Oleh HARRY TJAHJONO
Yuni Shara pantas geram. Sepekan terakhir ini, sejumlah media online menyebutnya sebagai Ibu yang bersedia menemani kedua anaknya yang sudah dewasa nonton film dewasa. Bahkan media Australia pun mengutip berita panas itu. Berita tersebut dikutip media online dari obrolan Yuni dengan Vena Melinda, sesama artis, di chanel YouTube @venamelindareal. Benarkah?
Diakun Instagramnya, @yunishara36, penyanyi single-parent itu menulis, “Sebagai seorang Ibu, saya sangat kecewa dan keberatan dengan pemberitaan media konsultasi online yang telah mengutip dari obrolan saya di YouTube channelnya @venamelindareal tanpa ijin/konfirmasi, mengubah arah berita hingga memberi judul yang menggiring opini negatif.”
Yuni juga menulis, “Tidak mungkin dan tidak pernah saya mengatakan menemani anak saya nonton film orang dewasa. Rasanya saya masih waras alias durung gendheng rek!”
Yuni pantas geram. Kabarnya, saat ini ia dan pengacaranya sedang menyiapkan somasi dan langkah hukum terhadap media online yang memberitakan hal tersebut. Tapi, seyogyanya Yuni juga bersikap kritis saat bermedsos. Sebab, obrolannya dengan Vena yang menyangkut hal-hal privasi, ketika diunggah di medsos, sesungguhnya berlangsung di ruang publik. Siapa saja, termasuk media, bisa mengutipnya tanpa ijin dan cukup menyebutkan sumbernya. Celakanya, kutipan tersebut seringkali dikelola, dimanipulasi atau diolah menjadi pemberitaan sensasional, pretensius, merugikan dan tidak berkenan bagi yang dikutip.
Agama Gadget
Apa boleh buat, dewasa ini Mbah Google adalah tempat jawaban semua pertanyaan. Wikipedia adalah ensiklopedi segala jenis pengetahuan yang ada di dunia. Media sosial sejenis FB, twitter, Instagram, portal online, media daring dan sebangsanya adalah jejaring beragam informasi yang terakses dan membanjiri ruang pribadi pengguna mefsos. Dengan demikian di zaman now, internet adalah “nabi” dan medsos laksana “kitab suci “, utamanya bagi kaum milinea dan penganut “agama gadget”, yang bersujud di “altar maya”.
Internet memang “saka guru” zaman informasi. Berkat internet siapapun dan di manapun dalam waktu yang sama bisa mendapatkan informasi apapun. Berkat internet pula siapapun bisa membuat dan menyebarkan informasi apapun kepada khalayak di manapun. Pada titik inilah kemudian hoax, berita dusta dan ujaran kebencian menemukan habitat ideal untuk berkembang biak dengan subur dan leluasa. Celakanya, karena bagi penganut “agama gadget” semua informasi yang tersebar di jejaring “altar maya” bisa dan biasa diterima sebagai “kebenaran”, maka hoax atau bukan hoax menjadi sulit dibedakan.
Untuk tujuan politik, ekonomi atau sekadar iseng, hoax akan terus diproduksi dan disebarluaskan. Tentu saja hoax harus dilawan, seperti yang sekarang ini sedang gencar dilakukan. Dengan .membentuk “satgas antihoax” yang punya wewenang melakukan tindakan hukum terhadap pembuat dan penyebar hoax. Atau dengan menggalang komunitas antihoax lengkap dengan slogan dan semboyan perlawanan terhadap hoax. Dan hasilnya sejumlah “produsen” hoax berhasil diringkus. Tapi hoax yang sudah terlanjur tersebar tetap bergentayangan nyamperin pengguna medsos dan pemuja “altar maya”. Di sisi lain, hoax yang lain terus diproduksi dan disebarluaskan untuk tujuan politik, ekonomi maupun sekadar iseng.
Tradisi Berpikir
Dalam pelbagai diskusi tentang hoax, saya selalu dihadapkan pada pernyataan-pernyataan yang pada intinya “mendewakan” internet sebagai berkah teknologi informasi manusia modern yang absolut, tidak terelakkan. Dan yang mencemaskan saya adalah tidak adanya keraguan dan atau penalaran bahwa content yang diusung internet adalah “belum tentu benar”. Padahal, bagi saya, pandangan dan sikap seperti itu sesungguhya justru akan menumpulkan daya kritis pengguna medsos.
Daya kritis mencerna informasi, kita tahu, berbanding lurus dengan “tradisi berpikir” yang diperoleh dari kebutuhan membaca buku sebagai literatur pengetahuan. Padahal, di Indonesia, minat baca buku sangat memprihatinkan. Ketika gairah, kebutuhan dan minat membaca “bahasa tekstual” belum lagi “selesai” terlaksana, masyarakat sudah harus dihadapkan pada “bahasa audio-visual” yang dicekokkan televisi. Belum lagi “selesai” belajar “bahasa audio-visual” yang penuh muslihat teknologi, masyarakat sudah harus mengonsumsi “bahasa digital” yang membanjiri internet. Maka, tanpa bermaksud merendahkan, bisa dimaklumi jika daya kritis mayoritas pengguna medsos, utamanya kalangan masyarakat kebanyakan, menjadi sedemikian rapuh untuk tidak menyebutnya mengalami malfungsi.
Oleh karena itu ketika obrolan Yuni dengan Vena dikutip dan dibingkai dalam berita sensasional, maka opini , asumi dan persepsi liar berhamburan. Sama seperti ketika “rekayasa” telor palsu hasil muslihat “bahasa audio-visual” beredar viral di internet, ketika sulapan optik “bahasa digital” menyebarkan beragam hoax politik dan bahkan foto tragedi kemanusiaan, ketika kasus Rohinghya dipalsukan, pengguna medsos menerimanya sebagai informasi yang faktual. Kegaduhan pun timbul. Opini, asumsi, persepsi khalayak berkelindan dengan kecemasan, ketakutan, kemarahan massa marak dan tersulut.. Bantahan dan verifikasi pun dengan gencar dilakukan sampai akhirnya hoax tersebut dimengerti publik sebagai informasi abal-abal alias bohong belaka. Tapi, bantahan dan verifikasi tersebut sayangnya tanpa diikuti upaya-upaya berkelanjutan membangun daya kritis pengguna medsos yang rapuh dan malfungsi, sehingga tetap rentan termakan hoax.
Jurnalisme Copy-Paste
Perlawanan terhadap hoax, penggalangan masyarakat antihoax, penangkapan dan tindakan hukum terhadap pembuat dan penyebar hoax memang harus dilakukan. Begitu pula ketersediaan sistem dan atau aplikasi gadget yang secara canggih mampu mendeteksi “kehadiran” hoax di jejaring internet dan sanggup “memetakan” jaringan produsen sekaligus penyebar hoax, memang sangat diperlukan. Tapi, hemat saya, tanpa upaya membangun daya kritis pengguna medsos maka energi perlawanan terhadap hoax ibarat menggarami lautan.
Menguatkan kompetensi jurnalis online, hemat saya, merupakan langkah strategis untuk membangun daya kritis “ujung tombak” pengguna medsos. Sebab, kita tahu, jurnalisme copy paste yang membuat media daring menjadi seragam, berbanding lurus dengan kompetensi jurnalis online yang mengkhawatirkan. Untuk membangun daya kritis pengguna medsos, sungguh diperlukan kompetensi jurnalis yang mampu memahami “reallitas psikologis” dengan “reallitas sosiologis”. Yang memiliki tradisi berpikir bebas, kritis, serta teguh bersikap dan berpedoman pada prinsip cover both side. Hal yang sepanjang pengamatan saya semakin sulit ditemukan di kawasan “altar maya” pengguna medsos. *