Setiap kali pergi ke rumah ibadah, lelaki itu biasa duduk di tempat paling pojok belakang dan tersembunyi. Kesannya, ngumpet dari pandangan orang.
Padahal, jika mau, ia bisa duduk di deretan depan dan dekat mimbar. Ia juga bisa berangkat lebih awal untuk memilih tempat yang disukai. Tapi, hal itu belum pernah sekalipun ia lakukan, kendati banyak tempat yang kosong.
Entah mengapa, ia merasa tidak pantas di depan. Menurut ia, yang layak duduk di depan itu khusus umat pilihan, terpandang, dan terhormat.
Berbeda dengan dirinya yang umat kebanyakan. Ia sadar diri, bahkan ia berasa minder, karena hanya seorang pemulung.
Pekerjaannya memulung dan mengumpulkan barang bekas yang dibuang orang, lalu dijual kembali ke pengepul. Hasil jualannya sekadar untuk menyambung hidup keluarga.
Jika mereka beribadah dengan segala kebanggaannya, ia dengan kerendahan dirinya, kepapaan, dan kenistaannya.
Baginya, pergi beribadah bersama umat itu tidak lebih untuk mengobati jiwa yang luka agar Allah mengasihi, mengampuni, dan menyembuhkannya.
Tapi khotbah minggu pagi itu membuat jiwanya tersentak seperti disengat kalajengking, ketika Allah diibaratkan sebagai pemulung.
Dalam keesaan dan kerendahan hati-Nya, Allah memulung dan mengumpulkan umat yang berdosa untuk dibersihkan-Nya agar mereka berguna dan tidak binasa.
Allah yang murah hati tidak segan untuk mencari domba-domba-Nya yang menjauh, meninggalkan, atau yang hilang agar ditemukan kembali.
Sebab, ada sukacita yang lebih besar di surga, karena satu orang berdosa yang bertobat daripada 99 orang benar yang tidak membutuhkan pertobatan.
Lelaki itu memejamkan mata. Jiwanya terguncang dan ia terisak.
Ia seperti disadarkan dari mimpi buruknya. Ia tidak perlu malu atau minder dengan pekerjaannya sebagai pemulung. Ia akan terus memulung belas kasih Allah untuk mengisi hatinya untuk lebih peduli, berempati, dan berbelarasa pada sesama.
Ia ingin menjadi pemulung sejati untuk meneladani belas kasih Allah. Pemulung yang murah hati.