“The reason for me to write is writing….” begitu secuplik kutipan dari Amy Tan, salah satu penulis favorit saya. Secara lebih sederhana ia ingin mengatakan, bahwa ia menulis karena ia suka. Eh…sama! Saya juga menulis karena dari situ saya mendapat kesenangan dan kepuasan batin. (Dapat duit juga sih, sekali-sekali).
Amy Tan adalah penulis wanita Amerika, pendatang dari daratan Cina. Kisah hidupnya di dua negeri yang sangat berbeda itu, menyeberangi samudera luas dan mengalami kesulitan hidup dan gegar budaya yang luar biasa, membuatnya sangat “kaya” akan pengalaman dan getir-gembiranya perasaan. Buku-bukunya sangat saya sukai, terutama “Joy Luck Club” yang sudah difilmkan, dan “The Kitchen God’s Wife.”
Dan saya seorang fan, follower, dan friend FB (mudah-mudahan ia mengakuinya) penulis kenamaan ini. Saya tidak malu mengakui, bahwa ada beberapa persamaan antara kami selain sama-sama gemar menulis. Kami berdarah Tionghoa, kami mengambil major bahasa Inggris di Universitas, dan subjek tulisan yang paling kami sukai adalah hubungan ibu dan anak perempuan.
Yang memikat dalam karya Amy, buat saya adalah tokoh ibunya. Karakteristik tokoh ini ada pada sebagian besar ibu-ibu berdarah Tionghoa, juga kaum peranakan dari generasi ibu saya. Bagaikan Tiger Mom, Ibu Macan, ibu dalam buku-buku Amy bersikap keras dan mendidik, tapi “bela mati” terhadap anak-anaknya. Ciri-ciri ini saya temui, dalam skala lebih kecil, pada diri ibu saya. Di sisi lain Amy sangat respek pada ayahnya, dan begitu juga saya.
Selain itu, yang paling penting: kisah-kisah Amy kaya sekali dengan hubungan antarmanusia, info dan latar belakang sejarah.
Walaupun — siapalah saya ini, hanya versi printil dari dirinya — pernah juga saya terpikir: kesukaan kami menulis, dorongan untuk selalu berbagi dalam tulisan, apakah itu berkah atau nasib?
Hahaha, tentang hal ini saya sudah “bertanya” kepada engkong Confusius, dan dasar filsuf, jawabannya tidak langsung. Katanya, “Dengan melakukan sesuatu yang kamu sukai, cucuku, kamu tidak pernah bekerja satu hari pun dalam hidupmu, melainkan hanya melakukan hobi.”
Lalu jeblak … ia menambahkan, “Jadi sudahlah, jangan rewel. Lakoni saja.”
Dipikir-pikir, mungkin itulah yang membuat saya akhirnya berlabuh di seide.