Istana Negara di Jakarta. Tak kebal terhadap pelaku penipuan
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SAMPAI detik ini, saya masih belum yakin dan belum percaya ada warga Indonesia, khususnya keluarga pengusaha Tionghoa, yang dengan sengaja mau mengerjai, tipu tipu dan nge-prank Kapolda dan Gubernur, terang terangan di hadapan warga dan terutama awak media massa.
Jika benar berarti dia mempertaruhkan keselamatan dan terutama seluruh kekayaan yang dimilikinya untuk masuk bui dan dijadikan “ATM” penegak hukum, sepanjang hidupnya.
Sebagaimana halnya para pengamat rebahan lain, saya menunggu perkembangan jam demi jam. Kesimpulan sementara ini, calon penyumbang Rp.2 T itu tak menipu sepenuhnya. Sebagaimana diungkap jurnalis senior Dahlan Iskan yang kontak dengan keluarga itu dan relasinya, duit 2 Triliun rupiah yang mau disumbangkan itu ada di bank Singapura dan bermasalah. Lagipula, mencairkan Rp.2 Triliun di bank mana pun tak gampang. Bisa oleng, bahkan ambruk, bank itu. Maka, prosedur dipersulit.
Itu prasangka baiknya. Prasangka buruknya, keluarga yang menyumbang sudah nekad, putus asa, tapi takut bunuh diri, atas mangkraknya uang simpanan keluarga mereka di bank, sehingga ada yang memilih cari sensasi. Tolong aparat bantu cairkan, kalau cair, nanti sebagiannya disumbangkan, begitu kira kira.
Saya tidak yakin keluarga penyumbang mau menipu. Kita sama sama tahu bagaimana berurusan dengan penegak hukum di negeri ini. Seluruh beban aparat yang memeriksa akan ditimpakan kepada yang terperiksa, terdakwa dan terpidana. Anak isteri komandan ulang tahun, komandan dan keluarga mau liburan, lebaran dan natal, komandan perlu entertain, semua dibebankan kepada mereka yang sedang berkasus. Makin berduit si terperiksa, makin empuk buat diperas habis.
Sebelum skandal Rp.2 Triliun terkuak duduk soalnya, ada skandal lain, yakni dua unit di kepolisian Sumatra Selatan, yang memberikan keterangan yang berbeda kepada wartawan. Ada yang langsung menjadikan “tersangka”, ada yang menyebut “masih meminta keterangan”.
Memang kalau sudah menyangkut uang 2 T siapa saja gelap mata. Di Jakarta saja, dengan sogokan kurang dari Rp. 10 miliar, tiga jendral mau mempertaruhkan jabatannya dan masuk bui karena meloloskan buronan kasus BLBI.
Di tahun 1980-an, sebagai memimpin tim acara infotainment, saya mendengar cerita dari juru kamera yang gemar berjudi dan sering berurusan dengan polisi. Dia Tionghoa dan pas pasan saja, cuma pekerja. Tapi polisi menekannya habis habisan, “Kalau perlu jual piring sama sendok di rumah sana buat nge-mel, “ kata aparat yang menahannya. Hobinya saat tak suting main kartu, bareng warga dan kena grebeg. Dia ketangkap berkali kali, dan jadi langganan bui. Selalunya lepas setelah “damai”.
“Untung”nya skandal di Sumsel itu masih terbatas di level propinsi. Biar saja Gubernur dan Kapolda di wilayah selatan Sumatra ini, yang sibuk mengurusnya.
Di Jakarta, kelompok oposan sudah siap menggorengnya dan menyeretnya ke ke istana. Tinggal menunggu ‘angel’ yang pas.
JIKA MENENGOK ke belakang, urusan tipu menipu yang menimpa pejabat, dan jadi heboh nasional banyak terjadi dan ada dari masa ke masa. Hampir di semua era kepresidenan, ada skandal penipuan. Bahkan menuju langsung ke istana.
Pada era SBY, semoga Anda tidak lupa, ada skandal blue energy alias “banyu geni” yakni proyek penggunaan air sebagai bahan bakar. Dilansir dari harian Kompas 3 Juli 2008, “proyek banyugeni”, bermula saat ada penelitian untuk memanfaatkan air sebagai bahan bakar. Konon, proyek ini direstui Presiden Yudhoyono (SBY), menyeret nama Heru Lelono, Staf Ahli Presiden. Proyek itu juga dikenal dengan sebutan blue energy.
Temuan yang ditawarkan, hidrogen sebagai unsur dalam air memang bahan bakar. Namun, harus dilakukan disosiasi pada air guna memisahkan hidrogen agar dapat dipakai langsung, atau disenyawakan dulu dengan karbon, atau dengan karbon dan oksigen. Meski begitu, terungkap, apa yang disebut instalasi “proyek banyugeni” di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta cuma berupa kotak berisi kabel besar dan variac (ototrafo yang tegangan keluarannya dapat diubah-ubah).
Proyek menghebohkan itu tidak terbukti. Bahkan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memperkarakan Joko Suprapto yang merupakan pelopor riset itu.
Pada era Presiden Megawati ada juga skandal penipuan, yakni harta karun di pelataran Istana Batutulis, Bogor. Saat itu ada kabar mengenai timbunan harta peninggalan Prabu Siliwangi. Harian Kompas edisi 19 Agustus 2002 memberitakan, Menteri Agama Said Agil Al-Munawar bersikeras melanjutkan penggalian di Situs Batutulis.
Tentu saja, penggalian situs prasasti Batutulis mengundang protes dari berbagai kalangan, khususnya Kepala Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Endjat Djaenuderajat. Sejumlah warga Bogor penjaga adat Pasundan juga mengecam penggalian lokasi prasasti Batutulis peninggalan Surawisesa (putra Prabu Siliwangi) tahun 1533. Hingga kini, harta karun Batutulis tak terbukti kebenarannya.
Pada masa Gus Dur ada skandal Soewondo yang membobol uang Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp 35 miliar. Soewondo leluasa beraksi karena berprofesi sebagai tukang urut Presiden. Ini menyebabkan dia memiliki akses kekuasaan, serta “menjual” nama para petinggi negara.
Saat aksinya ketahuan, Soewondo kemudian melarikan diri. Harian Kompas edisi 6 Juni 2000 menulis, Reserse Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya terus melacak persembunyian Soewondo. Dia ditemukan di salah satu tempat di kawasan Puncak, Jawa Barat. Soewondo kemudian divonis dengan hukuman 3,5 tahun.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, di tahun 1990-an, terjadi skandal yang masuk pada lingkaran Istana Kepresidenan juga. Kali ini skandal tambang emas terbesar di dunia di Busang – lalu kondang sebutan Skandal Emas Busang – yang konsesinya dimiliki perusahaan kecil dari Kanada, Bre-X.
Buku Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997) karya jurnalis Bondan Winarno mencatat skandal Busang juga ikut menyeret kekuasaan. Bermula saat geolog Filipina yang baru menjelajahi hutan Kalimantan mengaku menemukan jutaan ton emas siap ditambang. Dia pun berupaya mencari investor. Salah satu yang tertarik adalah pengusaha Kanada David Walsh yang juga CEO Bre-X Gold Minerals. Kehebohan penemuan emas di Busang membuat harga saham Bre-X di Kanada meroket dari 1,90 dollar Kanada per lembar saham pada akhir 1994 menjadi 24,8 dollar Kanada per lembar saham pada Juli 1996.
Awak Bre-X di Borneo, sekitar tahun 1997, dari kiri: manajer lokasi Jerome Alto, wakil presiden senior John Felderhof, manajer eksplorasi Michael de Guzman dan ahli geologi Cesar Puspos. De Guzman meninggal pada 1997 setelah jatuh dari helikopter. FOTO : Arsip Postmedia
Soeharto berupaya mencegah agar emas di Busang dikuasai oleh Bre-X. Izin eksplorasi diubah. Bre-X pun hanya dibatasi pengelolaan sebanyak 45 persen. Namun, emas tak juga ditemukan. Pada Maret 1997, Michael de Guzman “jatuh” dari helikopter saat terbang dari Samarinda ke Busang. Ada dugaan bahwa de-Guzman bunuh diri. Ternyata pertambangan emas di Busang hanya tipu daya belaka, miliaran dollar kerugian investor pun menimpa pemodal di bursa saham Kanada dan Amerika Serikat.
juga terjadi kasus penipuan dan hoaks fenomenal, yakni kasus janin berbicara di dalam kandungan pada akhir 1970an. Indonesia dihebohkan dengan bayi ajaib di dalam kandungan yang bisa diajak berbicara dan bahkan mengaji di perut Cut Zahara Fona (26), wanita asal Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh.
Wakil Presiden Adam Malik dan Presiden Soeharto sempat tertarik dengan fenomena itu. Bahkan, Menteri Agama saat itu juga memberikan komentar di media massa. Akhirnya, Tim Medis RSPAD, Ikatan Dokter Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Polri turun tangan. Saat hendak diperiksa Tim Ikatan Dokter Indonesia di RSPAD Gatot Subroto tanggal 13 Oktober 1970, Cut Zahara Fona mengatakan bayinya menolak. Namun, ia diperiksa di RSPAD sepekan kemudian. Tim dokter RSCM juga memeriksa Cut Zahara dan menyatakan tak ada janin di rahim perempuan itu.
Kasus itu tak hanya diliput media dalam negeri. Media asing seperti BBC pun ramai memberitakannya. Aktivitas bayi ajaib terhenti setelah tape recorder yang dipasang di dalam pakaian Cut Zahara ditemukan Polisi Komdak XIII Kalimantan Selatan yang memburunya di Kampung Gambut, 14 kilometer dari Kota Banjarmasin. Polisi menyita tape recorder EL 3302/OOG berikut kaset rekaman suara tangisan bayi dan bacaan ayat-ayat suci Al Quran.
PADA ERA Orde Lama masa kepemimpinan Soekarno, ada skandal juga, yakni kisah pasangan Raja Idrus dan Ratu Markonah. Mereka berdua mengaku merupakan pemimpin suku Anak Dalam yang mempunyai kekuatan yang mumpuni. Presiden Soekarno kemudian dibohongi Ratu Markonah dan Raja Idrus yang mengaku mau menyumbang harta benda untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Saat itu, cerita tentang Raja Idrus dan Ratu Markonah mendapat liputan media massa besar-besaran. Soekarno sempat menerima mereka di Istana Kepresidenan dan disambut dengan berbagai pelayanan yang luar biasa. Namun, ternyata mereka berdua ketahuan berbohong.
Harian Kompas edisi Agustus 1968 memberitakan, “Raja” Idrus ditangkap warga di Kotabumi, Lampung Utara. ****