Jatuhnya pemerintah Afganistan memberi angin segar kepada Talibanis di bumi Nusantara yang terobsesi menerapkan ideologi yang sama, Islam puritan yang merujuk pada masa lalu.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
Bagian akhir dari dua tulisan.
GEBRAKAN pertama yang dilakukan Furqon adalah menyebarkan selebaran yang berisi provokasi penyesatan pada kaum Muslim dan intimidasi pada kelompok non Muslim. Salah satu isi selebaran yang dibagi2kan di halaman mesjid Istiqal tanggal 12 November 1998 berbunyi,
“Sungguh malang nasib umat Islam Indonesia, karena terlalu lemahnya, pernah diperintah oleh bangsa beragama Kristen selama 350 tahun; oleh bangsa beragama Shinto selama 3,5 tahun; selama 20 tahun diperintah kelompok nasionalis sekular; dan selama 32 tahun dibawah rezim orde baru. Tidak tahu, akan diperintah oleh siapa lagi pasca Orde Baru, mungkin saja oleh kelompok Marxis atau orang beragama lain, wallahu alam bish shawab.
Selebaran menyesatkan dan manipulatif seolah olah hanya “umat Islam” yang menjadi korban penjajahan Belanda dan Jepang. Padahal korbannya seluruh rakyat Indonesia, dari semua suku dan agama serta golongan. Lagipula, sejak negeri ini berdiri Indonesia dipimpin oleh proklamator Muslim, dan mayoritas menteri dan pejabat tinggi negerinya muslim. Tentu saja bukan muslim “mereka” muslim kelompok fundamentalis radikal.
Sejarah mencatat Kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia diperjuangkan oleh tiga kelompok besar, yakni Kelompok Kiri, Kelompok Tengah dan Kelompok Kanan. Komunisme dan Sosialisme ada di Kiri, Nasionalisme di Tengah dan Islam Fundamentalis ada di Kanan.
Baik kelompok Kiri maupun Kanan sama sama pernah memberontak dan berupaya merebut kekuasaan yang sah, yakni PKI 1948 dan 1965, dan DI / TII di tahun 1950-an hingga 1962. Kaum Nasionalis, dari semua agama suku dan golongan lah yang menang. Sampai sekarang.
Selanjutnya Furqon “memproklamasikan” budaya mempertontonkan “keislaman” seperti melilitkan kain putih bertuliskan kalimah sahadat dan meneriakan takbir bersahut-sahutan. Awal populernya takbir Allahuakbar sebagai yel-yel dalam demonstrasi kelompok fundamentalis.
Meski menyebut 32 tahun rezim Orde Baru yang mencengkeram “umat Islam, tokoh tokoh Islam garis keras yang dulu ditindas rezim militer simpatisannya akhirnya bekerjasama dengan rezim Cendana dan militer juga, dengan membentuk Pam Swakarsa yang kemudian menjadi FPI yang bertahan hingga tahun 2020 lalu. Mereka adalah para Habib dan ABRI pembela Orba. Wajah wajah mereka nampak saat sowan ke Keluarga Cendana. Mereka juga berkembang biak di masa dua periode Pak Mantan, dengan mengakomodir aspirasi mereka sehingga kini menjadi semakin kuat.
Mereka lah yang kini mempraktikan agama Islam secara sempit, memanipulasi Al Quran dan hadis sesuai kepentingan politik mereka – mengadopsi tingkah laku anarkis termasuk aksesorisnya seperti memanjangkan jenggot, memakai sorban dan celana cingkrang. Bahkan mendukung ISIS dalam parade mereka di tengah ibukota.
Mereka dalam perlindungan ulama dan ustadz intoleran MUI, yakni LSM bentukan rezim Orde Baru (1975) yang mengobarkan isu isu sektarian melawan pemerintah. Menyuburkan paham intoleransi, anti modernitas, anti keberagaman dan kebhinekaan, menjadikan Islam sebagai senjata politik dan menguasai semua lini kehidupan. Bahkan membangun kesan Islam sebagai agama kekerasan dan penuh ancaman. Demo demo mereka melawan Istana berbasis di masjid Istiqlal Jakarta, dimana MUI berkantor.
Pembiaran atas klaim ajaran intoleran ala Taliban itu tersebut berdampak pada munculnya muslim muda yang beringas, paham paham hijrah yang ke Arab araban, mengharamkan bunga bank, musik, pacaran, dan mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda paham.
Hal yang juga mengkhawatirkan bagi rakyat yang mendukung keberagaman dan kebhinekaan adalah peran ABRI/TNI serta polisi serta penegak hukum pada umumnya yang cenderung berpihak kepada yang menang. Bukan kepada yang benar. Saat FPI menutup gereja, terjadi kerusuhan, pembunuhan dan pengusiran kepada warga Ahmadiyah, aparat dan penegak hukum hanya bertindak ala kadarnya. Tidak tuntas, tidak menimbulkan efek jera.
Perkembangan intoleransi tak lepas dari pembiaran yang dilakukan TNI / Polisi yang seharusnya berada di tengah – melindungi kaum Nasionalis – melindungi segenap NKRI dari paham intoleransi. Kekuatan aparat kita, yang dibiayai negara ratusan triliun per tahunnya – anehnya, kalah oleh manuver para politisi Senayan yang intoleran dan bernuansa golonganisme serta kelompokisme.
Kita syukuri HUT kemerdekaan RI yang 76, dengan segala keprihatinannya kini – karena pandemi global – semoga NKRI bertahan hingga 100 tahun bahkan 200 tahun atau 1000 tahun.
Karena jika Talibanisme berkembang dan berkuasa di sini, maka kita kembali ke alam penjajahan. Kita dikuasai penjajah baru yang mengatasnamakan agama, yang mengabaikan perikemanusiaan, musyawarah, keadilan, persatuan, dan bertentangan dengan Ketuhanan yang Maha Esa, tuhan bagi semua agama. ***