Oleh SYAH SABUR
Berita duka pagi ini (Rabu 7 Juli 2021, pk 06.30) kakak ipar saya (Endang Suwardi, 60 th), warga Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, menghembuskan nafas terakhirnya setelah sehari diserang covid-19. Hanya sehari hari dan covid langsung merenggut nyawanya!!! Dari hasil rontgen, paru-parunya langsung memutih dalam beberapa jam!!!
Almarhum mendapat serangan Selasa siang, sesak nafas. Tak mudah baginya untuk mendapatkan ambulans. Tak mudah pula untuk mendapatkan kamar kosong di rumah sakit hingga kesadarannya hilang di tengah upaya pencarian rumah sakit.
Almarhum memang commorbid, punya riwayat diabetes dan darah tinggi. Sebagai pensiunan yang tinggal di pinggiran kota Tangerang, almarhum juga belum mendapat jataah vaksin. Tapi serangan itu begitu cepat, secepat kilat. Covid langsung menyerang paru-parunya dan mengganggu pernafasannya. Almarhum pun langsung tidak sadar, tak berdaya.
Keluarga almarhum pasrah karena pasien hanya bisa dìrawat di UGD, RS Dinda, Bitung, Tangerang. Ruang ICU full di berbagai rumah sakit!!! Tuhan pun datang menghampirinya, menyelamatkannya, menghilangkan deritanya.
Lagi-lagi ini (semoga) jadi warning bagi kita bahwa covid itu nyata dan bisa merenggut nyawa siapa saja. Kalau dilihat dari persentase kematian, mungkin persentasenya terbilang kecil. Tapi ini bukan semata soal persentase. Ini soal nyawa manusia. Bisa orang jauh yang tidak kita kenal, bisa tokoh, bisa tetangga, bisa kerabat, bisa anggota keluarga inti dan, bukan tidak mungkin, suatu saat nyawa kita direnggutnya.
Varian Delta
Yang jelas, varian Delta makin menunjukkan kedigdayaannya. Rekor kasus harian, kasus kematian, dan kasus sembuh seolah terus berlomba, saling menyusul. Daya tularnya jauh lebih tinggi dibanding varian sebelumnya. Kalau yang diserang orang yang sehat, tidak punya riwayat penyakit (commorbid), dan sudah divaksin, mungkin dia selamat. Sebaliknya, jika sasarannya orang yang rentan dan belum divaksin, keluarga hanya bisa pasrah. Kehilangan nyawa hanya soal waktu.
Sopir ambulan dibuat cape, bolak-balik nyaris tanpa henti. Industri peti mati bukan saja laris namun mulai kelimpungan memenuhi pesanan. Penggali kubur harus terus lembur, karena jenazah terus berbdatangan. Orang-orang pun berebut susu merek tertentu, berburu obat, hingga rebutan oksigen. Tapi kematian terus saja bertambah.
Sebagian orang bebal pun tetap menjauhi masker, dempet-dempetan, dan abai cuci tangan. Sebagian warga di zona merah dengan angkuhnya tetap pergi ke masjid karena percaya Tuhan akan melindungi mereka. Mereka lupa bahwa Tuhan hanya melindungi mereka yang berdoa dan berusaha. Tuhan pun tidak suka orang bebal, yang tidak menghargai otak yang sudah dianugerahkan kepada manusia.
Bukan Soal Politik
Mereka lupa bahwa serangan virus ini bukan soal politik, bukan karena Presidennya Jokowi (dan bukan Prabowo seperti keinginan mereka). Mereka mengabaikan bahwa berbagai kebijakan pemerintah untuk mencegah covid-19 didukung para ulama besar di PBNU, Muhammadiyah, bahkan MUI. Mereka hanya mendengar pidato ulama yang mereka mau dengar. Orang-orang ini lupa bahwa pemerintah Arab Saudi pun membatasi jumlah jemaah haji di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Mengapa? Karena agama memerintahkan manusia untuk menjauhi bencana.
Tapi tetap saja mereka tak pedul karena pasar diizinkan tetap beroperasi. Mereka lupa, seperti disampaikan sejumlah ulama berkali-kali bahwa beragam ibadah di masjid bisa digantikan dengan ibadah di rumah. Mereka juga tak peduli bahwa aktivitas pasar memang tak tergantikan agar ibu-ibu tetap bisa memasak dan kita bisa tetap makan. Aktivitas di pasar memang tak tergantikan karena aktivitas makan tidak bisa hanya digantikan dengan doa dan zikir senyaring apapun.
Sebetulnya ada cara sederhana untuk menghindarinya asal mereka mau memakai akalnya. Gunakan masker, hindari keluar rumah (kecuali sangat penting), jaga jarak, dan sering mencuci tangan. Ada juga senjata lainnya, berpikir positip dan banyak berdoa.
Semoga ini jadi pengingat kita bahwa covid sungguh nyata dan mematikan. Persentase kematiannya mungkin hanya beberapa persen. Tapi jangan remehkan persentase. Mengapa? Karena persentase itu bukan sekadar angka. Itu adalah nyawa. Kita tidak pernah tahu siapa lagi yang akan menjadi bagian dari angka tersebut.
Selamat jalan kakakku. Semoga Allah swt menempatkanmu di surga.