Oleh PANDUPAKSI
Sesal mana yang harus disesalkan. Harya Gandamana telah pergi. Separuh kekuatan Hastinapura lenyap. Memang ada gantinya, Patih Sengkuni. Tetapi, yang emas tak bisa digantikan loyang. Tak Ada Rotan Akar pun Busuk.
Siapa yang tak kenal kesaktian Mahapatih Harya Gandamana? Karenanya, Prabu Pandu Dewanata selalu mengandalkannya, mewakili dalam peperangan. Putra Pancalaradya itu telanjur menjadi bahu kanan Prabu Pandu Dewanata. Kini, bahu kanan itu telah sempal.
“Biarlah kakakmu Desatrarastra milih satu dari ketiga putri boyonganmu, Pandu,” sabda Prabu Krisna Dwipayana.
Prabu Pandu Dewanata memutuskan untuk maju ke medan perang seorang diri. Ia tak menghendaki banyak jatuh korban. Tak ingin mendengar tangisan para istri yang kehilangan suami, anak-anak kehilangan bapak mereka. Prajurit Hastinapura hanya boleh melihat dari kejauhan.
Cita-citanya menjadi Patih Kerajaan Hastinapura punah. Prabu Pandu Dewanata, setelah diwisuda sebagai Raja Hastinapura, memilih Harya Gandamana, yang memang sakti mandraguna, sebagai Mahapatih Kerajaan Hastinapura. Harya Suman gigit jari sembari meredam kemarahan.
“Dan, jika aku gugur, jangan coba-coba ada yang bela pati. Anggap perang selesai,” pesan Prabu Pandu Dewanata sebelum mendahului barisan.
Patih Sengkuni yang masih tergolek sakit akibat hajaran Harya Gandamana, senang mendengar kabar bahwa Prabu Pandu Dewanata ingin mungkasi perang seorang diri. Raganya memang sakit, tetapi pikiran jahatnya kelewat sehat. Senang sebab ia berharap Prabu Pandu Dewanata benar-benar gugur dikeroyok Prabu Tremboko beserta anak-anaknya, di medan laga.
Demikian halnya yang diharapkan Dewi Gendari, kakak Harya Suman. Bertahun-tahun lamanya ia berharap Prabu Pandu Dewanata celaka. Tetapi, pupus mengingat kesaktian Prabu Pandu Dewanata yang pilih tanding. Maka Dewi Gendari hanya bisa bersumpah, “Aku bersumpah bahwa anak-anakku akan selamanya memusuhi anak-anak Pandu Dewanata!”
Dan, sumpah ini sudah pasti didukung oleh Harya Suman alias Patih Sengkuni.
“Aku yang akan menghasut ponakan-ponakanku agar memusuhi Anak-anak Pandu Dewanata,” ujarnya.
Dendam Dewi Gendari terhadap Pandu Dewanata tak pernah padam. Dendam yang berakar dari sakit hati lantaran bertepuk sebelah tangan. Cinta Dewi Gendari yang bersemi dari mimpi, yang berkembang kelewat subur, terpuruk lantaran Pandu Dewanata memilih Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Lebih celaka lagi, Dewi Gendari malah diperistri Adipati Desatrarastra yang cacat netra, yang kemudian malah menyerahkan tahta Kerajaan Hastinapura kepada Pandu Dewanata. Adakah yang lebih bodoh dari Desatrarastra di muka bumi ini?
Dalam pada itu, menyikapi kasus ini, Pandu Dewanata tak pernah merasa mengecewakan Dewi Gendari. Tiga Putri Sekaring Kedhaton boyongannya dengan sukarela diserahkan ke hadapan Ayahanda Prabu Krisna Dwipayana.
Dengan ilmu kesaktiannya dalam bidang penerawangan, Desatrarastra memilih Dewi Gendari untuk diperistri.
“Aku memilih kamu, Gendari. Kamu yang bisa memberiku anak banyak, Gendari,” kata Desatrarastra setelah meraba telapak tangan Dewi Gendari.
Sial mana yang bisa menandingi? Dewi Gendari seketika pingsan. Harya Suman marah besar. Tetapi, apa yang bisa dilakukannya kecuali nebeng sakit hati.
“Percayalah, Kakang Mbok, suatu hari nanti kita akan bisa membalas sakit hati ini.” Harya Suman berusaha menghibur kakaknya.
Prabu Pandu Dewanata telah berhadapan empat mata dengan Prabu Tremboko. Prabu Tremboko masih sempat menghaturkan sembah.
“Tak perlu basa-basi, Tremboko. Aku tidak mau menerima sembah dari menungsa lelamisan. Ayo, keluarkan segala kesaktianmu. Aku yang akan mengantarkanmu sowan ke hadapan Sang Hyang Yama!” sergah Prabu Pandu Dewanata. “Kenapa bisa jadi seperti ini, Kaka?” Jawaban Prabu Tremboko terputus oleh serangan Prabu Pandu Dewanata.*