NEGARA, dalam hal ini kepolisian, menangkap penyebar hoaks tapi sebagian besarnya diselesaikan dengan permintaan maaf dan surat materei Rp. 10 ribu. Khususnya hoax dari kelompok mayoritas. Jika dari kelompok minoritas, hukum dijalankan dengan tegas. Diskriminasi berlangsung kasat mata. Sampai kapankah ini terjadi??l
Pemerintah, khususnya penegakkan hukumnya, nampak lemah, karena membiarkan hukum dilemahkan. Hukum dilecahkan. Saat ini ada unsur kesengajaan menyebarkan berita sumbang, berita palsu, cenderung fitnah kepada pemerintah dan memprovokasi masyarakat, menimbulkan keresahan dan cenderung ditolelir. Karena pelakunya mengatasnamakan umat dan warga mayoritas.
Tidakkah Polri membaca adagium Nazi bahwa “Kebohongan yang diulang ulang akan dipercayai sebagai kebenaran ?” Begitu mudah masyarakat dan massa kita termakan hoaks, sehingga terjadi amuk massa dan kerusuhan.
Terbaru, gagalnya pengiriman jemaah haji tersebar opini dari tokoh tokoh terpelajar, memiliki massa, yang menyebut pemerintah tidak becus, karena tidak ada uangnya, karena uangnya dipakai untuk proyek infrastruktur, dan diserahkan kepada China yang menghasilkan proyek gagal. Karena pemerintah ini pro Komunis, dan bermacam opini liar lainnya.
Saya mendapat kiriman beberapa video WA Grup dari pidato seseorang yang berpakaian ala ustadz, pendakwah, tapi pernyataannya di mimbar pengajian, politis, propvokatif, dan cenderung menyerang pemerintah. Yang bersangkutan sudah dibui karena menuduh “ada Komunis di istana”. Tapi nampaknya tak ada kapoknya. Ada kebanggaan menyerang pemerintah dan meresahkan masyarakat atas nama agama.
Menjadi basi dan menjengkelkan, ketika aparat Polri meminta dukungan aktif masyarakat, tapi dukungan dalam bentuk laporan tidak ditanggapi semestinya.
MENJADI pengetahuan umum di seluruh dunia bahwa kemajuan sebuah negara ditentukan bagaimana hukum ditegakkan. Meski negara Eropa dan Amerika dikenal dengan kebebasan ekspresi, semua kegiatan dan suara yang mengganggu lingkungan akan berakhir ke polisi dan mendapat tindakan. Hak Anda memiliki radio, televisi dan speaker aktif. Tapi saat suaranya mengganggu lingkungan polisi bertindak. Warga Indonesia di Singapura bisa tertib antre dan tak buang sampah sembarangan karena hukum di negeri jiran itu ditegakkan. Di negara sendiri mereka bebas menyampah bahkan di kalangan kaum terdidik. Karena mereka tahu, tak ada sanksinya. Cuma teguran biasa.
Memang tidak semua pelaku kejahatan harus dibawa ke penjara. Bisa bisa penjara penuh begitu dalih polisi. Siapa yang kasi makan jika mereka ditahan. Tapi tidak bisakah membuat efek jera? Dengan denda atau tindakan lain, sesuai kewenangan dan diskresi yang diberikan ?
Polisi nampak kaku dan keras untuk kejahatan pidana tertentu, dan warga sering jadi obyek pemerasannya. Ini sudah jadi rahasia umum. Semua pasal “ada harganya”. Meski yang dirugikan orang per orang atau segelintir, polisi akan menjalankan prosesnya, dan mendorong ke jaksa agar diadili.
Namun terhadap penyebaran hoaks yang begitu masif, penghinaan kepada kepala negara dan tokoh, kesengajaan menyebarkan berita plintiran dan palsu, cenderung dibiarkan. Meski sudah dilaporkan.
Ada kesan polisi tidak mau capek menangani kasus kasus yang tidak berduit. Atau berurusan dengan mereka yang memiliki koneksi elite.
Irak, Suriah, Yaman, Libya luluh lantak bermula dari hoaks. Amerika sudah berterus terang mereka lah yang menciptakan Taliban dan ISIS untuk berperang di Timur Tengah, demi perebutan pengaruh dan perang penguasaan sumber daya melawan Soviet. Indonesia adalah target beriktunya untuk di-Suriah-kan. Dan bibit bibitnya nampak dengan semua penggiringan isu anti pemerintah, membenturkan Islam dan negara oleh kaki tangan asing, pengikut paham Islam TransNasional. Dan cenderung dibiarkan. HTI memang dilarang, tapi Ikhwanul Muslimin, New DI/TII masih merajalela.
Polri minta masyarakat aktif menjaga ketertiban dan kedamaian. Melaporkan jika ada dugaan tindakan pelanggaran hukum. Meresahkan. Tapi berbagai laporan yang meresahkan masyarakat seperti tak ada tindakan.
Sampai saat ini, orang orang yang berlindung di belakang profesi pendakwah, akademisi, tokoh kritis, kaum pecatan dan depresi – bebas menyebarkan informasi plintiran, opini negatif, bahkan hoaks. Untuk menimbulkan disorientasi dan ketidakpercayaan pada negara dan pemerintah. Dan aksi mereka ditolelir dan terus dibiarkan. Membuat masyarakat yang sungguh sungguh ingin menjaga Pancasila dan NKRI skeptis dan apatis.
Sampai kapan, Pak ? ***