Penjual obat di alun-alun atau lapangan terbuka yang biasanya mengandalkan cerita atau permainan untuk meraih simpati pendengarnya. Ia tak peduli ganti nama atau juapan obat apa saja. yang penting dapat uang.
Dahulu kala, sekitar tahun 70an, di Alun Alun Kraton Surakarta, ada seorang penjual obat panu bernama Pa Nuan. Ia terkenal. Bukan karena obatnya. Melainkan cara dia bercerita. Masa itu, jarang sekali ada orang yang pintar bercerita, meski ceritanya ngawur dan tanpa data. Harus diakui. ia seorang yang ekspresif. Ia mampu menerjemahkan setiap kata dan cerita, melalui mimik dan gerak tubuhnya.
Penjual Obat Panu
Sayang, tak sampai sebulan, ia menghilang. Seorang penjual rokok yang menggelar dagangannya di sekitar alun-alun itu mengatakan bahwa Pa Nuan telah kehilangan penonton sekaligus obat panu karena ia tak memiliki cerita lain yang menarik. Orang tak berkerumum lagi mendengarkan ceritanya, dan tak lagi beli obat panu.
Tak lama kemudian, di depan Bioskop UP ( Ura Patria) yang terletak di sebalah barat utara perempatan Pasar Pon di jalan, Brigjen Slamet Riyadi No 100 muncul seorang penjual obat cacing yang kala itu banyak menimpa warga Solo.
Penggemarnya banyak karena ceritanya baru dan lucu. Seorang penggemar penjual obat mengenal dia sebagai Pa Nuan penjual panu yang sekarang sudah berubah menjadi Hasiholan, seoerang penjual obat cacing dengan suara serak-serak basah. Nama Hasiholan – katanya-diberikan oleh sahabatnya seorang Batak karena ia disukai banyak orang.
Sebulan kemudian, Hasiholan menghilang. Muncul seorang penjual obat batuk yang sangat dikenal di depan Pasar Klewer. Namanya Raden Mas Kampret. Itu konon gelar yang diberikan oleh Keturunan Raja di Mangkunegaran Solo.
Penggemarnya banyak dan ia pinter bercerita tentang berbagai kraton di Indonesia. Lagi-lagi, tak lebih dari 30 hari, Raden Mas Kampret menghilang. Mungkin cerita yang dihafalkan tidak banyak dan ia kehilangan penggemarnya.
Sebagai penjual obat, Pa Nuan alias Hasiholan alias Raden Mas Kampret cerdas dalam mencari penggemar, dengan cara berjualan obat berbeda dan mencari penonton yang berbeda pula. Targetnya menjual obat tercapai dengan melakukan banyak perubahan nama dan pindah tempat.
Yohanes A
Saya ingat sosok serupa yang hidup di tahun 20an dengan nama A. Itu nama yang saya ingat. A saja, sebab nama lengkapnya sudah lupa dan tak penting pula untuk diingat. Hanya, ia pernah menjadi menteri yang dipecat karena bermasalah, lalu menjadi Gubernut Jakarta setelah mampu menyihir orang-orang mesjid dengan seribu janji yang tak pernah ditepati.
A melakukan persis seperti penjual obat jalanan. Tak peduli pendukungnya dari partai manapun, yang penting ia memiliki target menjadi presiden. Meski ia tengah disoroti KPK atas penggunaan dana selama menjadi gubernur zaman dulu, meski ada larangan melakukan kampanye, A terus berkeliling kota demi kota ( sebagian besar kota menolak kehadirannya) dan sempat singgah di Papua dihadiahi gelar Yohannes.
Saya tidak yakin ia dibaptis sebagai seorang Katolik atau Kristen, sebab A harus mengucapkan syahadad “ Aku Percaya” dan dibaptis. Apakah ia melakukan itu demi peran atau memagn sudah sadar lalu pindah agama ? I have no idea. Tapi A yang beragama Islam ini tak peduli orang akan memberi komentar apa. Yang penting tujuan tercapai.
Tak Peduli Apapun
Begitulah Yohannes A akan terus bergerak mencari pendengar seperti tukang obat di atas. Ia barangkali juga tidak peduli masuk gereja, makan babi atau masuk ke Neraka sekalipun, sepanjang keinginannya tercapai. Begitulah politisi yang memiliki ambisi tak terkontrol ini.
Ia bahkan akan berbuat apa saja, meski dicemooh, dilecehkan, diejek atau dihalangi sepanjang namanya disebut agar namanya masuk algoritme di dunia digital sehingga saat pemilu namanya akan banyak dikenang dan banyak dipilih.
Itu sebabnya saya tak pernah menyebut ia sebagai Yohannes A dengan nama panjang, apalagi memilihnya. Tidak semua orang bisa ditutup pikiran dan matanya dengan uang atau penampilan. Seorang pemimpin hanya layak dipilih ketika ia memiliki jiwa nasionalis dan keinginan besar untuk membuat negara Indonesia maju, berkembanga dan menjadi besar. Bukan uang untuk dihambur-hamburkan apalagi membawa Indonesia lebih terpuruk di tangannya……
TULISAN LAIN
Politik Kutu Loncat, Hati-hati Terpeleset