Karena momen anak bersikap emosional, tantrum malahan, yang perlu orang tua sasar adalah bagian otak yang mengurusi sikap empati, dalam hal ini otak kanan, yg biasa berfungsi sebagai co regulator emosi.
Jika kita hanya memintanya diam, secepatnya tenang, dan atau malah mengucapkan kalimat-kalimat yang bertendensi memojokkannya seperti menganggapnya tidak rasional, hal itu sama dengan menyerang otak kirinya. Dianggap memojokkan sisi logika anak tersebut. Kenyataannya, anak memang sedang kesulitan untuk bisa merasa tenang dan menerima hal tersebut pada saat itu.
Orang tua perlu mencermati juga apakah sikap emosional, mengamuk dan tantrum itu adalah ungkapan lapisan perasaannya yang lain. Sebut saja, kelelahan fisik dan mental dengan jadwal belajar yang ketat, keinginan untuk lebih dekat dan diperhatikan orang tua, merasa tertekan dengan lingkungan keluarga atau teman sebaya.
Bila demikian, sebaiknya orang tua menindaklanjuti hal ini juga. Karena makin berlarut-larut masalah sebenarnya, hal itu akan menjadi penyebab permasalahan yang lain.
Bila murni anak emosi, ngamuk atau tantrum karena persoalan yang dialami, hal-hal berikut boleh dan bisa dilakukan. Tentu saja, ketika anak sudah tenang kembali.
“Ibu tahu, kamu marah dan tak suka banget dengan perlakuan Bu Guru. Karena ibu juga sama tak sukanya sepertimu.”
“Mami ngerti, kamu kesal banget kue kesukaanmu dihabiskan adik.”
Atau, “Iya, nggak apa-apa ade marah karena nggak jadi ke pantai, apalagi sudah direncanakan ya…”
Lalu, cobalah langkah-langkah berikut sebagai proses lanjutannya.
– Ajarkan anak memilih hal yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tawarkan pilihan seperti minum, tidur, makan makanan kesukaan atau malah melampiaskan emosi dengan memukul bantal, mandi, berenang sambil bebas melompat-lompat, main di trampolin; tentu semua sesuai dengan preferensi anak.
– Setelah tenang, barulah anak bisa diajak bicara tentang perasaannya.
>> Berikutnya : Proses demikian perlu ……..