Oleh PANDUPAKSI
Terdapat empat Perang Besar dalam kisah Mahabarata: Perang Pamuksa, Guntarayana, Gojali Suta, dan Baratayudha. Dikategorikan sebagai Perang Besar sebab dalam kecamuk peperangan itu terdapat raja yang gugur di medan laga.
Perang Pamuksa adalah perang antara Kerajaan Hastinapura dan Kerajaan Pringgadani. Antara Prabu Pandu Dewanata dan Prabu Tremboko. Padahal mereka semula sahabat karib. Persahabatan mewakili golongan kesatria dan golongan raksasa.
Persahabatan Prabu Pandu Dewanata dengan Prabu Tremboko sudah terjalin selama bertahun-tahun. Prabu Tremboko bahkan menjadi murid Prabu Pandu Dewanata dalam ilmu kanuragan, kasantikan, tosing balung uleting kulit. Dari persahabatan ini pula Prabu Tremboko mendapatkan hadiah keris pusaka Kiai Kala Nadah dari Prabu Pandu Dewanata. Konon keris keramat itu dulu terbuat dari siung Bathara Kala. Oleh sang Hyang Guru dihadiahkan setelah Pandu Dewanata yang baru berusia sepuluh tahun berhasil membunuh Prabu Nagapaya, musuh para dewa.
Sampai suatu hari, persahabatan itu berbalik menjadi permusuhan. Dimulai ketika Prabu Pandu Dewanata merasakan kejanggalan, sudah tiga bulan Prabu Tremboko tidak datang menghadap. Sekadar berkabar pun tidak. Maka diperintahlah Harya Suman, yang kemudian hari disebut Sengkuni, pergi menyambangi Prabu Tremboko di Kerajaan Pringgadani.
Harya Suman, yang selama ini menyimpan sakit hati terhadap Prabu Pandu Dewanata dan Mahapatih Gandamana, merasa mendapatkan kesempatan emas. Bagai Kantuk Disorong Bantal.
“Prabu Tremboko sedang menyusun kekuatan untuk mbalela, Kaka Prabu,” lapor Harya Suman sepulang dari Pringgadani.
“Dusmalaningrat leketheking jagad gelah-gelahing bumi panuksmaning jajalanat!” Murka Prabu Pandu Dewanata. Duka yayah sinipi.
Pasukan segelar-sepapan yang dipimpin Mahapatih Gandamana diberangkatkan ke Pringgadani. Siap mengkarangabangkan Kerajaan Pringgadani.
Harya Suman yang berada dalam barisan tertawa-tawa dalam hati. Prabu Tremboko mbalela? Tidak! Penguasa Pringgadani itu justru sedang mempersiapkan pesta besar-besaran untuk menyambut ambal warsa Prabu Pandu Dewanata. Pada hari-H nanti Prabu Pandu Dewanata akan dimohon hadir dan segala macam hadiah telah tersedia. Sengaja Prabu Tremboko tidak sowan selama tiga pisowanan sebab takut kelepasan bicara yang berarti tidak ada lagi kejutan untuk Prabu Pandu Dewanata.
“Sia-sia semua yang Sang Prabu persiapkan. Patih Gandamana sedang menuju Pringgadani bersama pasukan segelar- sepapan. Pringgadani bakal dibumi-hangus,” ujar Harya Suman.
Harimba, putra sulung Prabu Tremboko, memimpin pasukan Pringgadani, menghadang pasukan Hastinapura di Hutan Mandalasara. Ternyata laporan Harya Suman benar adanya. Mahapatih Gandamana langsung ngamuk punggung, mengobrak-abrik barisan lawan. Harimba yang mencoba menghadapinya tak bertahan lama. Kesaktian Mahapatih Gandamana memang bukan tandingannya. Adik-adik Harimba: Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, dan Braja Wikalpa pun memilih mundur. Pasukan Pringgadani kocar-kacir, bubar mawut bak tambak merang terhantam banjir-bandang.
Harya Suman mengendap-endap, menyelinap dan menemui Harimba.
“Sesakti apa pun Gandamana, akan mati jika putus napas,” ujarnya.
“Kalau saja bisa mencekiknya,” keluh Harimba.
“Tak perlu sampai mencekiknya. Buatlah luweng, biarkan Gandamana masuk luweng dan timbun!” usulan Harya Suman.
Begitulah kenapa Harimba kemudian memerintahkan para prajurit untuk menggali lobang. Lalu, lobang sedalam lima tombak itu permukaannya ditutupi aneka ranting dan daun.
Harimba dengan suara lantang menantang Mahapatih Gandamana, “Gandamana, aku mengaku kalah jika kamu bisa menangkapku!”
Kuping Mahapatih Gandamana terbakar sesumbar. Dalam beberapa kali lompatan, nyaris Harimba tertangkap. Kalau saja ia tidak terperosok ke dalam luweng! Pasukan Pringgadani bersorak. Harya Suman tertawa terkekeh. Terbayang di benaknya kematian Mahapatih Gandamana. Kini, tak ada lagi halangan untuk menduduki jabatan Patih Kerajaan Hastinapura!*