Seide.id – Lagi beberes laci meja kerja ‘nemu’ foto jadul ini.
Ingatanku seperti terlempar kpd peristiwa sekitar 25 th lalu.
Aku mungkin bukan ‘penjelajah alam’ seperti mendiang sohibku Odi. Tapi tawaran melakukan perjalan ke Ujung Kulon, benar-benar menggiurkan. Karena perjalanan ke Taman Nasional itu boleh jadi ‘tak mungkin’ dilakukan jika tak dengan kelompok.
Meski tak begitu jauh dari Jakarta, tapi akomodasi untuk menuju ke sana sungguh tak mudah mencari informasinya. Paling tidak, tak familiar.
Dari Jakarta, kami berkendara ke sebuah desa ‘paling ujung’ yg diperbolehkan oleh pengelola Taman Nasional. Jika nekad, silakan melanjutkan dgn berjalan kaki.
Maka kami memutuskan lewat laut. Dari desa Sumur, kami mencarter perahu klotok bermuatan sekitar 10 orang. Tujuan kami adalah Pulau Peucang (rusa, bhs sunda), supaya dari Peucang-yg termasuk area taman nasional-lebih mudah mencapai taman nasional Ujung Kulon.
Perjalanan ke Peucang ditempuh kira-kira setengah hari. Jika beruntung konon bisa melihat serombongan lumba-lumba yg berkejaran di depan perahu atau mengikuti perahu yang kita tumpangi. Teman-temanku yg lebih dulu, ‘berjumpa’ dgn rombongan lumba-lumba. Tapi rombongan kami, kurang beruntung.
Berjarak sekitar 300km dari Jakarta, tapi kau akan memperoleh suasana yang sangat berbeda. Laut jernih, suasana yg senyap dan hutan lebat yang ‘tak tersentuh’.
Ujung Kulon, hanya area sangat kecil saja jika dibandingkan dgn Pulau Jawa. Area itu jika kau melihat peta, berada di ujung paling barat (kulon), berbentuk segitiga.
Ujung Kulon sekarang menjadi ‘warisan dunia’. Karena di sana kita bisa melihat dan merasakan, begitulah kira-kira lahan dan habitat pulau jawa sebelum dirusak oleh manusia.
Jika beruntung, dari menara pengintai kau akan melihat: Sisa-sisa harimau Jawa, badak bercula satu dan banteng. Sementara, rusa, monyet, biyawak, beragam burung besar termasuk elang laut akan dengan mudah dijumpai di ‘halaman’ depan penginapan sederhana yang bangunannya dibuat menyatu dengan hutan. Semoga begitu hendaknya sampai hari ini.
Perjalanan pulang, agak mendebarkan-karena perahu yang mustinya hanya mengangkut 20 orang karena hari itu perahu nelayan terbatas atau tak layak berlayar- dipaksa mengangkut lebih (ini agak konyol sebetulnya, kok kami mau-mau saja?).
Kecemasan ditambah lagi dengan motor tempel perahu yang mati beberapa kali. Sehingga perjalanan menjadi molor beberapa jam.
Aah, untung tak terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan…
(Aries Tanjung)