Seide.id – Ketika bekerja sebagai ilustrator, aku tak pernah menempatkan diriku sebagai pelukis, apalagi seniman. Aku ini karyawan. Yaa.., tukang seperti judul blanyonganku ini. Tukang gambar.
Padahal istilah ‘tukang gambar’ kalok menurut dialeg Jawa -kata seorang teman yang juga ilustrator asal Jatim- punya arti lain lagi. Malah berkonotasi negatif. Tukang gambar, dalam dunia kriminal, dunia permalingan adalah: Orang yang membuat gambar, tepatnya denah atau peta yang menggambarkan lokasi rumah yang akan dijarah. Lengkap dengan suasana lingkungan sekitar rumah, waktu dan keamanan ketika sang maling hendak beroperasi.
Eits.., mari kembali ke istilah tukang gambar yang bukan komplotan maling..
Sebagai tukang, tentu aku harus siap ‘disuruh’ menggambar sesuai dengan pesanan. Tepatnya sesuai dgn naskah. Mungkin lebih kerennya disebut: kompromi dengan ego sebagai pelukis atau seniman.
Maka, aku mempelajari hampir semua teknik menggambar. Mulai dari menggambar dengan media pensil, pensil warna, spidol, cat air, crayon, kopi (tanpa sengaja karena ketumpahan, haha), akrilik, bahkan arang dan etsa. Akan halnya etsa, hanya tekniknya saja.
Etsa yang ‘sebenarnya’ adalah bidang logam, ditoreh dgn semacam logam berujung runcing mirip paku, lalu dicetak di kertas. Etsa versiku, memanfa’atkan semacam kertas foto yang akan dibuat plat sebelum ke percetakan. Bidang yang nanti untuk meletakkan foto diblok dengan warna hitam. Nah bidang hitam itulah yang aku toreh dengan kater, mirip teknik etsa.
Nah, ketika datang teknologi digital,.aku agak gagap sebentar. Meski aku bilang tadi bahwa aku memposisikan diri sebagai tukang, tapi tak ayal, zaman digital ini membuat aku terusik pada awalnya. Bukan terusik dengan kedatangan teknologi yang tak mungkin dielakkan itu. Tapi lebih kepada persepsi orang-orang tentang digital. Bahwa perwajahan dan gaya menggambarku harus berubah. Hlaah, menurutku tak ada hubungannya dengan gaya menggambarku.
Apa pun namanya, teknologi itu adalah tool, atau alat menggambar saja. Jika gambar ilustrasiku memenuhi syarat secara estetika dan cocok dgn cerita.., tak jadi masalah bukan?.
Tapi tak urung, karena aku karyawan dan bukan pelukis atau seniman, maka aku harus mengikuti zaman. Untunglah, salah seorang redaktur yang baik dan aku anggap paling mengerti dan mengapresiasi seni (dia sekarang berkutat di kesenian, tepatnya seni musik), menganjurkan, meski bagaimana, aku harus mengikuti zaman. Atau aku akan ditinggal oleh zaman.
Ternyata, menggambar dengan media digital, memang tak harus dimusuhi. Aku cuma terganggu sebentar karena ada komentar bahwa aku harus berubah, dan bahwa seni rupa ilustrasi modern adalah menggambar dengan media digital. Aku beranggapan, yang harus mengikuti zaman adalah gagasannya. Bukan media atau toolnya. Media atau tool atau peralatan melukis bisa apa saja.
Setelah kupelajari sebentar, media itu ternyata memang mempercepat proses menuju ke percetakan. Lebih cepat ..itulah penekanannya. Tapi, kata teman-teman, meski menggambar dengan media digital.. jejak, karakter dan gaya menggambarku masih terasa.., masih ada. Syukurlah.
Sekarang, ketika aku pensiun, setelah tak ada yang ‘menyuruh-nyuruh’ lagi. Aku menggambar dengan gaya apa pun seperti yang aku mau. Malah banyak lukisan yang seperti tertunda di tengah jalan. Karena ketika sedang mengeksekusi sebuah ide…tiba-tiba muncul ide yang lain lagi.., menggambar dgn gaya yang juga lain…
Ilustrasi: Beberapa gambar yang aku kerjakan dengan pensil, cat air, spidol, crayon, etsa dan digital…
(Aries Tanjung)