(Foto: Eduard Delputte /Unsplash)
Penulis : Jlitheng
Untuk para sahabat yang akan dan sedang mudik, cerita ini sebagai teman pelepas lelah ketika kemacetan jalan tol tak terelakkan. Atau, delay pesawat yang terus terjadi.
Istirahat dulu, sambil ngopi baca salam pagi ini.
Teriak gembira seorang ibu membelah sunyi ketika menerima kabar dari anak tunggalnya yang telah lama tanpa kabar. Anaknya dapat tugas negara berperang ke Vietnam empat tahun yang lampau dan, sejak tiga tahun terakhir, tidak pernah ada kabar lagi. Dikira anaknya itu gugur di medan perang. Dapat dibayangkan betapa bahagianya perasaan ibu itu. Anaknya besok pulang.
Sejak pagi telah disiapkan segalanya untuk menyambut anak tunggalnya. Diundang juga relasi penting ayahnya, pejabat, dan pebisnis. Sang ayah memang orang ternama.
Siang harinya si ibu terima telepon dari anaknya yang sudah berada di airport.
Si Anak: “Bu, bolehkah saya bawa kawan baik saya?”
Ibu: “Oh boleh, rumah kita cukup besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan-segan, bawalah!”
Si Anak: “Tetapi kawan saya itu seorang cacat, korban perang?”
Ibu: “… ooh tak masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacat?” – nada suaranya sudah menurun.
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!”
Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena tidak mau mengecewakan anaknya, berkata: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, tak jadi masalah?”
Si Anak: “… Tapi, masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga rusak dan kulitnya hangus terbakar, sebab, pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur, melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar! “
Si Ibu, dengan nada kecewa dan kesal: “Nak, lain kali saja kawanmu itu diundang ke rumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, biar Ibu yang bayar biaya hotelnya!”
Si Anak: “Tetapi ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!”
Si Ibu: “Coba renungkan, Nak, ayahmu adalah seorang yang ternama dan sering ada tamu pejabat maupun orang penting. Bagaimana kesan mereka jika di rumah kita ada yang cacat seperti itu?”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut dari anaknya, telepon diputus dan ditutup ibu itu.
Padahal,informasi paling penting belum disampaikan, yakni tentang dirinya dan temannya itu.
Orangtua dari anak itu dan para tamu menunggu hingga sore hari, tetapi sang anak tidak pulang. Ibunya mengira anaknya marah, tersinggung, karena temannya tak boleh datang ke rumah mereka.
Pukul tujuh malam, mereka menerima telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang, karena harus mengidentifikasi mayat dari seorang pemuda eks-tentara Vietnam, yang kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun rusak karena terbakar.
Mereka mengira tubuh itu adalah milik teman anak mereka, nyatanya pemuda tersebut adalah anak mereka sendiri!!
Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putra tunggalnya. Tertabrak mobil ketika sedang menyeberang menuju hotel.
Andaikan saja si ibu mau mendengar kisah anaknya sampai tuntas, pasti anaknya jadi pulang.
Apakah kita ini seorang pribadi yang beda dari ibu itu? Yang mengambil keputusan sepihak, dengan informasi yang tidak lengkap dan dipengaruhi oleh prasangka atau asumsi.
Apakah kita masih tetap mau berkawan dengan:
– teman yang cacat nama baiknya?
– dia yang tak menguntungkan lagi?
– dia yang cacat status dan kehidupannya?
Apakah kita masih tetap mau berkawan dengan orang:
– yang jatuh miskin?
– yang kena masalah?
– yang keluarganya retak?
– yang nama baiknya cemar?
– yang tidak punya kerja lagi
– yang pindah agama?
Salam sehat dan tetap berbagi cahaya walaupun redup.
Dia Anak Muda Pemberani – Catatan Halaman ke-101
Menjadi Benar, Berbeda dari Merasa Benar – Catatan pada Halaman ke-5