Oleh PANDUPAKSI
Tersebutlah sebuah tempat yang jauh di kedalaman bumi: Kahyangan Saptapertala. Kahyangan yang terletak di bumi lapis tujuh, oleh Sang Hyang Wenang dikuasakan kepada Sang Hyang Anantaboga. Dewa Penguasa Bumi ini bersosok manusia berwajah ular. Akan tetapi, jika sedang tiwikrama sekujur tubuhnya menjadi ular raksasa sebesar pohon kelapa. Tak ada lagi sosok manusianya. Dialah yang merajai dunia perularan. Mengoleksi segala jenis bisa ular.
Dasar dewa, ngerti sakdurunge winarah. Tahu sesuatu yang bakal terjadi, utamanya di bumi kekuasaannya, bagian manapun serta lapis berapapun. Termasuk yang bakal menimpa Bale Gala-Gala, terletak di bumi Hastinapura, yang dibakar oleh Korawa atas aba-aba Patih Sengkuni.
Maka, Sang Hyang Anantaboga mengutus Naga Tatmala untuk membuat lorong menuju wilayah Kerajaan Hastinapura, persisnya di bawah lokasi Bale Gala-Gala didirikan. Karenanya, manakala Dewi Kunthi dan Pandawa dalam puncak kepanikan menghadapi kobaran api yang mengurung mereka, tiba-tiba lantai Bale Gala-Gala amblas dan terhubung dengan sebuah lorong. Lalu, muncul dari dalamnya landak raksasa berwarna putih, jelmaan Naga Tatmala.
“Ikuti aku,” kata Sang Landak sembari memandang Bratasena.
Secepatnya Bratasena menurunkan Dewi Kunthi ke dasar lorong, sedangkan Pinten-Tangsen tetap di gendongannya. Mereka lantas berjalan beriringan mengikuti langkah Si Landak Naga Tatmala. Lorong yang semestinya gelap menjadi terang oleh kemilaunya duri-duri putih landak. Dewi Kunthi melangkah persis di belakang Naga Tatmala, dibayangi Bratasena yang menggendong Pinten-Tangsen. Puntadewa berjalan mengekor Bratasena, dan Permadi sengaja berjalan paling belakang, sambil berjaga-jaga jika ada marabahaya datang dari arah belakang.
Tiba di Kahyangan Saptapertala, Dewi Kunthi dan Pandawa baru mengerti kenapa ada landak raksasa berbaik hati menolong mereka.
“Sementara waktu kalian tinggallah di sini. Kasihan mereka berdua masih kecil, belum saatnya ngulandara, Kunthi. Beruntung Pinten-Tangsen diasuh ibu tiri sepertimu, Kunthi,” sabda Sang Hyang Anantaboga.
“Terima kasih, Pukulun. Sembah saya katur,” jawab Dewi Kunthi. “Tentu Pukulun Sang Hyang Anantaboga.”
“Ulun Anantaboga. Yang menolong kalian tadi putra ulun Naga Tatmala, dan ini putri ulun Nini Dewi Nagagini.” Sang Hyang Anantaboga memperkenalkan kedua anaknya.
Dewi Kunthi serta-merta ingat cerita Harya Gandamana yang juga pernah diselamatkan Naga Tatmala sewaktu dijebak Harimba beserta adik-adiknya. Puntadewa, Bratasena, dan Permadi bergegas menghaturkan sembah. Hanya Pinten-Tangsen yang terpaku memandangi wajah Sang Hyang Anantaboga. Namanya juga anak-anak, tak bisa menyembunyikan keheranan mereka. Ternyata ada manusia berwajah ular. Kalau saja Sang Hyang Anantaboga tampil tiwikrama, tentu mereka ketakutan, bukan lagi keheranan.
Kendatipun Sang Hyang Anantaboga berwajah ular, putri tunggalnya cantik bak Bathari Supraba. Tak mengherankan jika Sang Hyang Anantaboga kemudian hari tak sungkan menjodohkan Dewi Nagagini dengan Bratasena. Sesungguhnya, Bratasena ingin menolak perjodohan itu, mengingat Puntadewa yang lebih tua belum bertemu jodoh.
“Ibu tidak menerima alasanmu, Sena. Jodoh itu bukan manusia yang mengatur kapan ketemunya.” Dewi Kunthi meyakinkan Bratasena.
Dan, di Kerajaan Hastinapura terjadi perubahan acara. Patih Sengkuni yang didukung Duryudana dan Dewi Gendari berhasil meyakinkan Adipati Desatrarastra bahwa Dewi Kunthi dan Pandawa lenyap terbakar.
“Sampai tulang-tulang nya pun menjadi abu, Kakang Adipati,” ujar Patih Sengkuni meratap pura-pura.
“Jagad dewa bathara. Oh, Kunthi… Pandu, apuranen aku, Pandu…,” Adipati Desatrarastra menitikkan air mata.
Lalu, dalam masa kedukaan Adipati Desatrarastra, Dewi Gendari mendesak agar Duryudana secepatnya diwisuda sebagai Prabu Anom Kurupati, menggantikan Adipati Desatrarastra sebagai Raja Hastinapura. Ibunda Korawa ini sesungguhnya masih sangsi, benarkah Pandawa beserta Dewi Kunthi terbakar dan lenyap? Atau, lenyap karena diselamatkan entah siapa. Dan, suatu hari nanti mereka akan muncul. Maka, ketika mereka muncul Duryudana sudah telanjur diwisuda. Bisa apa mereka? (Bersambung)