Ulil Abshar Abdalla bicara tentang invasi AS ke Irak dan Suriah, krisis di Libya, Revolusi Iran, Taliban di Afganistan, masa depan Amerika, Cina dan Korea.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO .
ENTAH apa yang ada di benak waiter dan barista di kafe yang melayani kami siang itu. Di ruang kecil yang seharusnya ditongkrongi anak anak Milenial dan Gen-Z – mendadak duduk dua laki laki pakai blangkon yang potongannya Jawa banget. Bukan anak muda masa kini.
Mungkin juga mereka akan terkejut, jika mencuri dengar, topik topik yang kami bicarakan; konsep Islam liberal, krisis Afganistan, fenomena di Irak dan Iran, masa depan Amerika, Cina dan Libya. Juga masa depan NU.
Belum lagi, kalau mereka mencuri dengar obrolan kami seputar manfaat ziarah kubur, mencium tangan kyai, kitab Al Ghazali, dll.
Sebagaimana ditegaskan di awal, dalam hal pandangan keagamaan Ulil Abshar Abdalla mengaku tak berubah – tetap liberal. Tapi dalam pandangan politik – khususnya politik global – dia menyatakan ada perubahan. “Misalnya, sekarang jauh lebih kritis terhadap Amerika, ” katanya.
Diakuinya, dulu dia semangat membela demokrasi Amerika, dunia Barat, karena contoh kemajuan sekarang dari peradaban Barat. “Tapi sekarang kecewa dengan praktik-praktik AS, khususnya di Suriah, Irak dan di era Donald Trump, ” akuinya.
Ulil, tokoh Jaringan Islam liberal (JIL) ini bahkan mengaku sempat ikut demo di depan kedutaan AS. Ikut mengorganisir konser musik untuk Irak, bersama Iwan Fals, dll, di Kemayoran. “Saya termasuk orang yang protes invansi AS. Dan saya makin jengkel dengan perkembangannya saat ini, ” paparnya.
Dunia dibikin jengkel dengan ulah ISIS, katanya. “Tapi jarang yang tahu bahwa ISIS tidak mungkin ada kalau tidak ada invasi AS ke Irak “
Ketika pemerintahan Sadam Hussen runtuh, terjadi kevakuman. “Ya, Sadam Husen bukan pemimpin yang baik, dia memang dzalim sekali . Tapi akibat menghancurkan Sadam, menciptakan kevakuman politik – yang dimanfaatkan oleh ISIS sehingga mereka tampil ke permukaan! ” paparnya
“Seandainya nggak ada invasi Irak, ISIS nggak akan ada. Kalau Al Qaeda memang sudah ada (sebelumnya) ” tegas putra Kyai di Pati yang merasai 4 tahun kuliah di Universitas Boston, Amerika ini.
“Bagaimana dengan pengakuan Hillary Clinton bahwa ISIS dia yang bikin?” Tanya saya.
“Nggak! Kalau Amerika (ngaku) membikin (ISIS) saya nggak yakin. Tapi Amerika memang menciptakan situasi yang melahirkan ISIS.”
Amerika sangat berkepentingan dengan pemerintah di (negara negara) Timur Tengah – terkait dengan Israel. Selain Iran, Suriah dikenal tidak mau kompromi dengan Israel.
Dulu Sadam Husen juga bandel, nggak mau kompromi. Maka, Amerika berkeinginan “mendisiplinkan” Irak – agar mau masuk barisan yang berdamai dengan Israel. Oke sama AS. Suriah dan Iran tetap eksis.
Dibandingkan Libya, pemerintah Suriah masih berjalan. Sedangkan Libya kacau sekali! Sudah nggak jelas. Gagal dalam segala hal. Ada pemerintahan tapi tidak stabil. Pemerintahan Suriah masih stabil.
“Pandangan saya dalam hal itu berubah. Saya jengkel dengan Amerika, sekarang ini. Kebijakan Donald Trump terhadap Israel, yang memindahkan kedutaan AS ke Jerusalem, mengajak negara lain – itu menjengkelkan saya. Dia kepingin semua negara Timur Tengah dukung Israel ” kata Ulil.
“Bagaimana dengan Taliban dan Afganistan? ” Tanya saya lagi, sembari menyruput kopi.
“Tentang Taliban dan Afganistan ada dua hal yang harus diklarifikasi, ” jawabnya hati hati.
“Saya nggak suka Taliban. Tapi Taliban berbeda dengan ISIS. Taliban lebih mirip dengan Hamas di Palestina, ” katanya.
“Mereka gerakan nasionalis yang ingin mengusir penjajah. Mereka tidak mengekpor gerakan mereka ke negara lain. Mereka sudah punya rumah sendiri”
Beda dengan ISIS dan Al Qaeda, yang tidak punya rumah, sehingga gentayangan di mana mana. Di mana saja ada kekacuan, mereka masuk. “Taliban tidak ekspor jihad. Ideologinya juga tidak ekspor jihad, ” jelasnya.
Saat mengambil alih Kabul, Ulil mengaku sudah berkomentar :
“Betapa pun indahnya negara boneka – dengan menciptakan keamanan, menghormati perempuan, ada pemilu, menghargai minoritas – tapi itu tetap negara boneka dan tetap tidak enak”.
“Sama dengan Belanda yang memerintah Indonesia (dulu). Dikuasai pemerintahan asing itu tidak enak! “
Kita di Indonesia, juga melewati masa itu, masa awal kemerdekaan, ketika revolusi di Indonesia mengalami kekacauan juga, kenangnya.
Taliban itu maknanya santri. Pandangan keagamaan mereka memang ngaco. Ya. Tapi mereka kekuatan real nasional Afganistan sekarang. Kekuatan nasional mereka – meski kita nggak suka .
Memang benar, kelompok Taliban di Afganistan, gerakan yang nggak punya kompetensi mengelola negara – Ulil mengakui.
Selanjutnya, revolusi Iran dan Taliban