Bisnis dan Politik dalam Kehidupan Budi Susilo Li

Budi Susilo Li

Dari anak seorang pengusaha perkebunan, jatuh menjadi mahasiswa pas pasan, tinggal di kamar kost, yang berjualan voucher game dan hamburger, untuk bertahan hidup sebagai mahasiswa. Kini menguasai konsesi perkebunan cabe dan kayu manis serta distributor BBM Pertamina.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

DIA masih remaja belasan tahun, ketika pemerintahan Presiden Suharto terjungkal dari singgasananya dan rezim Orde Baru tumbang,  berpindah ke Orde Reformasi. Mundurnya Suharto pada 21 Mei 1998 itu langsung berimbas pada kehidupan keluarganya. Bisnis ayahnya, Dasi Suprayitno, yang mendapat konsesi mengelola kebun seluas 28 ribu hektar, di sekitar Kaliurang, Yogyakarta, diambil alih pemerintahan yang baru dan keluarganya mendadak jatuh miskin.

Kekayaan keluarga lenyap satu per satu. Sebanyak enam mobilnya yang biasa dipakai kantor, dan keperluan keluarga, tersisa satu saja, untuk ayahnya.

Saat memasuki bangku kuliah Budi Susilo Li mendadak jadi anak miskin. Dari pergaulan elite, anak pengusaha perkebunan, menjadi anak kost yang hidup di garis pas-pasan untuk ukuran sebelumnya.

“Dua tahun saya naik turun bus buat pergi pulang kuliah, “ katanya. Dia kost di daerah Slipi untuk mempersingkat perjalanannya dari rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, demi kuliah di Universitas Tarumanegara di kawasan Grogol, Jakarta Barat.

Harry Tjahjono, novelis dan jurnalis, yang masih berkerabat dengan Budi Susilo, menggambarkan, ayah Budi langsung menghilang dari pergaulan keluarga besar.

Saat Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 21 Maret 1998 – setelah 32 tahun berkuasa. Sejumlah pengusaha yang terkait dengan bisnis yang dekat dengannya, ikut terkena badai. foto ist

“Kami hilang kontak, tahu tahu gak jelas dia kemana. Padahal sebelumnya, kami sangat dekat, “ kenang HarTjah, jurnalis, penulis novel dan lagu itu.

Dengan perubahan drastis itu, selaku tertua di keluarga, Timothy Budi Susilo tak mau lama berlarut larut dalam kesedihan. Pertemanannya dengan anak anak orang kaya, sebelumnya,  melahirkan ide bisnis kecil kecilan sembari kuliah, untuk mendapatkan tambahan uang saku.

“Saya jualan voucher untuk game. Teman teman main game saya jual voucher untuk mereka. Lumayan buat nambahin kebutuhan sehari hari, “ kata pebisnis kelahiran 29 Mei 1984 ini.

Masa itu, dia hidup sangat pas pasan. Makanan yang dia konsumsi, di masa awal kuliah, disebutnya “tidak proper” dengan gambaran, “bisa sarapan pakai telor ceplok saja sudah beruntung”.

Saat ramai kafe tenda di kawasan Semanggi, dia kongsi dengan temannya berjualan burger, dan sukses. Dari sana kehidupannya terangkat. “Keuntungannya sangat lumayan, “ akuinya.

Budi Susilo memberikan gambaran pemuda yang tak manja, larut dalam frustasi, meski nasib bergelombang di keluarganya. Perahu terbalik tak membuatnya tenggelam, melainkan dia terus berenang dan membalikkan kembali.

Kecerdasan akademisnya di kampus membuatnya beroleh bea siswa di Pertamina dan bisa dikirim kuliah di luar negeri. Perkenalannya dengan perusahaan multinasional membuatnya menolak tawaran Perum Pertamina untuk menjadi pegawai tetapnya.

“Saya penuhi kewajiban saya menyelesaikan kontrak ikatan dinas. Tapi sesudah itu, saya pilih berbisnis sendiri, “ katanya. Pilihannya tidak keliru. “Padahal waktu ditawari kerja jadi pegawai, tawaran gaji untuk saya sudah sangat lumayan, “ katanya.

Alih alih bekerja sebagai karyawan Pertamina dia kini menjadi partner, menjadi distributor BBM untuk industri.  Jutaan liter per bulan dikelolanya yang didapat dari kepercayaan, karena dia bisa mengelola dengan baik, dengan membangun kepercayaan pada industri di satu sisi dan Pertaminan di sisi lain. “Posisi saya di sana memang seperti brooker, “ kata Direktur Mina Marret Energi Indonesia, ini.

Kesuksesannya di bisnis tak mengabaikan pendidikannya. Setelah lulus di Tarumanegara Jakarta, dia meraih S2 di London School of Economic di London dan melanjutkan ke level doctoral di George Washington University.  Pengalamannya di Amerika Serikat,  menjadikannya, regional partner JP Morgan & Chase untuk kawasan Asia Tenggara.

Termotivasi dari bisnis ayahnya dan bangkit dari keterpurukan, Budi Susilo Li (dua dari kiri) kini terobsesi ikut menentukan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan BBM dan produk pertanian, dua hal yang dikuasai. “Masyarakat kita bisa lebih sejahtera, kalau kekayaan Indonesia dikelola dengan benar, ” katanya. foto instagram.

Politik dan bisnis diakuinya menjadi warna tersendiri dalam perjalanan bisnis Budi Susilo. Dulu ayahnya, Dasi Suprajitno, dengan PT Budi Susilo Bhakti dekat dengan Orde Baru, dekat dengan keluarga Cendana,  maka kini, dia pun memilih dekat dengan Orde Reformasi. Dia aktif di PDIP, dan dekat dengan partai yang dipimpin Megawati itu. Hal yang diakuinya sendiri.

Pengalaman pahitnya di kehidupan ekonominya yang berbisnis dalam sandaran politik memberikan pelajaran baginya. “Saya tidak menolak adanya pengaruh politik dalam bisnis ayah dan saya, “ ungkapnya, “Yang saya harapkan, janganlah perubahan politik di elite, langsung berdampak drastis pada nasib para pekerja di bawah, “ kata Budi Susilo

Berkaca pada perubahan politik di Jepang dan Thailand, alih kekuasaan para elite, seharusnya tidak perlu menimbulkan gejolak yang mengubah roda ekonomi di papan tengah dan bawah. Seharusnya,  katanya,  Bisnis as usual.  Ekonomi tetap melaju, kegiatan perdagangan tetap berlangsung, yang berpindah kepemilikan dan konsesi bisnis hanya terjadi di antara elite.

Namun pengalamannya di masa lalu,  tak seperti itu.  “Saat perkebunan ayah saya diambil alih, ternyata, tidak diteruskan oleh penguasa yang baru. Langsung ditutup begitu saja. Ada 17 ribuan tenaga kerja perkebunan langsung kehilangan pekerjaan. Itu penyesalan mendalam bagi keluarga kami, “ katanya.

Pengalaman yang dirasakan keluarga juga dialami oleh para pengusaha lain yang dekat kekuasaan. “Pokoknya semua bisnis yang berbau Orba, diambil dan ditutup begitu saja! Yang langsung kena para pekerja di bawah, yang gak tahu apa apa, yang kerja semata mata demi nafkah keluarga, “ kenangnya. Dia sendiri ikut merasakan bagaimana kehilangan pemasukan dan sumber nafkah. “Dari aset keluarga masih ada sisa yang menghidupi kami. Tapi bagaimana dengan para pekerja harian di kebun?” dia mengenangkan.

Budi Susilo Lie meneruskan bisnis ayahnya di bidang perkebunan. Bukan di pulau Jawa melainkan di Sumatera, dengan menggarap lahan cabe di Lampung dan 3.600 hektar perkebunan kayumanis (cynamon)  kawasan Kerinci, Provinsi Jambi, bekerjasama dengan BUMN Perkebunan, di bawah bendera PT Bumi Gagah Serasi. Dia menjadi pemasok produk pertanian ke Jepang, tanpa merk. Di pengelolaan perkebunan kayu manis, ada empat ribu karyawan bekerja untuknya – warga di sekitar perkebunan. Kayu manis disalurkannya untuk perusahaan rokok, bumbu masak, aroma kue  dan produk pangan lainnya. “Semua bagian di pohon kayu manis itu bisa diolah jadi komoditi, dari kayu, kulit sampai daunnya, “ katanya.

Dan, setelah ekonominya mapan kini, dia terpanggil untuk terjun ke politik. Seperti terinspirasi perjalanan Ahok BTP (Basuki Tjahaja Purnama), “Dari berbisnis saya hanya menolong ribuan orang. Tapi dengan ikut merumuskan kebijakan pemerintah, saya bisa membantu mengubah nasib jutaan orang”.

Basuki Susilo Lie memberikan kata kunci –  “clue”, seputar isu isu nasional yang bisa diubah, dengan kebijakan,  dimana dia berharap bisa terlibat, ikut memperjuangkannya. Diantaranya, “Harga BBM untuk masyarakat,  masih bisa lebih murah lagi”. Juga diungkapkan, “Mafia Migas belum sepenuhnya mati”.  

Dan kawasan perkebunan yang bisa dikonsesi pengusaha masih sangat luar, sehingga “Sebenarnya kita tidak perlu impor bahan pangan sama sekali. Kalau pun ada yang diimpor hanya komoditi tertentu. Pokoknya tidak seperti sekarang, ” katanya. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.