam karena penerangan kerap tak berfungsi di jembatan itu. Kota Kupang memang sering mati lampu. Penerangan hanya tampak di jalan-jalan tertentu yang ada di kota yang sebagian bertanah karang dengan pelukan laut biru nan indah di sekelilingnya.
Posisi mayat terlihat dari pinggir jembatan, ia tertelungkup dengan kepala retak. Itulah mayat kelima yang mengambil keputusan penuh dramatis untuk menerjunkan diri ke jurang curam melalui jembatan yang namanya menyimpan kisah pilu tentang hidup dan kehidupan itu sendiri. Pemuda itu mungkin membawa beragam kisah miris yang ia tanggung dan kisah itu berada di luar jangkauan nalar manusiawi serta jiwa murni yang bersemayam di tubuhnya.
Kenyataan yang tertera lambat laun menjadi gunjingan yang menarik perhatian. Ia telah menjadi sarkasme, berpadu dengan deru pembangunan yang menyeruak penuh gempita di kota itu. Nusa Tenggara Timur, khususnya Kupang, dulunya adalah daerah yang menyimpan beragam kisah sejarah yang penuh cerita tentang sisi patriotisme para raja yang mendiami berbagai Nusak (Pulau), di antaranya Semau, Sabu Raijua, Flores, Solor, Alor hingga Rote. Geliat kehidupan sama seperti penduduknya, perlahan menunggu sang mentari tenggelam di ufuk barat. Laut dan deburan ombak terdengar di kota tua pesisir yang dipenuhi dengan nelayan berkulit coklat pekat. Mereka bergembira dengan hasil tangkapan ikan-ikannya. Namun para pemuda menatap nanar dan menunggu kisah selanjutnya dari jalinan kehidupan tentang masa depan mereka.
Itu dulu. Tatkala era orde baru dan transportasi masih menjadi barang mahal yang sulit dijangkau. mimpi menyeberang ke tanah Jawa dan menjadi manusia urban yang mendiami sudut-sudut pinggiran Ibu Kota Jakarta, menjadi mimpi yang selalu datang di tiap benak mereka. Jakarta dan kota-kota besar lainnya di bumi ini, menerima para generasi muda NTT dan memberikan beragam kehidupan baik itu kasar maupun halus. Ya, ada yang memilih di jalan kekerasan, ada yang menjadi politisi, ada yang menjadi pelaut, dan ada pula yang menjadi intelektual. Semua berpadu bersama siklus yang datang melalui hitungan waktu. Kembali ke Kupang, memandang karang, lontar dan riak ombak di lautan, tak lagi menjadi mimpi indah untuk merajut asa di masa depan. Hampa dan kering itu yang kerap muncul di benak.
Lalu eksodus para perantau terjadi dengan perlahan dan pasti. Kota Kupang senyap. Para generasi muda terbawa oleh eforia ibu kota dengan gemerlap lampu warna-warni yang berpendar menyilaukan. Kerinduan pulang ke kampung halaman mulai pupus. Hingga beranak-pinak, semua peradaban tentang masa lalu terlupakan. Anak, cucu, hingga cicit menikah dan membaur dengan penduduk di rantau. Akar budaya tersamarkan, mereka menjadi manusia baru dengan asal-usul baru yang telah lupa jalan untuk pulang.
Itu dulu. Kala musik petik sesandu menyanyikan lagu Bo Lele Bo. Menggugah rasa rindu tentang kampung halaman, juga kala pohon lontar menjadi salah satu sumber kehidupan bagi para tetua yang asyik memamah sirih di rumah bebak, rumah tradisional yang terdiri dari pelepah dan batang pohon lontar.
Dan jembatan Liliba menerima imbas yang sangat melodramatis yang keluar dari keluhan suara hati terdalam para generasi mudanya. Entah itu akibat tragedi cinta yang absurd, frustasi karena kemiskinan, menjadi sarjana pengangguran atau bahkan gegar hedonisme yang merupakan imbas dari modernisasi dan kemajuan teknologi. Entah.
Kota Kupang seolah bergulir mengikuti kecepatan cahaya, melesat jauh dengan tonggak kapitalis yang mulai bersarang kokoh di tiap sudut kota. Perlahan para generasi muda mulai tidak lagi mengemban mimpi yang muluk untuk pergi ke kota besar seperti Jakarta. Efek globalisasi menohok tajam ke tiap sel dan persendian mereka, memberikan mimpi tentang budaya global yang hedonis dan penuh dengan kiasan materi. Lalu, birokrasi dengan cita-cita feodal menjadi pegawai negeri menerobos masuk di tiap benak para generasi muda dan keinginan untuk menetap di desa mencari solusi tentang pertanian di tanah berkarang serta mengolah hasil laut dengan teknologi modern yang membangunkan sisi entrepreneur setiap jiwa, terhapus bagai debu di musim kemarau. Kiblat kota-kota dunia yang dapat diakses melalui media visual, audio visual, maupun maya, lebih merajai imaji, mematahkan keinginan para tetua desa yang menginginkan generasi muda harapan mereka menjadi penanam padi di tanah yang mereka wariskan. Tapi semuanya hampa. Sang pemuda lebih asyik berjalan dengan gaya penyanyi rap yang berambut Mohawk, berkalung salib seperti pemuda Negro di daerah kumuh Bronx ,New York City. “Ah, mereka telah mengubah diri seolah berada di negeri Paman Sam sana. Musik berdentam-dentam di tiap angkutan kota, membuat telinga mereka tuli. Itu sebabnya mereka jarang yang lulus menjadi tentara,” keluh seorang bapak tua sambil memamah sirih.
“Jembatan Liliba menjadi pilihan terakhir.” Kata Om Stefanus Ndoen lelaki asal Pulau Rote. “Bila segala mimpi terpangkas oleh beragam persyaratan yang membuat mereka frustasi, maka jembatan itu menjadi solusi terakhir yang cepat dan mematikan.” Tambahnya.
Lelaki paruh baya itu memandang tajam ke satu arah tanpa ekspresi. Ia memamah sirih sambil sesekali membuang ludahnya ke sebuah tempat yang terbuat dari daun lontar. “Kota ini sudah mengalami pengikisan cita-cita yang membahayakan,” katanya lagi. “Generasi muda banyak yang terpolusi oleh ide-ide borjuis tentang hidup nikmat yang instan tanpa mau bekerja keras. Di sini, meski hampir sebagian tanah berkarang dan berkapur, masih ada peradaban yang memuliakan bahwa tanah-tanah itu memiliki bagian tertentu yang bisa memberikan nyawa bagi padi dan tanaman perkebunan lainnya. Mereka, para sarjana yang muda-muda itu harus mencari teori yang bisa meningkatkan kualitas tanah di provinsi ini.” Tegasnya.
Semua bergulir dengan kesenyapan yang mencengangkan. Kisah bunuh diri di Jembatan Liliba kembali menyajikan beragam cerita yang sanggup membenturkan beragam pertanyaan di dalam benak tiap-tiap orang yang menyaksikannya. Namun, kisah klasik yang tetap menjadi pilihan utama untuk dipergunjingkan adalah tentang cinta yang dibalut dengan ketidakmampuan untuk mempertunjukkannya pada porsi yang etis, yang benar-benar manusiawi dan tulus.
“Kali ini yang mati bunuh diri adalah seorang gadis yang hamil muda karena orangtuanya menolak untuk menerima pinangan si lelaki.” Tutur Om Stef panggilan dari Stefanus.
“Apa pasalnya?” kejarku.
“Belis. Mereka orang Rote. Belis adalah mas kawin yang diajukan pihak orangtua perempuan di Rote sana.” Jelasnya. “Jika belis yang diminta tidak dapat dikabulkan oleh si lelaki, maka mereka tidak bisa menikah.”
“Meski perempuan itu sudah hamil?”
“Ya. Pihak perempuan teguh tak mau menikahkan puterinya. Karena belis adalah harga diri.”
Tercenung. Dan mayat perempuan yang tengah hamil muda itu tergeletak di dasar sungai penuh karang dan bebatuan tanpa pesan apa pun, ia membisu dan muram.
Apakah cinta dan belis menjadi satu perpaduan yang sahih bila hal itu sudah menyangkut adat istiadat? Sebab ada yang beranggapan bahwa cinta adalah hasil dari perkembangan kebudayaan, obyek cinta harus memiliki kualitas fisik tertentu yang dinilai amat tinggi, eksistensi yang lebih dari sekedar objek seksual. Tidak ada cinta yang sifatnya tidak manusiawi. Cinta dialami sebagai kesenangan yang sedemikan dekat. Kata cinta itu sendiri mengungkapkan bahwa di dalamnya menandakan dua hal yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan. Pemahaman perempuan tentang cinta, cukup jelas; cinta tidak hanya pengabdian tetapi juga menyerahkan seluruh jiwa dan raga tanpa syarat, tanpa mengharapkan penghargaan dalam bentuk apa pun.
Mungkin itulah yang terjadi pada perempuan asal Pulau Rote yang bunuh diri di Jembatan Liliba. Penyerahan diri dengan tulus pada sang kekasih yang berpadu dengan mas kawin berupa belis, telah membuatnya tak lagi memiliki harapan akan keutuhan cinta yang telah ia patri di dalam perutnya. Kata ‘tidak’ dan ‘mutlak’ ketika belis itu tidak dapat dipenuhi, membuatnya pupus harapan. Jembatan Liliba kembali menjadi luapan kepedihan dari sebuah proses akhir hilangnya harapan untuk merajut kasih yang diresmikan dalam sebuah lembaga perkawinan. Perempuan itu pergi ke awan gemawan bersama sang bayi, ia melayang dengan bebas dari atas Jembatan Liliba tanpa hambatan.
“Jika adat istiadat dan budaya mengharuskan demikian, tidak adakah jalan ke luar untuk menghindari peristiwa itu terulang kembali?” tanyaku.
“Entahlah. Bukan hanya adat istiadat dan budaya saja, tapi yang lebih dari itu ada. Kau tunggu saja berita yang akan muncul dalam beberapa minggu ini. Pemerintah Daerah telah menjaga dengan ketat lokasi itu. Tapi apakah selamanya jembatan itu akan dijaga terus? Karena bagaimanapun ketatnya penjagaan, peristiwa bunuh diri di sana akan terulang lagi. Kehidupan di Kota Kupang kian berat. Perekonomian dan persaingan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil tidak semudah dulu lagi. Banyak sarjana menganggur. Sopi minuman keras dari pohon lontar menjadi pilihan ketika beratnya hidup kian memberatkan pundak. Selain itu, narkoba dan obat-obatan terlarang juga mulai menunjukkan kuasanya. Saya takut, takut sekali bila generasi yang hilang melanda anak-anak muda di kota ini…” mata Om Stefanus memandang kosong ke satu arah.
Kemudian, tatkala berita santer berkembang kembali tentang seorang yang mau bunuh diri namun tersangkut dipohon lontar yang tumbuh di tebing jurang, Jembatan Liliba lagi-lagi menjadi trending topic yang menggemparkan. Jembatan itu seolah berkata, “Apa kubilang, meski dia tidak mati, tapi paling tidak dia berusaha untuk membuang semua derita melalui tempatku ini. Aku menjadi dermaga terakhir dari sekian generasi muda yang tidak memiliki kepribadian kuat, yang kalah oleh masalah sepele, masalah di mana modernisasi telah merasuki otaknya dan dia tidak memiliki kepekaan untuk mengantisipasi bahwa segala yang hedonis hanyalah semu. Semua akan hilang bila tidak diimbangi dengan kecerdasan mental dan otak, semua akan hilang jika ia tidak kreatif.”
Aku berdiri di tepian Jembatan Liliba. Memandang ke bawah, dua tebing curam yang mengapit jembatan, membungkam bisu. Lalu, aku merasakan tubuhku bagai kapas yang melayang-layang di udara. Tatkala kelopak mataku terbuka, puluhan wajah mengitariku. Suara mereka riuh, lalu lamat-lamat kudengar, “Untung dia tidak mati, tas punggungnya menyelamatkan dia, dia hanya tersangkut di besi tua yang entah dari mana asalnya berhasil mengait tas itu. Untung…”
Lalu, lamat-lamat kudengar musik sesandu memainkan lagu Ova Langga, lagu yang membuat rinduku pada Kota Kupang, rindu untuk kembali pulang…
Oleh : Fanny Jonathan Poyk