Seide.id – Ruang konferensi pers itu sudah penuh oleh wartawan. Sambil menunggu, seperti biasa, mereka berbincang setengah berbisik. Kasak-kusuk. Ada yang berbicara bersungut-sungut seperti mendesis, namun tetap dgn sikap hormat dan takut-takut melalui poncel-nya. Mungkin dia adalah wartawan baru. Dan si penelpon di seberang sana, sangat bolehjadi adalah atasannya, redpel atau malah pemimpin redaksinya.
Beberapa orang sibuk mencatat. Atau berpura-pura mencatat. Supaya jika ada wartawan dari media lain yang merekam dgn kamera tv, akan terlihat oleh saudara, tetangga dan kerabat di layar kaca, bahwa keadaan begitu genting dan darurat.
Beberapa kameraman (ah, sekarang disebut kamerawan?, lho kalau begitu ada kamerawati dong) televisi bersiap-siap menshoot podium. Ada juga yang masih tengak-tenguk atau menyapu pandangannya ke segala arah di ruang konperensi itu. Di sebuah dinding agak ke atas ada foto presiden dan wakil, aah untunglah. Sebab pernah ada berita, di sebuah ruang, gambar presiden dan wakil tertutup kertas putih. Ah, kita harus berfikir positif, mungkin ruang sdg direnovasi atau dicat ulang, dan foto-foto itu dikuatirkan kotor terkena cat atau debu.
Oh ya, pernah juga di sebuah ruang kerja seorang anggota parlemen, foto yang terpasang bukan presiden Republik yang sekarang sedang menjabat, melainkan presiden versinya sendiri, yaitu pemimpin partainya. Ah, lagi-lagi harus berfikir positif. Mungkin sang anggota parlemen belum sempat mengganti foto itu. Atau di matanya, wajah semua orang serupa belaka, siapa tau?…
Lalu dua orang memasuki ruang konferensi pers. yang satu berwajah penuh siasat. Yang satu lagi berwajah klimis, seperti baru habis mandi, dengan bibir berkilat-kilat basah merekah. Wajah mereka tampan dan selalu menebar senyum.
Ruangan mendadak harum disergap oleh aroma parfume mereka, sebagian besar wartawan yang hadir pasti tak mengetahui merk-nya. Tapi mereka tahu bahwa parfume itu berharga mahal dan tak terbayangkan untuk membelinya dengan gaji mereka.
Sesorang berbisik. “Pssst,…jangan tergoda dgn ketampanan wajah dan keharuman tubuh mereka.., tetap fokus” bisik seorang reporter televisi kepada rekannya yang membawa kamera, seorang lelaki bertubuh kurus, tapi kekar. Dia melirik tajam kepada teman reporter yang mengingatkannya untuk fokus tadi:…”Heeh,…lo nasehatin gw atau diri lo sendiri?!”…
Sang pejabat publik sudah di mimbar. Berdehem untuk menjajal suara mikrofon dan sekaligus ‘menyuruh’ diam gumaman para wartawan yang mirip dengungan lebah.
Sang pejabat publik mengatakan bahwa dia hanya akan membuat statement, sebuah pernyataan. Tidak akan ada tanya jawab, karena masalah yang sedang viral (bagi generasi sebelumnya, sekedar pemberitahuan saja, bahwa: persoalan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat, di zaman now disebut viral) ini masih dalam penyelidikan. Nanti setelah ‘ditindaklanjuti’ baru diadakan tanya-jawab.
Inilah statement atau pernyataan yang ditunggu-tunggu itu.
“Atas berita simpang-siur yang beredar di masyarakat tentang pemasangan ini, pencabutan itu, pembelian ini, dugaan mark-up itu, permintaan sumbangan sukarela ini, penjualan dan kabar bahwa sebuah map seharga itu. Maka dengan ini saya ingin menegasakan bahwa: Saya tidak tahu!”…
“Jelas ya?!”…
Kesokan harinya, eh maksudnya beberapa menit kemudian, berita bahwa pejabat itu dengan tegas menyatakan tidak tahu, segera saja menjadi viral.
Malahan ada yang menjadikannya ‘headline’.
Judulnya begini “Pejabat itu menyatakan tidak tahu. Bolehjadi memang tidak tahu, karena semua tempe!..”
Aries Tanjung