Bagaimana Menjadi Good Patiens

Seide.id – 10 Kiat Menjadi Pasien yang Efektif

(Kliping Tulisan 2007 dan dalam Buku “Dari Balik Kamar Praktek Dokter”)

Hanya karena kurang efektif melakukan peran sebagai pasien, ada ongkos yang tak perlu yang mesti pasien bayar, selain belum tentu keluhan hilang, dan penyakit sembuh. Untuk itu sedikitnya perlu sepuluh kiat, bekal menjembetani gap kompetensi Anda sebagai pasien dengan dokter pada setiap kali Anda sedang memerlukan bantuannya.

1 Kapan sebaiknya perlu ke dokter?

Tentu tidak setiap merasa kurang enak badan perlu langsung minta bantuan dokter. Hampir sebagian besar keluhan sehari-hari akan mereda sendiri, dengan atau tanpa bantuan obat. Maka paling arif, kalau menunda dulu mencari dokter, bahkan untuk segera minum obat warung sekalipun.

Keluhan fisik bisa muncul bila tubuh kurang diberi waktu untuk jeda. Orang sekarang cenderung kurang tertib memperlakukan jadwal hariannya. Juga dalam hal jeda. Selain waktu tidur semakin berkurang, tubuh kurang diberi kesempatan buat memulihkan energi, menggaanti jaringan yang aus, dan kembali membugarkan diri.

Tidur, atau sekadar merebahkan badan teratur, barang setengah jam sudahlah memadai.
Tidur siang kini jadi barang mewah buat sebagian orang kota. Padahal kebiasaan ini mestinya tidak boleh luput dari kesibukan kita yang nyaris tanpa jeda. Bukan cuma fisik, pikiran kita juga sering kelewat letih. Letih menahun acap menjadi penyakit baru bagi orang yang lupa menyisihkan waktu jedanya. Dan makna tidur siang tak perlu berbaring seperti di rumah. Sehabis makan siang, tidur bisa dibiasakan dalam posisi terduduk, misalnya.

Banyak keluhan fisik muncul sebab tubuh kurang beristirhat. Maka cara pertama bila badan merasa kurang enak: bawalah tidur atau merebahkan diri, pilih menu berprotein (sop, soto), dan mungkin perlu ekstra telur, selain multivitamin.
Bila setelah dibawa jeda, keluhan masih juga, pikiran pertama, kemungkinan mau ”masuk angin”.

Apa itu? ”Catch cold”, kata Mr. Bush. Bila kurang tidur, telat makan, lama terpapar hawa dingin atau kehujanan, badan jadi lemah, dan itu umumnya tanda awal mau flu. Badan pegal linu, pening, mulut pahit, mungkin sering bersin, rasa tak enak di tenggorokan. Perlu langsung ke dokter?

Jangan dulu. Beli obat warung, langsung tenggak, cari sop kambing (kalau suka), bawa tidur, dan jangan mandi air dingin (apalagi tidur di kulkas).

Umumnya, keluhan akan segera reda, dan flu batal muncul.
Yang sama dilakukan bila di seruangan kantor ada, atau banyak yang lagi flu. Badan tak enak di tengah orang flu, kemungkinan sudah tertular. Obat flu di saat masih awal-awal, umumnya membantu. Cukup minum sekali, biasanya flu batal nongol.

Tidak demikian bila sudah terlambat. Apalagi kalau sudah muncul dahak, dan dahaknya berwarna hijau kuning, tanda infeksi bukan lagi oleh virus melainkan sudah ditungganggi kuman. Inilah saatnya perlu bantuan dokter.
Atau bisa terjadi, baru di awal-awal serangan flu, langsung sudah parah.

Ini biasanya terjadi pada mereka yang suka asma, paru-paru pernah flek, pengidap penyakit jantung, atau anak dengan kelainan jantung bawaan. Untuk mereka mungkin perlu lebih dini minta bantuan dokter. Asma diperburuk oleh serangan flu dan infeksi THT.

Jangan ditanya kalau flu sudah bikin kuping jadi budek, tenggerokan seperti disilet, atau sesak napas kayak habis dikejar maling. Yang begini tak bisa diobati sendiri. Tidak juga potong kompas mencoba-coba tanya apotek pilih obat apa. Betul apoteker mengerti obat, tapi tentu tidak tahu urusan penyakit. Tidak tahu di balik keluhan dan gejala flu kemungkinan ada apa saja.

Keluhan yang kian progresif, dan bertambah ragam dan modalitasnya juga perlu diwaspadai kalau penyakitnya bukan tergolong main-main. Sudah tidur, sudah minum obat warung, sudah makan enak, tapi malah tambah banyak keluhannya, berarti jangan tunda mencari dokter.

Pergi ke dokter juga dipertimbangkan bila selain keluhan, muncul pula tanda penyakit yang tampak, seperti muncul cacar, bisul, ruam merah kulit, benjolan yang mendadak besar, atau gangguan fungsi seperti kesemutan hebat, terasa lemah, tak bisa menggerakkan badan, mendadak penglihatan buram, atau gelap sesaat, memegang gelas tiba-tiba gelas terlepas dari jemari tangan, atau timbul kejang-kejang.

Keluhan, tanda, gejala, seperti itu mungkin awal penyakit yang bukan enteng.
Juga bila keluhan yang dianggap enteng, seperti mual, mulas, nyeri kepala, semakin menghebat. Apalagi kalau sampai tak tertahankan, berarti memang ada yang perlu segera diatasi. Bisa jadi ini kegawatdaruratan medik. Jangan tunda mencari dokter sekalipun harus sampai ke pasar.

2 Obat tidak selalu identik dengan kesembuhan.
Ya, minum obat tidak memberi janji seratus persen niscaya bakal sembuh, atau meniadakan keluhan, gejala, dan gangguan fungsi organ tubuh. Sekalipun obat itu dari resep dokter.

Kita mengenal ada dua jenis obat. Obat untuk meredakan keluhan dan gejala atau obat simptomatik, dan jenis obat kuratif. Dokter umumnya meresepkan keduanya, meskipun sesungguhnya obat pereda keluhan tidak perlu-perlu amat, sebab selain pasien harus merogoh kantongnya lebih dalam, umumnya kurang begitu ada gunanya.

Selama pasien bisa tahan dengan keluhan demam, nyeri kepala, mual, dan lainnya, tak perlu obat pereda diberikan. Termasuk obat batuk, obat mencret, obat pusing tujuh kelililng, atau obat gatal, dan pereda keluhan lainnya.

Jauh lebih penting apakah obat untuk membasmi akar penyakitnya sudah tepat pilihannya. Dan di situ sesungguhnya inti kesembuhan dan letak nilai bertangan dingin tidaknya seorang dokter. Pasien boleh merasa sembuh karena sudah lebih enak sehabis minum obat dokter. Tapi merasa sembuh bukan berarti penyakitnya sudah sembuh jika yang pasien minum jenis obat pereda keluhan dan gejala.

Bila dokter gagal menemukan penyakit pasiennya, yang berarti gagal mendiagnosis, sehingga obat yang diresepkannya pun tidak tepat sasaran, percuma kalau hanya merasa sembuh, sebab sesungguhnya belum sembuh. Dengan begitu, kendati si pasien merasa enakan sebab diberi obat pereda keluhan, oleh karena obat dokter tidak berhasil memadamkan api dalam akar penyakitnya (misdiagnosis), maka begitu obatnya habis, keluhan dan gejalanya muncul lagi, dan perjalanan penyakitnya sudah semakin berlanjut, atau mungkin malah sudah komplikasi.

Itu ruginya bila resep dokter kelewat banyak. Dan yang banyak itu justru jenis obat pereda keluhan yang seakan menghibur pasien. Dan begitu kedoyanan kebanyakan pasien modern, maunya begitu keluar dari kamar praktik dokter, seluruh keluhannya harus sudah sirna. Padahal sekali lagi, hilangnya keluhan belum tentu berarti sakitnya sudah sembuh.

Perlu dipahamai, seenteng apa pun penyakit yang kita idap, selalu perlu waktu untuk sembuh. Bukan seperti makan cabai, begitu gigit langsung pedas. Untuk sembuh perlu juga waktu. Yang bisa dokter langsung berikan hanya meniadakan keluhan penyakit belaka, tapi obat perlu waktu untuk menormalkan kerja tubuh. Termasuk jika ada bibit penyakit di tubuh kita, karena dokter bukan dukun sembur jampi, apalagi bisa seperti malaikat.