Di abad lalu berlaku pemeo: Perempuan, bila ingin sukses dalam karier, harus berusaha dua kali lipat laki-laki. Belum lagi, ada langit-langit kaca yang membuat perempuan mentok sebelum mencapai puncak.
Semasa kecil aku tidak tahu dan tidak peduli. Aku dibesarkan di sebuah keluarga yang mengharapkan anak-anak perempuannya kelak menjadi istri dan ibu saja. Aku disekolahkan, sama seperti kakakku laki-laki yang dua tahun di atasku, tapi aku boleh pintar, boleh juga tidak. Sementara kakakku itu dipelototi setiap hasil ulangannya dan mendapat hukuman dari ibuku bila hasilnya buruk.
Tanpa diawasi aku bergulir terus. Pas-pasan saja. Tapi terus bersekolah sampai lulus perguruan tinggi. Setelah itu aku bekerja di kantor pertama dan kantor kedua hanya setahun-setahun, kemudian mendarat di grup majalah wanita, dan … pernah mencapai kedudukan sebagai Pemimpin Redaksi. Aku tidak berupaya dobel laki-laki, padahal aku perempuan, istri serta ibu dua anak. Aku bekerja saja sebaik-baiknya sesuai minat, kemampuan dan etos kerjaku.
Fast forward ke abad ini. Apakah perempuan tetap terhalang untuk sukses di karier? Masih adakah langit-langit kaca? Aku belum pernah menemukan hasil survei yang fokus ke sini, tapi yang jelas pintu makin terbuka bagi perempuan sehingga cukup banyak perempuan berjaya di posisi, yang seyogyanya adalah “milik” laki-laki.
Sekarang sebagai perempuan senior, di zaman yang serba online ini aku termasuk kelompok masyarakat yang dianggap gaptek soal gawai. Aku mengaku, aku harus berupaya dobel bila ingin “survive”. Aku dan sahabatku sering membicarakan kegaptekan kami, dan saling isi-mengisi. Untungnya kami sama-sama tidak mau menyerah. Ia berjuang dengan IG Live-nya, aku berusaha sepenuh hati di dunia tulis-menulisku di medsos, wordpress, portal.
Selain menulis aku ingin bisa membuat ilustrasiku sendiri, menggabungkan tulisan dan gambar, memadukan beberapa gambar, memilih huruf dan warna, dan seterusnya. Kutekuni semua ini dengan usaha keras dan bertanya sana-sini. Untuk mempunyai blog aku sampai rela merogoh kocek, belajar pada seorang tutor.
Kenapa aku tidak menikmati saja usia pensiunku seperti perempuan lain sebayaku? Kenapa mesti memaksa mengatasi gaptek yang boleh dikatakan adalah “kodrat” perempuan berumur? Mungkin sebab ada passion di sana.
Untungnya, kesenangan kecil dari tantangan yang sulit ini membuat hari-hariku di rumah selama PSBB dan sekarang PPKM darurat tidak membosankan. Aku bukan sekedar “kill the time” tapi “fill the time” dengan sesuatu yang kusukai.