Miris, orang kecil yang mencari nafkah halal diteriaki ‘Goblog’ di tengah orang ramai – dari atas panggung, oleh orang yang paham agama, yang sedang menjadi bintang dan mendakwahkan kemuliaan agama. Disusul gelak tawa para “Gus” yang mulia di kiri kanannya.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
REVOLUSI di Tunisia yang berkobar menjadi gelombang ‘Musim Semi Arab’ (Arab Spring) di tahun 2010 lalu, yang merembet ke berbagai negara di kawasan Timur Tengah – dimulai dari peristiwa di kali lima. Seorang pedagang sayur, bernama Mohamed Bouazizi, sengaja membakar diri sebagai protes karena diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat keamanan: digusur, dipalak, dipukul, dan dagangannya diporak-porandakan. Kerap dihinakan dan diperlakukan tidak adil.
Aksi protes dan bakar diri Mohammed Bouazizi, 26, di Ben Arous dekat Tunis itu mewakili perasaan para pedagang kecil lain, rakyat jelata umumnya yang hidupnya dari waktu ke waktu dikuasai kesusahan dan kesulitan – sehingga gelombang perlawanan massa yang tak terhentikan, menumbangkan penguasa yang yang otoritarian dan korup; presiden Zainal Abidin Ben Ali.
Di Indonesia peristiwa yang sama terjadi saat acara Magelang Bersholawat di Lapangan Drh. Soepardi, Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah – pada Rabu (20/11/2024) lalu. Seorang pendakwah agama yang baru dilantik menjadi Utusan Khusus Presiden melecehkan pedagang es teh di depan jemaah. Si pedagang yang mengangkat baki es teh diteriaki “goblog” dilanjutkan gelak tawa melecehkan. Video aksinya beredar dan mengobarkan kemarahan publik.
Untunglah negara tanggap. Melalui Menseskab dan juru bicara presiden segera memadamkan gelombang kemarahan netizen – notabene warga yang hidup dan nyata yang murka, atas perlakuan nista sang pendakwah yang brangasan itu.
MIRIS – orang kecil yang mencari nafkah halal diteriaki ‘Goblog’ di tengah orang ramai – dari atas panggung, oleh orang yang paham agama, yang sedang menjadi bintang dan mendakwahkan kemuliaan agama. Disusul gelak tawa para “Gus” yang mulia di kiri kanannya.
Ternyata orang yang berilmu agama menggunakan candaan yang merendahkan sebagai alasan pembenaran untuk menista sesamanya. Tak ada adab, tak ada akhlak. Tidak punya etika dan tidak bermoral juga.
Orang Jawa yang paham anggah ungguh, sopan santun, tata krama tak bisa membenarkan melihat pendakwah agama memaki dan mengolok-olok penjual es teh di tengah keramaian; mempermalukan orang kecil. Itu sungguh tindakan dzalim dan biadab.
Celakanya, tingkahnya mendapat pembelaan – disebut sebagai “gaya komunikasi dan candaan”. Padahal itu bukan candaan, melainkan ekspresi kesombongan. Jumawa. Arogan. Hanya mereka yang otaknya “tidak normal” saja yang menyebut pendakwah agama layak megucap kata kata itu. Orang awam pun tak layak melakukan itu.
Pada kenyataannya, pendakwah yang berkulit sawo matang itu tidak beda dengan para imigran Yaman, habib habib yang mengaku turunan nabi – jualan nasab palsu – yang suka menyumpah serapah, lalu menipu muslim pribumi yang mudah terpukau pada wajah Timur Tengah. Imigran jazirah Arab.
Saya tidak tertarik untuk menasehati pendakwah itu. Sudah terlalu banyak akun menulisnya. Menyebut namanya pun enggan. Juga memajang fotonya di sini. Saya cenderung skeptis yang bersangkutan akan berubah. Sebab, banyak anggota masyarakat yang menyukainya, menggemari pendakwah yang suka omong jorok, maki maki, kepada sesama.
Dengan begitu – yang “sakit” bukan hanya si pendakwah. Melainkan juga warga – mereka yang “nanggap” dan memberikan panggung. Sama sama “sakit”nya. Tak beda dengan jemaah yang mementaskan habib yang suka mencaci maki dan omong kotor.
Mengikuti pepatah Jawa, “watuk isa mari – watek digawa mati” – batuk bisa sembuh tapi watak terbawa sampai mati. Sikap brangasan, arogan, suka merendahkan orang lain, suka melontarkan omongan jorok – sudah melekat dalam dirinya.
Apalagi kemudian dia merasa telah banyak berjasa, dekat dengan pejabat tinggi negara, akrab dengan selebritis dan kini mendapat jabatan sebagai Utusan Khusus Presiden – dilantik di istana. Hampir mustahil dia berubah.
KINI dia sibuk bersih bersih. Minta maaf, mengajak umroh, memberi jaket Banser, dan mencari cari pembenaran tindakannya yang kasar. Nampaknya – sementara waktu – dia “tiarap”. Itu bila dia punya rasa malu.
emungkinan lain, memanfaatkan relasi untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Menebar duit untuk pencitraan, berlaku sok baik, sok alim, sok perhatian kepada orang kecil, sampai pada waktunya dia akan mengulangi kesalahan yang sama. Seperti sebelumnya. Sudah mendarah daging. Sudah jadi “watek”.
Sebagai pendakwah kondang, dia sudah berhasil mengumpulkan uang miliaran. Kehidupannya berubah drastis dari sebelumnya – sebagai marbot masjid. Dia mampu mengoleksi mobil mewah dan motor besar (moge) di rumahnya. Kabarnya, tarif manggungnya Rp75 juta untuk ceramah 90 menit (1 jam 30 menit) di luar akomodasi dan transportasi crew-nya.
Terlebih lagi, selaku Utusan Khusus Presiden, dia mendapat gaji Rp.18,6 juta per bulan, meski hingga kini belum dilaporkan ke LHKPN – selayaknya pejabat yang dilantik di istana.
Namanya moncer setelah mengIslamkan pesulap kondang yang kini jadi ‘raja podcast’, dan jadi orang dekat presiden juga. Jadi pembisik di istana. Jabatannya pun mentereng : Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Phuihhh…
Lalu – dia dengan enteng merusak kerukunan jemaah yang datang untuk mendengar syiar agama dengan tindakan pelecehan terang terangan terhadap pedagang kecil.
INSIDEN dengan penjaja teh es pada Rabu malam lalu, mendorong netizen mengungkap identitas aslinya. Ternyata dia bukan keturunan kyai, sebagaimana yang dikenal selama ini. ”… namanya Ta’im, bukan Gus, ayahnya orang Lampung kerja serabutan. Ta’im dulu marbot di Masjid Mergangsan Jogja saat kuliah dan nggak lulus. Dulu nggak ada perempuan mau,” cuit akun tersebut. “Pernah ikut partai gagal. Baru sukses setelah dibantu Amien Rais, lalu berubah jadi Gus supaya terkenal,” tulis netizen lain di X-Twitter.
Dengan begitu, dia memenuhi kriteria sebagai Kere Munggah Bale alias tidak tahu diri. Petruk Dadi Ratu, warga rendahan yang mendadak jadi penguasa, kaya kagetan. Norak jadinya.
Lebih jauh, sosok yang kita bicarakan itu sebenarnya mengungkap gambaran relasi kyai-santri yang feodalistik-paternalistik selama ini – yang sudah mendarah daging dan mengakar-budaya. Para ulama, kyai, tokoh agama, ‘Gus’ dianggap can do no wrong – tidak bisa salah. Atau wong linuwih; orang yang punya kelebihan. Sebab fasih menebarkan ayat suci, dianggap dekat dengan Nabi, dengan Gusti Allah, pemegang kunci surga, dan selalu diistimewakan dengan segala ‘privilege’-nya.
Sebagai warga negara, saya tidak menolak kenaikan pajak 1%, dari 11% menjadi 12% – karena negara yang mau maju dan banyak membanggun, memang pajaknya setinggi itu.
Tapi saya marah karena pajak yang saya berikan kepada negara dipakai untuk menggaji dan memfasilitasi orang orang yang kasar dan brangasan pada rakyat kecil – notabene seorang pendakwah agama. *