TOKOH : Gita Wiryawan

Oleh Amang Mawardi

Dalam sebulan belakangan, beberapa kali saya menurunkan sejumlah tulisan tentang sekian sosok. Semacam “biografi” singkat. Atau boleh jadi begitulah esei biodata.

Dimulai dari sosok D. Zawawi Imron, Ita Siti Nasyi’ah , lantas Jil Kalaran. Sebelum itu saya turunkan Hadi Mulyanto, teman sekolah.

Tulisan-tulisan ini personal, ketertarikan yang dilandasi subyektivitas. Tentu saja ada lumeran “bumbu”. Oleh sebab itu jika ada yang berkomentar “opo yo pantes diangkat ke dalam tulisan dan diposting di fesbuk”, saya memaklumi. Ini perkara perspektif, masing-masing orang tidak sama. Tak ada tolok ukur. Karena hebat dalam pandangan saya, maka saya tulis.

Nah, kali ini saya menulis tentang Gita Wiryawan.

Mungkin teman-teman masih ingat sosok ini. Atau boleh jadi hampir lupa. Ya, dia salah satu menteri pada kabinet SBY. Tepatnya Menteri Perdagangan. Di luar itu, mungkin, banyak jabatannya. Yang saya ingat sebagai Ketua Umum PBSI.

Saya tidak akan membahas soal jabatan menterinya dulu, atau bagaimana upaya sosok ganteng bertubuh tinggi tersebut berusaha keras untuk memajukan olahraga bulu tangkis di Tanah Air.

Dalam sebulan ini 2 kali saya dihubungi ‘by phone’ oleh sobat saya Henky Kurniadi yang mantan anggota DPR, pengusaha, maesenas kesenian dan penerbit buku-buku alternatif.

Banyak yang didiskusikan, salah satunya tentang per-YouTube-an.

Henky dalam 3 bulan terakhir sedang mempersiapkan dengan intens channel YouTube yang diberi nama: Henky Kurniadi Explore, yang katanya akan dirilis Juli/Agustus. Dari judul tersebut, teman-teman sudah bisa menebak kira-kira konten apa yang akan diproduksi oleh Henky. Ya, podcast, teman-teman!

“Saya perlu belajar banyak dari Mas Amang,” katanya. Maksudnya belajar per-YouTube-an.

Dalam hati saya bergumam, apa yang bisa dipelajari dari YouTuber seperti saya yang hampir 8 bulan ini berkutat dengan channel saya ‘Informasi Amang Mawardi’, tapi subcriber baru 600-an.

Barangkali Henky sekadar menyenangkan saya, terus memberi semangat agar saya tidak berhenti ber-YouTube.

“Lho, aku bikin channel ini kan gara-gara Mas Amang. Ingat gak setahun yang lalu, sampeyan pernah bilang ‘sudah saatnya Mas Henky punya channel podcast’ “.

Meski terkesan pendiam, jika sudah berdiskusi, akan banyak keluar hal-hal inspiratif darinya. Dan seringkali secara tidak terasa bernuansa motivasi.

Sudah bisa saya duga selanjutnya, Henky bercerita bahwa selama 3 bulan ini dia terus mengamati konten-konten sejumlah YouTuber yang channelnya menampilkan “genre” podcast, seperti yang dihendel Helmy Yahya (789 ribu subcriber), Deddy Corbuzier (14,5 juta subcriber), Faisal Akbar (169 ribu subcriber).

Juga sejumlah selebritas artis yang kontennya heterogen seperti Rafii Achmad (20, 8 juta), Boy William (4, 22 juta), Baim Wong (19 juta), Atta Halilintar (27, 6 juta), dan masih banyak lagi. Juga sejumlah channel dengan konten-konten dikotomis dampak polarisasi pilpres kemarin.

Dari sekian podcast itu, pilihan Henky jatuh pada ‘Endgame’ (Akhir Permainan) yang dihendel Gita Wiryawan (256 ribu subcriber).

Nama-nama yang tadi disebut Henky semua channelnya sudah pernah saya tonton, termasuk ‘Endgame’. Meski tidak intens — dalam pengertian tidak fanatik, hampir dengan tidak intensnya saya menonton podcast-nya Gritte Agatha (4, 48 juta subcriber) mantan presenter cilik yang usianya kini 22 tahun.

Namun, saya angkat topi pada gadis energetik ini yang diam-diam membuat saya sesekali tersenyum karena ekspresinya yang lucu.

Saya pernah nonton percakapannya dengan putra terhukum mati bandar narkoba Freddy Budiman sepanjang 1 jam lebih tanpa saya merasa dibuat bosan. Itupun masih bersambung dengan episode berikut. Dan, yang hebat tanpa insert, tanpa sisipan foto dokumentasi atau grafis, di sela-sela wawancara.

Ada sisi-sisi psikologis dan hal-hal yang saya rasakan tersembunyi yang berhasil diulik oleh Gritte tanpa menyinggung perasaan yang diwawancara.

Karena ucapan Henky yang mengatakan bahwa channel podcast Gita Wiryawan mengutamakan kualitas dilihat dari aspek mana saja, saya mencoba me-review yang pernah saya tonton sebelumnya “sambil lalu” itu, juga berusaha menyimak sejumlah konten yang belum pernah saya tonton.

Saya amati bagian luarnya dulu. Ternyata Gita Wiryawan selalu mengenakan kaos pullover lengan panjang yang kerahnya menutupi seluruh leher jenjangnya itu.

Latar belakang aktivitas wawancara ini rak yang berderet buku-buku.

Ada ciri khas lainnya selain pullover, yaitu sebuah buku yang kovernya menghadap kamera, itulah buku yang nuansanya bersinggungan dengan thema yang sedang dibahas dalam ‘Endgame’ saat itu.

Cara mewawancara Gita khas sekali. Mula-mula yang diwawancara diminta untuk menceritakan latar belakangnya, mulai anak-anak hingga pilihan kariernya saat ini. Lantas tahap demi tahap membahas sejumlah persoalan, sesekali dihubungkan dengan isue-isue menarik di Indonesia.

Cara bertanya Gita Wiryawan tidak panjang, pendek-pendek saja. Namun, saat menyanggah, Gita Wiryawan menyampaikannya dengan detil tanpa menyinggung perasaan yang diwawancara.

Jenis tertawa Gita dalam merespon lawan bicara karena mungkin ada yang lucu atau bikin hati gembira, lepas tapi terbatas. Tidak sampai ngakak.

Ada beberapa sosok yang diwawancara yang tidak saya kenal, ternyata orang-orang ini hebat pada bidangnya. Dan fenomenal. Banyak di antara mereka dari kalangan milenial.

Jika yang diwawancara usianya tidak beda jauh, mereka berdua — Gita Wiryawan dan nara sumber — menggunakan ‘lu’ dan ‘gue’.

Yang menarik lagi membaca kolom komentar, banyak pendapat di kolom itu yang menyatakan: ini konten isinya daging semua. Maksudnya konten berisi, berkualitas.

Apa yang dihadirkan ‘Endgame’ senantiasa menyuguhkan: sejarah, ilmu (pengetahuan) dan kemanusiaan.

Seperti halnya podcast Gritte Agatha, ‘Endagame’ yang dihasilkan Gita Wiryawan tanpa insert, tanpa menyisipkan foto-gambar-atau grafis.

Terus terang konten wawancara saya belum berani tampil tanpa insert. Materi dalam insert saya perlukan sebagai data penunjang. Atau, barangkali jika saya sudah bisa menemukan cara menarik dalam “wawancara polosan”. Atau boleh jadi jika nanti saya sudah tidak ‘plegak pleguk’ wawancara dengan nara sumber.

Avatar photo

About Amang Mawardi

Penulis dan wartawan tinggal di Surabaya