Berapa Pasien Idealnya Dokter Memeriksa Per Hari dan Kejadian Malapraktik

Seide.id – Kasus malapraktik sering terjadi akibat dokter kelewat banyak memeriksa pasien. Di negara sedang berkembang, ratio dokter-pasien yang masih belum ideal, bobot kerja dokter sudah kelewat berlebih. Dokter memeriksa tidak secara baik dan benar. Bukan jarang merugikan pasien karena keadaan. Pasien tidak sembuh karena diagnosis mungkin meleset, mungkin salah meresepkan, atau secara psikis pasien tidak puas terhadap layanan medisnya.

Bukan rahasia kalau kebanyakan, kalau bukan semua dokter kita memeriksa pasien sudah amat berlebihan. Dokter muda memeriksa ratusan pasien setiap harinya di puskesmas. Dokter ahli demikian pula di RS atau praktik pribadi. Bahkan ada dokter yang praktik sampai subuh. Apa dampak buruknya?

Dampak buruknya lebih banyak merugikan pihak pasien. Diperiksa seadanya, bukan pasti tidak sembuh, karena bisa saja akibat diperiksa dokter asalan dan secara kilat, masuk akal kalau bisa merugikan pasien, dan yang merugikan itu bisa tergolong berbahaya. Salah kasih obat misalnya.

Nasib pasien di negara sedang berkembang memang bisa begitu. Yang harus dilayani melebihi kapasitas tenaga provider, selain keterbatasan fasilitas, dan akses. Masyarakat harus terima keadaan kalau layanan medis kurang memuaskan, termasuk layanan BPJS sekarang ini terlebih-lebih.

Dokter juga manusia. Akibat bobot kerja melebihi kepasitas ketahanan fisik, bisa saja buah layanan tidak memuaskan pasien. Alih-alih sembuh, mungkin muncul ekses gagal sembuh, kalau bukan muncul dampak buruk lainnya. Pasien sudah antre setengah hari hanya untuk mendapat obat diare, misalnya. Hanya untuk menyambung resep harus buang waktu dan tenaga berjam-jam.

Pengalaman pribadi waktu saya tugas di puskesmas, tiap hari tak kurang harus memeriksa lebih 100 pasien. Kalau ikut aturan medis, tata periksa medis yang baik dan benar, pasti tidak akan selesai sampai malam hari. Bahkan hanya sekadar stetoskop tidak menempel di kuping sajapun, dan per pasien cukup 5 menit dengan menulis resep, sudah habis setengah hari, hanya untuk memeriksa pasien. Padahal tugas dokter puskesmas bukan cuma itu. Harus penyuluhan, harus rapat minggon, harus memantau program puskesmas yang lebih sepuluh itu. Saya bisa memahami kondisi sejawat yang memeriksa pasien sebanyak itu, dan banyak tidak memuaskan pasiennya.

Di negara maju ada regulasi pembatasan pasien. Idealnya kurang dari 25 pasien per hari, lebih dari itu dokter sudah memasuki wilayah berbahaya. Termasuk risiko malapraktik.

Kekeliruan yang banyak terjadi oleh karena sistem rujukan (referral system) belum berjalan baik. Perlu penataan, bahwa tidak semua pasien harus ke rumah sakit, melainkan ke layanan kesehatan primer, yakni puskesmas atau dokter praktik umum. Tidak pula semua pasien harus ke dokter spesialis, melainkan ke dokter umum dulu.

Sikap snobisme masyarakat kita, semakin melihat ada dokter laris, semakin terdorong untuk memilih berobat ke dokter laris. Walau itu hak setiap pasien di negara dengan sistem berobat bayar sendiri (paid for sevices), dan kalau ingin tidak dirugikan medis, pertimbangkan kalau masih ada pilihan, untuk tidak memilih berobat yang berantre-antre.

Sejatinya hampir semua penyakit sehari-hari bisa diatasi oleh dokter umum, bahkan oleh dokter baru lulus sekali pun. Hanya bila kasusnya berat dan memerlukan penanganan keahlian, diperlukan memilih layanan dokter dengan jam terbang tinggi, selain perlunya senioritas profesional.

Dokter yang laris dijuluki bertangan dingin, mungkin memang benar cerdas. Namun hemat saya dokter tidak perlu cerdas amat karena unsur bagaimana dokter melakukan pendekatan terhadap pasien lebih menentukan. Pasien merasa senang dan puas kalau dokter mau banyak mendengar, teliti memeriksa, dan memberi kesempatan pasien bertanya. Secerdas apa pun seorang dokter, kalau kurang cermat memeriksa, ketus perangainya, sama belum tentu menguntungkan pasien.

Pasien yang berobat memilih dokter yang laris, yang pasiennya ratusan, harus siap dengan sejumlah risiko yang tidak menguntungkan. Kasus persalinan yang terbengkalai, misalnya, acap terjadi karena memilih dokter laris, yang pada saat melahirkan, dokternya tidak sempat, atau tidak keburu hadir, karena pada jam yang sama kelewat banyak ibu hamil yang harus ditangani.

Saran saya pilih saja dokter muda yang baru lulus, bila melahirkan normal saja tanpa ada masalah, dokter muda jauh lebih telaten, lebih sabar, dan ikut aturan medis pertolongan persalinannya. Bagi dokter ahli yang laris, menolong persalinan biasa, betapa enteng dan sesungguhnya waktunya bisa lebih dimanfaatkan untuk kasus medis yang lebih bermasalah.

Kurikulum sekolah dokter di seluruh dunia sama. Kalau terkesan layanan dokter Indonesia dinilai buruk, dan pasien yang mampu memilih berobat ke luar, hemat saya, bukan karena dokter kita lebih bodoh, melainkan lebih karena bobot kerja dokter kita rata-rata sudah melebihi kapasitas fisik, dan takaran ideal memeriksa pasien per hari.

Kalau saja dokter kita diberikan kesempatan yang sama, mendapat fasilitas yang sama seperti sejawatnya di mana-mana negara maju, termasuk penghargaan yang sama, sehingga dokter tidak perlu tunggang-langgang kejar omset seperti kutu loncat berpindah-pindah dari satu RS ke RS lain, atau dari satu tempat praktik ke tempat praktik lain, keadaannya tentu tidak akan seperti ini.

Kasus seorang profesor, yang luput memeriksa, sehingga meleset membaca hasil ronsen di sebuah RS harus dimaklumi bisa saja terjadi, kalau dalam jam kerjanya sang profesor harus membaca ratusan foto ronsen. Juga kalau operasi sampai gagal atau berkomplikasi, kalau terjadi malapraktik, lebih karena semua faktor di atas.

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul

10 Hal Mengenal Antibiotika