Nasib Pimpinan MK dijatuhkan pada 7 November nanti, jika ia melanggar kode etik, namun kemungkinan keputusan adalah mutak dilaksanakan.
Ini persoalan cukup pelik. Keputusan Mahkamah Konstisusi ( MK) yang menambakah frasa pada pasal 169 Undang Undang Pemilu yang membuka pintu buat Gibran untuk dimasukkan sebagai cawapres, tidak hanya menguntungkan Gibran semata. Tapi juga bagi semua jabatan yang dipilih melalui Pemilu. Termasuk anggota DPR, DPD dan DPRD.
Tak bisa dipungkiri, penambahan kalimat “ usia di atas 40 tahun atau berpengalaman menjabat di pemerintahan” adalah jalan mulus bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres Prabowo adalah berkat Keputusan MK. Pimpinan MK , Anwar Usman, adalah paman ipar Gibran. Anwar menikah dengan bibi Girab, Idayati, yang adalah adik Jokowi.
Tuduhan nepotisme dalam keputusan UU Pemilu, sangat kentara. Paling tidak, ada konflik interest dalam keputusan itu. Suka atau tidak. Kebetulan atau tidak. Semua menuduh Jokowi bermain dan melakukan rekayasa politik dalam keputusan MK. Itu sebabnya, atas desakan beberapa ahli hukum, mendesak MKMK ( Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) melakukan sidang dugaan pelanggaran kode etik dalam putusan Pemilu soal batas usia capres cawapres.
Menurut bocoran di sidang, MKMK mendapati banyak persoalan pelanggaran dalam keputusan itu. Tanggal 7 November nanti, MKMK akan memberikan keputusan atas hasil pemeriksaan terhadap para hakim MK yang memutuskan UU Pemilu tentang batas usia capres cawapres.
Jika keputusan MKMK bahwa MK melanggar kode etik atau kesalahan dalam keputusan atau terjadinya nepotisme atau konflik kepentingan, apakah akan membatalkan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Kemungkinan sangat terbuka. Tapi juga tergantung siapa yang memutuskan. Di Indonesia, hukum bisa dipermainkan, bisa dipelintir dan memainkan hukum di atas hukum. Terlebih dalam suasana politik Pemilu 2024 kali ini.
Masalahnya begini.
Jika keputusan MKMK menyebut bahwa Hakim MK bersalah, bisa batal pula keputusan MK, apakan secara otomatis batal pula pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo ?
Akan besar risikonya. Panitia Pemilu yang menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres juga bisa dianulir alias dibatalkan. Panitia Pemilu bisa juga dituntut. Prosesnya akan berbelit dan riuh.
Jika menurut peraturan, putusan MK sebetulnya bersifat final dan mengikat. Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang. Hasil putusan MK wajib dilaksanakan meski hakim terkena kode etik. Keputusan MK adalah erga omnes. Berlaku bagi semua orang. Tidak ada dasar hukum untuk membatalkan putusan MK.
Jadi, kemungkinan, hakim MK, termasuk Pimpinan MK bisa saja terkena pelanggaran kode etik, tetapi keputusan tetap berjalan dan Gibran tetap bisa menjadi cawapres Prabowo. Gibran akan menanggung beban berat dalam keputusan pelanggaran yang dilakukan Hakim MK.
Keputusan tanggal 7 November nanti yang terbaik adalah, MKMK membuat keputusan soal pelanggaran kode etik hakim MK namun tidak membatalkan keputusan MK. Gibran bisa tetap menjadi cawapres Prabowo. Nasibnya tak lagi ditentukan MK, tapi justru rakyat yang menentukan apakan mereka menyukai anak muda bernama Gibran menjadi Cawapres Prabowo atau menolaknya.
Keputusan MKMK pada 7 November nanti, bukan soal nasib Gibran, melainkan nasib pimpinan dan hakim MK. Gibran pasti sudah tahu risiko sebuah skenario, jika keluaraganya melakukannya.
Yenny Wahid Ungkap Restu dan Doa Untuk Prabowo dari Ibunda Sinta