BOM MAKASAR : ISIS DI TENGAH KITA

Aksi terorisme  kembali menyentak.  Ahad pagi (28/03), bom bunuh diri meledak di gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Tak ada korban tewas kecuali dua pelaku suicide bombing, L  dan Y — pasutri yang baru menikah enam bulan lalu. Sedangkan korban luka, cukup banyak, 20 orang. Mereka jemaah gereja dan petugas keamanan.  Menurut Menko Polkam, Mahfud MD, jumlah korban bisa bertambah. Karena masih ada keluarga korban  belum melaporkan ke polisi.

Bom Makassar, menurut pengamat terorisme Dr. Al-Chaidar dari Universitas Malikussaleh, Aceh, merupakan aksi “balas dendam”  atas peristiwa sebelumnya — penangkapan 20 teroris di Makassar 6 Januari 2020 lalu. Saat penangkapan 20 teroris itu, Kapolda Sumsel Irjen Pol. Merdisyam menjelaskan, mereka adalah bagian dari Jamaah Ansharud Daulah (JAD) pimpinan Bahrun Naim, yang kini tinggal di Suriah. 

JAD adalah sayap ISIS di Asia Tenggara. Jaringan JAD ini terlibat dalam kasus bom bunuh diri di Jolo, Filipina, Agustus 2020 lalu. Kelompok ini rutin  menggelar latihan tembak di hutan-hutan dan gunung sekitar Sulsel.  Kelompok ini, tambah Merdisyam, dibaiat di pondok pesantren Ar-Ridho, 

Sudiang, Biringkanaya, Makasar,  Mei  2015 lalu.

Apa yang menarik dari kasus bom Makassar? Pelakunya, suami istri. Ini artinya,  makin sering wanita  menjadi pelaku terorisme. 

Kok makin sering wanita jadi teroris?  Ya betul. Masih ingat kasus bom Surabaya 13 Maret 2018 lalu? Pelaku bom bunuh dirinya lebih ngeri lagi: ibu dan dua anaknya.

Kasus Maret Surabaya, merupakan rentetan bom bunuh diri.  Menurut polisi, bom pertama meledak sekitar pukul 

07.30 WIB di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, Surabaya.  Selang 5 menit,  bom kedua meledak di gereja Pantekosta di jalan Arjuno.Tak lama kemudian bom meledak di gereja GKI, jalan Diponegoro. 

Korbannya: empat orang tewas di depan Gereja Santa Maria; dua orang tewas di gereja Pantekostaserta; dan dua orang tewas di depan gereja GKI. Jumlah korban tewas 10 orang,  termasuk para teroris.  Antara lain seorang ibu plus dua anak perempuannya di depan GKI.

 Polisi berhasil mengungkap identitas pelaku peledakan 3 gereja tersebut. Pelakunya enam orang: Dita Oepriarto (47), Puji Kuswati (43), Yusuf Fadhil (18), Firman Halim (16), Fadhila Sari (12), dan Famela Rizqita (9). Pelaku ketiga serangan itu masih satu keluarga. 

Aksi terorisme Dita, Puji, dan anak-anaknya di Surabaya itu, di mana pelakunya wanita, “berlanjut” dengan kasus penusukan Menko Polkam Wiranto di Pandeglang 10 Oktober 2019. Saat itu, Wiranto sedang mengunjungi Universitas Mathla’ul Anwar, Pandeglang, Banten. Tetiba, dua orang tak dikenal yang kemudian diketahui bernama Syahrial Alamsyah dan Fitria Diana menyerang Wiranto dengan pisau. Sang Jenderal pun terburai ususnya. Kedua teroris ini, ternyata pasutri.

Sebelum kasus Surabaya dan Pandeglang, kita ingat nama Dian Yulia Novi (28), bomber wanita, yang dibekuk polisi 11 Desember 2016 di Jakarta. Dian sebelum “meledakkan diri” berhasil diringkus Densus 88. Ia divonis penjara 7,5 tahun oleh majelis hakim atas tindakannya merencanakan serangan bom bunuh diri di Istana Negara.

Dian adalah wanita pertama yang terlibat aksi terorisme dan siap menjadi bomber. Aksi Dian gagal karena terdeteksi polisi sebelum rencananya tercapai.

Sosok Dian Yulia, dalam dunia terorisme Indonesia, membelalakkan mata. Betapa tidak! Mantan pekerja migran ini ketahuan 

membawa bom panci berdaya ledak tinggi — lebih tinggi kekuatannya dari bom Bali satu, 12 Oktober 2002, yang menewaskan 200 orang lebih — untuk menyerang Istana 

Negara. Radius ledakan bom yang dibawa Dian, 80 meter. Jika saja ia berhasil “meledakkan diri”  — Istana Negara bisa rontok.  Sebelum sampai Jakarta, wanita berdarah Cirebon ini  diciduk polisi bersama suaminya Muhammad Nur Solihin di Bekasi. 

Ada cerita menarik di balik perekrutan Dian sebagai calon pengantin. Solihin mengungkapkan motifnya menikahi Dian. Katanya, Dian ingin menjalankan tugas 

amaliyah istisyhadiyah. Amaliyah ini dipahami sebagai  pengorbanan nyawa untuk agama.“Secara otomatis dia memerlukan ikhwan (laki-laki) 

untuk mengurus persiapan yang tidak boleh di luar saya sebagai suami),” kata Solihin lewat program Kabar Khusus 

yang disiarkan stasiun televisi TV One, Selasa, 13 Desember 2016. 

Menurut Solihin, cara pernikahan yang dilandasi niat peledakan bom bunuh diri dibenarkan karena bertujuan 

mengharap ridho Allah. Apakah modus pernikahan L dan Y di Makassar juga motifnya sama dengan pasutri Dian dan Solihin? Kita tunggu penjelasan keluarga mereka dan polisi.

Kenapa aksi Dian di Jakarta, Puji di Surabaya, dan Y di Makassar mencemaskan kita? Jawabnya: Karena hal itu jadi pertanda bahwa ISIS sudah hadir di tengah kita. Jika kasus ini dibiarkan, Indonesia akan menjadi seperti Suriah. 

Perlu dicatat: menggarap wanita dan anak-anak untuk “amunisi” terorisme adalah strategi ISIS. Lihat di Suriah.  Banyak wanita dan anak memanggul senjata atas nama ISIS. 

Hal itu tak dilakukan geng teroris Al-Qaeda dan organisasi sayapnya, seperti Jamaah Islamiyyah dan Ansharut Tauhid besutan Abu Bakar Ba’asyir. Meski aksi-aksi terorisme jaringan Al-Qaedah seperti  tragedi pemboman World Trade Center di New York 9 September 2001 dan dua bom Bali (12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005) sangat brutal dan mengerikan, tapi Al-Qaeda dan jaringannya tidak melibatkan wanita. 

Tak ada satu pun wanita yang terlibat langsung dalam tragedi New York dan Bali. Dalam paradigma Al-Qaedah, wanita tak diperbolehkan terlibat langsung dalam aksi terorisme.  Itulah sebabnya, aksi terorisme yang dilakukan Jamaah Islamiyah, misalnya, tak ada kaum wanitanya. Tapi yang mengerikan dari aksi Al-Qaedah, sasaran terornya acak. Artinya, siapa pun yang pro- Barat dan anti-Islam  bisa jadi sasaran. Bali misalnya, jadi sasaran karena pulau itu jadi destinasi wisata yang mayoritas turisnya orang Barat. Barat bagi Al-Qaedah adalah anti-Islam. 

Ini berbeda dengan ISIS dan organisasi sayapnya seperti Ansharud Daulah. Sasaran yang paling sering dituju adalah orang Nasrani yang dianggap musuh Islam. Orang Nasrani biasanya berkumpul di gereja di momen-momen tertentu. Itulah sebabnya gereja pun sering jadi sasaran bom bunuh diri kelompok ISIS. 

Meski demikian, dalam beberapa hal, seperti kasus penghinaan Nabi Muhammad oleh  tabloid  Charlie Hebdo,  Prancis —  Al-Qaedah dan ISIS bisa saling mendukung. Ini karena tujuan keduanya sama: memuliakan Islam dan mendirikan negari khilafah Islamiyah.  Di Indonesia sayap Al Qaeda telah berdiri duluan, sejak tahun 1980-an. Sedangkan ISIS mulai menancapkan kakinya di Nusantara  tahun 2015-an sejak ia mulai terkalahkan Aliansi Barat. 

Dari perspektif inilah, kita harus waspada dengan kehadiran ISIS di Indonesia. Bom Makasar dan bom Surabaya adalah bentuk kehadiran Negara Islam Irak-Suriah di Indonesia. Para petinggi ISIS sudah menyatakan, paska kekalahannya di Suriah dan Irak oleh aliansi Barat, ia akan hadir di Asia Tenggara. Khususnya Indonesia.

Bagi ISIS, Indonesia adalah lahan subur untuk persemaian terorisme. Perangkat hukumnya masih lemah. Mudah disusupi politisi dan aktivis agama yang radikal. 

Celakanya, ideolog terorisme di Indonesia  belum tersentuh hukum. Organisasi radikal kadang masih mendapat tempat perlindungan di organisasi formal agama dan politik. 

So, jangan salahkan bila perkembangan  ISIS  dan simpatisannya makin pesat di Indonesia. Sosial media jadi instrumen efektif untuk perekrutan jamaah ISISiyah. Hasilnya, kini — seperti disinyalir Al Chaedar — rekrutmen anggota ISIS di Indonesia makin jos. Jika sebelum 2015,  dalam sebulan ISIS hanya bisa menarik simpatisan dan anggota baru satu digit saja, kini sudah bisa dua digit. Walhasil, ISIS pun makin kuat pijakannya di Indonesia.

Itulah sisi lain dari kasus bom Makassar. Membuat cemas masa depan NKRI.A

Avatar photo

About Syaefudin Simon

Jurnalis Senior, tinggal di Bekasi. Penulis beberapa buku termasuk Ghost Writeer. Salah satu buku karyanya yang membaut ia menyesal membautnya adalah buku berjudul Korupsi No Bapak Pemberantas Korupsi