Cerita Teman
Anakku dua orang, Rully, laki-laki dan Miya, perempuan. Mereka masing-masing melengkapi hidupku dengan dua putri yang cantik-cantik, sehingga cangkir kebahagiaanku serasa penuh.
Hubunganku dengan Miya akrab bagaikan sahabat. Dengan kakaknya, tidak sedekat itu. Yah, namanya juga anak lelaki. Uniknya, kami menjadi akrab justru setelah dia berkeluarga.
Rully dan keluarganya tinggal berjauhan dari aku. Aku di Kalibata, mereka di Bumi Serpong Damai, Tangerang. Sebagai konsultan Feng Shui, Rully dan Fira sering pergi mengunjungi klien di luar kota, sehingga aku harus bermalam di rumah mereka menemani Kirana dan Khiara yang masih kecil-kecil.
Rully juga sesekali menjemputku untuk memperlihatkan hasil pekerjaannya merenovasi apartemen di PIK (Pantai Indah Kapuk) sesuai Feng Shui. Bayangkan jauhnya jarak yang ditempuhnya semata-mata agar ibunya dapat menyaksikan hasil karyanya.
Ketika aku sudah pensiun dan di rumah Rully tidak ada ART, anak-anak diantar ke sekolah, lalu pulangnya aku yang menjemput. Kubawa mereka pulang ke rumahku, untuk kemudian dijemput pada malam hari.
Semua itu mendekatkan hubunganku dengan mereka, namun tentunya jarak tetap menjadi kendala, apalagi ketika Rully mulai sakit-sakitan. Aku pun berencana menjual rumah Kalibata dan membeli dua rumah yang berdekatan, satu untuk Rully, satu untuk Miya. Tentunya proses “menukar” itu tidak mudah. Setelah sekitar tiga bulan mencari, akhirnya Rully mendapatkan dua rumah yang bersebelahan.
Rupanya Allah sudah mengatur sedemikian rupa, karena beberapa bulan kemudian Rully diambil oleh Yang Maha Kuasa sebelum sempat pindah ke rumah baru.
Malam itu, 11 Agustus 2014, seperti biasanya Rully dan Fira menjemput kedua anak mereka di rumahku. Baru sampai jalan Warung Buncit, Rully mendengkur. Fira memutar balik mobilnya menuju Rumah Sakit di jalan yang sama. Tapi terlambat. Menurut pemeriksaan dokter, Rully sudah tidak ada. Fira menelponku, ”Rully…Mah…”
Aku sudah tahu, walaupun kalimat Fira tidak lengkap. Aku segera menyusul ke rumah sakit. Duuuh rasanya seperti mimpi buruk…anakku menghadap Yang Maha Kuasa….
Jenazahnya kami bawa ke rumahku, ke tempat Rully melewatkan masa kecilnya. Bukan ke BSD, karena terlalu jauh. Besoknya dia dimakamkan di TPU Jeruk Purut.
Rully berumur 44 tahun saat itu. Ia memang mengidap penyakit jantung; menurut dokter kemampuan otot jantungnya untuk memompa darah makin lama makin menurun. Gejalanya sudah terasa sejak lima tahun sebelumnya. Sejak itu ia sering keluar masuk rumah sakit.
Tiga bulan sebelum meninggal dia juga dirawat karena sesak napas. Menurut dokter kemampuan jantungnya, dari yang semula 50%, sekarang tinggal 25%. Sepulang dari rumah sakit, dia jadi cepat lelah dan sulit berkonsentrasi. Tetapi dia tidak mau beristirahat di rumah, setiap hari masih ikut kegiatan istrinya, antar jemput anak-anak ke sekolah, menyelesaikan renovasi rumah pelanggan, dan menemui klien Feng Shui.
Setelah Rully meninggal beberapa orang menanyakan, apakah tidak ada firasat sebelumnya. Sebetulnya ada, tapi kutepis. Pernah suatu kali dia berkata, “Kayaknya saya akan berakhir tahun ini.” Aku pura-pura tidak mendengar. Aku hanya berdoa, “Ya Allah, berikan yang terbaik buat Rully….”
Jauh hari sebelumnya, kuingat Rully beberapa kali “titip anak-anak” kepadaku, agar bisa disekolahkan setinggi mungkin. Menurut Fira, kepadanya ia juga berpesan begitu. Dan Miya berkata, kakaknya pernah separuh bercanda mengatakan, “Kalau aku enggak ada, kamu ‘kan yang mengurus anak-anak?”
Ditinggalkan sulungku, langit serasa runtuh. Aku sedih, bingung, tidak keruan rasa, selama dua tahun. Setiap kali teringat dia, pasti aku menangis sampai lelah.
Aku juga didera penyesalan karena pada saat Rully menghembuskan napas terakhir, aku tidak ada di dekatnya. Malam itu, ketika ia dan Fira menjemput anak-anak, aku hanya mengantar mereka sampai ke teras. Rully dan Fira juga tidak turun dari mobil. Ah, kalau saja aku berjalan sedikit dan mendekat ke mobil, aku masih bisa melihat Rully untuk terakhir kalinya.
Sering aku terkenang akan suatu saat spesial. Waktu itu aku dan Miya pergi ke Bandung untuk menghadiri acara keluarga. Besoknya hari ulang tahunku. Malam itu, pas jam 24.00 Rully, Fira dan kedua anak mereka mengetuk pintu kamar hotel, membawa surprise berupa kue ulang tahun berlilin dan menyanyikan “Happy Birthday”. Sesudah kue dipotong, mereka kembali lagi ke Jakarta. Rupanya itu ulang tahunku yang terakhir bersama Rully.
Enam bulan sesudah Rully meninggal, kami pindah ke dua rumah baru kami. Sesuai rencana aku tinggal bersama Miya, dan setiap hari bisa ikut merawat anak-anak Rully yang tinggal di rumah sebelah.
Waktu berlalu, dan aku masih saja limbung. Suatu hari sepulang sekolah, seperti biasa Khiara langsung datang ke rumahku. Bungsu Rully ini sangat mirip serta paling dekat dengan ayahnya. Dulu aku sering geli memerhatikan ayah-anak ini ngemil berdua sambil tertawa-tawa. Khiara kehilangan keakraban itu sejak usianya 8 tahun.
Hari itu, sehabis makan Khiara duduk berdua denganku di depan televisi. Kalau ditanya ia menjawab, tapi selebihnya ia diam saja. Ia duduk merapat di sisiku, kepalanya menempel di bahuku.
Merasakan kedekatannya aku membatin, mungkin dia rindu pada ayahnya, dan menyalurkan kerinduannya kepada Nini. Maka… selayaknya Nini menjadi pihak yang tegar baginya. Maafkan Nini yang terbuai kesedihan sampai “lupa” padamu, Sayang.
Aku menarik napas dalam-dalam. Sudah tiga tahun aku kehilangan Rully. Sudah saatnya aku mengizinkan logikaku mengalahkan emosi. Aku harus menerima, bahwa yang penting, Rully tidak merasa sakit lagi. Semua sudah diatur sedemikian ajaibnya oleh Allah SWT. Salah satu buktinya, sekarang rumah kami bersebelahan, sehingga aku bisa setiap hari menyediakan makanan buat cucu-cucu dan membantu mengawasi mereka semua.
Akan halnya Rully, aku semakin yakin bahwa anak adalah titipan Allah, dititipkan kepada orang tuanya dan akan diambil kapan saja Sang Pemilik berkehendak. Ada satu ayat dalam surat Ar-Rahman yang berbunyi: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan….”
Allah telah memberi nikmat yang tidak terhitung jumlahnya untukku, termasuk nikmat yang telah kuterima pada saat aku dipinjamkan Rully, sejak bayi hingga berusia 44 tahun.
(Rostiawati, sebagaimana yang diceritakan kepada BG 2 tahun yang lalu.)
“Tidak pernah ada, dan takkan pernah ada, sesuatu yang demikian istimewa seperti kasih sayang antara seorang ibu dan anak lelakinya.” – Anonim