Oleh NESTOR RICO TAMBUN
Tanah dan Darah
Lepas dari kontroversi setuju dan tidak setuju, dukungan dan penolakan, salah satu kesalahan utama dalam pemberian ijin terhadap PT Inti Indorayon Utama (IIU) menurut saya adalah “ketidaksadaran” bahwa status tanah di kawasan Danau Toba, di Tano Batak, berkaitan dengan genealogis. Berkaitan dengan hubungan darah. Bahwa mayoritas tanah-tanah dimiliki unit-unit marga yang menempati huta-huta. Dan itu sudah berlangsung beratus-ratus tahun.
Kalau sesama orang Batak bertemu, pasti akan memulai sapa dengan pertanyaan marga dan kampung asal. Aha margam (apa margamu). Didia hutam (dimana kampungmu). Bahwa setiap orang Batak punya marga, dan huta. Karena satu marga bisa berasal dari wilayah (huta) yang berbeda. Itulah Batak. Marga na marhuta, huta na marmarga.
Huta atau kampung adalah wilayah teritorial otonom dalam kehidupan orang Batak. J. C. Vergowen, dalam bukunya “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” menyebut huta sebagai “republik kecil yang merdeka”. Sebuah “kerajaan kecil” yang raja-rajanya tidak akan mau menerima campur-tangan orang luar. Dan tidak ada juga orang yang berani campur-tangan urusan huta orang. Itu penghinaan. Bisa urusannya bunuh-bunuhan.
(Marga na marhuta, huta na marmarga ini bukti utama bahwa orang Batak, masyarakat di Tano Batak adalah masyarakat adat. Adakah orang Batak yang tidak punya huta dan asal usul? Adakah orang Batak yang mau huta-nya diklaim sebagai milik orang? Para Bupati, anggota-anggota DPRD, jadi kenapa masyarakat adat Batak harus diakui melalui Perda, SK Bupati? Itu maunya siapa?)
Dimasa lalu, huta-huta inilah yang menjadi basis Bius, pemerintahan sosial di Tano Batak sebelum kedatangan kolonial Belanda. Setiap huta memiliki Raja Huta, yaitu para Sipungka Huta (pendiri kampung) dan keturunannya. Para Raja Huta ini bergabung dalam Horja, yaitu kumpulan huta dalam satu kawasan. Mereka memilih Raja Horja atau Raja Paijolo yang mewakili mereka ke Bius. Para Raja Horja ini kemudian memilih Raja Bius dan membentuk Pemerintahan Bius, Otomatis, setiap huta tunduk pada aturan Bius. Dan huta merasa sah, kalau dia diakui, tergabung dalam bius.
Jadi, huta adalah wilayah sosial-budaya sekaligus wilayah tenurial dasar dalam kehidupan Bangso Batak. Selain lokasi huta itu sendiri, pemukiman yang biasanya dikeliling parik (tembok) dan ditanami bambu, huta umumnya memiliki tanah lain berupa tano maraek (tanah basah – persawahan) dan taho mahiang (tanah kering – parjumaan/perkebunan), bahkan kadang parbandaan (pekuburan). Di beberapa huta, sering ada homban, kolam ikan yang sesekali dikeringkan dan ikannya diambil bersama.
Hak ulayat milik satu kelompok, satu huta atau satu ompu itu disebut “pangumpolan”. Sementara hak ulayat yang dimiliki bersama huta lain, semarga maupun lain marga, disebut “ugasan torop” atau “ripe-ripe”. Contoh ugasan torop adalah jampalan (jalangan), berupa adaran (hamparan) tempat menggembala ternak. Huta-huta mengikhlaskan wilayahnya untuk dijadikan jalangan. Mereka membuat parit dan patungan membeli kawat duri. Semua huta bisa melepas kerbau atau ternaknya di sana.
Contoh lain adalah harangan atau hutan. Ada hutan milik satu huta atau kelompok, tapi ada yang ugasan torop, milik punya banyak kelompok. Banyak juga huta atau marga yang tidak punya hutan. Kalau mau bikin rumah adat, mereka pergi ke kelompok huta/marga yang punya hutan untuk mengambil kayu dan memberi “bahal gaja”, semacam upeti atau pajak (ganti rugi) ke raja pemilik hutan.
Dulu banyak harangan (hutan) punya kelompok-kelompok marga. Tapi kemudian hutan itu bersama hutan milik bersama diserahkan para tetua-tetua adat kepada pemerintah Belanda dan dijadikan hutan lindung. Karena itu hutan-hutan di Tano Batak ada patok-patok atau pilarnya.
Namun, pemerintah Belanda arif. Orang-orang yang sudah memiliki kebun dalam hutan lindung, biasanya dibagian pinggir, boleh terus memanfaarkan. Kebun-kebun semacam itu umumnya ditanami tanaman produktif, sehingga dirawat dengan baik.
Mengingat semua ini, mestinya pemerintahan Presiden Soeharto tidak begitu mudah memberi ijin konsesi kepada PT Inti Indorayon Utama. Karena UUD 45 mengatur Hukum Adat konstituonal dalam penerapan hukum di Indonesia, seperti tercantum di Pasal 18B ayat (2):
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Manipulasi Adat
Menyadari tanah-tanah di Tano Batak banyak bestatus tanah ulayat adat, Indorayon mengatasi dengan memanipulasi hukum adat. Mereka mencari orang-orang dari kalangan masyarakat itu sendiri yang mau mendukung manipulasi itu. Tentu dengan imbalan. Mereka menggunakan istilah piso-piso, pago-pago, ingot-ingot, sipalas roha, parsipisang na tonggi, dan sebagainya.
“Piso-piso” adalah pemberian uang sebagai balasan dari boru kepada hula-hula, karena telah menerima pemberian adat dari hula-hula tersebut. Juga pemberian uang kepada raja sebagai tanda perkara atau persilihan telah diselesaikan. Tidak ada alasan adat sebuah perusahaan seperti Indorayon menempatkan diri atau menjadi boru sebuah marga. Juga dalam kasus perselisihan. Memang, siapa yang berperkara, dan siapa yang jadi raja?
“Pago-pago” adalah uang bukti yang diberikan kepada orang-orang (para tetua) yang mengadili sebagai tanda perkara telah selesai. Sedangkan “ingot-ingot” adalah uang yang diberikan kepada pihak ketiga yang menjadi saksi sebuah transaksi atau perjanjian adat. Dalam konteks Indorayon, siapa yang menyelesaikan perkara siapa? Dan siapa yang menjadi saksi apa?
“Parsipisang na tonggi” tidak dikenal dalam adat Batak. Yang ada “parsituak na tonggi”, yaitu pemberian uang dari pihak anak perempuan kepada pihak saudara laki-lakinya yang hadir dalam satu acara adat. Ini semacam uang jajan, memberi tuak atau teh manis.
Ini berarti ada orang-orang Batak yang terlibat membantu Indorayon sebagai perancang manipulasi adat. Tapi inti dari semua istilah adat yang dimanipulasi ini, adalah tanda tangan, seolah-olah tanah sudah diserahkan kelompok marga kepada Indorayon. Tentu saja kerabat sesama pemilik tanah ulayat tersebut keberatan atau marah. Terjadi pertikaian dan perpecahan.
Dan perpecahan inilah yang terus dipelihara Indorayon/TPL. Pihak-pihak yang mendukungnya didorong maju melawan yang menolaknya. Tentu dengan dukungan, menjadikan mereka karyawan, mandor, dan sebagainya. Divide et impera, dipecah belah untuk mengusasai, seperti dilakukan penjajah Belanda.
Permusuhan itulah yang berlangsung sampai sekarang. Pihak yang mendukung Indorayon/TPL cenderung melakukan intimidasi-intimidasi kepada pihak yang menentang. Kalau perlu Indorayon melakukan kriminalisasi terhadap sosok penentang, dengan alasan yang dicari-cari dan diadili dengan tuduhan yang direkayasa.
Tokoh masyarakat yang pernah diadili dan dijatuhi vonis, antara lain dari Motung/Sibisa dan ibu-ibu dari Sugapa. Orang terakhir yang diadili dan dijatuhi hukuman vonis adalah tokoh masyarakat adat dari Sihaporas. Sementara yang lolos dari hukuman vonis antara lain Sammas Sitorus dari Lumban Sitorus, lokasi pabrik TPL.
Saya kira inilah persoalan atau kerugian sosial budaya terbesar masyarakat bangso Batak akibat hadirnya Indorayon/TPL. Terjadi perpecahan dan permusuhan antara kelompok-kelompok masyarakat semarga dan bersaudara di berbagai wilayah yang ada konsesi Indorayon/TPL. Otomatis, terjadi juga perpecahan-perpecahan dalam adat. Itu juga terjadi di Natumingka, lokasi kerusuhan antara pekerja TPL dengan masyarakat adat pada 18 Mei 2021 lalu.
Kerugian Sosial-Budaya
Lebih memprihatinkan, karena perpecahan ini juga ditunjang persoalan sosial budaya lain yang melanda wilayah Tano Batak. Perpecahan yang terjadi pada HKBP sangat menguntungkan Indorayon, bahkan barangkali juga dimanfaatkan perusahaan ini, karena waktunya berdekatan dengan demo besar masyarakat Toba yang menuntut Indorayon ditutup.
Lepas dari proporsi dan peran dari masyarakat Tano Batak sendiri, kehadiran Indorayon/TPL selama 30 tahun lebih di Tano Batak paling tidak telah berperan dalam berbagai persoalan sosial budaya, antara lain:
- Ikut berperan, bahkan menjadi salah satu pemicu terjadinya perpecahan sosial di wilayah Tano Batak, terutama wilayah-wilayah yang ada konsesi Indorayon/TPL.
- Berperan, dan menjadi pemicu manipulasi dan rusaknya ikatan-ikatan hukum adat yang menjadi warna khas kekuatan masyarakat Batak. Masyarakat adat Batak menjadi terpecah belah, dan pragmatis. Nilai-nilai kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat adat memudar.
- Hilangnya kepercayaan terhadap aparat dan kebijakan pemerintah, Masyarakat menjadi apatis, karena Indorayon/TPL selalu mendapat dukungan aparat pemerintah, keamanan, dan hukum.
- Hilangnya keyakinan dan kesadaran masyarakat Tano Batak atas perlunya menjaga alam dan lingkungan sebagai sumber hidup dan kehidupan di masa mendatang. Indorayon/TPL bebas merusak kok, dan tidak ada yang bisa melawan.
Masih adakah jalan pulang? Masih mungkinkah keretakan sosial-budaya di tengah masyarakat Batak dipulihkan? Tergantung pada kesadaran masyarakat Batak sendiri. Nanti, kalau TPL benaran tutup, orang-orang, pihak-pihak yang selama ini bekerja dan mendapat dukungan dari TPL pasti akan menyalahkan pihak-pihak yang mendorong TPL ditutup. Perpecahan dan permusuhan akan tak ujungnya kalau demikian.
Saya kira perlu kesadaran dan upaya penyadaran akan realiatas alam kawasan Danau Toba menjadi rusak, orang Batak jadi terpecah-pecah karena datangnya satu perusahaan milik orang Cina. Tak banyak manfaat yang diberikan dibandingkan kerugian. Biarlah Cina itu dan perusahaannya pergi, dan orang Batak memulihkan kerusakan alam, memulihkan kehidupan sosial-budaya yang terlanjur rusak, tanpa kehadiran pihak lain.
Tanah Batak milik orang Batak. Mestinya orang Batak bisa memulihkan diri bersama-sama. Kita mestinya harus meyakini, dan mengaminkan itu.
• Inti pemaparan dalam webinar “Gerakan Sipil Tutup TPL dan Masa Depan Danau Toba” yang diselenggarakan PP PMKRI, 12 Juli 2021