Oleh PANDUPAKSI
Malam begitu panjang bagi Wijrapa dan istri. Mereka berdua masih terus membicarakan tamu agung yang menginap di rumah mereka, hingga suami-istri itu lupa tidur. Tak menyangka bahwa Prameswari Prabu Pandu Dewanata sekarang ada di rumah mereka. Di samping itu, tentu jaminan keselamatan anak tunggal mereka nyata adanya.
Siang hari pun tiba. Diiringkan langkah Wijrapa dan Permadi, Bratasena mendatangi Prabu Baka di Kerajaan Ekacakra. Puntadewa ingin ikut, tetapi Dewi Kunthi melarangnya, “Kamu
tetap di rumah. Awasi adikmu Si Kembar. Jangan biarkan mereka ke luar rumah. Bocah kembar akan memancing perhatian orang banyak.”
“Sendika dhawuh, Kanjeng Ibu.”
Lagipula, tak ada yang bisa diperbuat Puntadewa di Kerajaan Ekacakra. Dewi Kunthi tahu persis bahwa anak sulung Prabu Pandu Dewanata ini seumur-umur belum pernah perang.
Girang bukan kepalang Prabu Baka melihat Bratasena yang tinggi-besar dan badannya bersih. Tidak seperti penduduk kampung pada umumnya.
“Pasti darahmu segar, Bocah Bagus. Namamu siapa, Gus?” tanya Prabu Baka.
“Untuk apa nama. Aku kleyang kabur kanginan, kandhang langit kemul mega. Aku datang untuk menjadi santapan Sang Prabu.”
“Bojleng-bojleng iblis lanat jejegangan, anak wedhus! Berani kamu bicara kasar di hadapanku? Bahkan kamu tidak mau menyembahku?” Prabu Baka murka.
“Aku tidak menyembah siapa pun kecuali Sang Hyang Wenang Dewaku.”
Maka, acara makan siang Prabu Baka batal. Prajurit Ekacakra segera mengepung Bratasena. Tetapi, Bratasena bukan sembarang manusia seperti mereka yang telah menjadi santapan Prahu Baka selama ini. Bratasena pernah digembleng olah kanuragan oleh Bathara Bayu dan Mahapatih Gandamana. Dan, ia memiliki senjata bawaan lahir: Kuku Pancanaka. Bratasena mengamuk didampingi Permadi.
Algojo yang sedianya siap menyembelih korban, kalang kabut. Justru dia berbalik menjadi korban kesaktian Permadi. Dengan Keris Kiai Kalanadah di tangan, Permadi membantai lawan yang mengeroyoknya.
Prabu Baka turun dari singgasana dan memburu Bratasena. Akan tetapi, raja kanibal itu ternyata hanya menakutkan bagi penduduk desa. Tapi, tidak bagi Bratasena. Bagi Penenggak Pandawa itu Prabu Baka hanyalah lawan empuk. Tubuhnya kebanyakan lemak. Timun musuh duren.
Dalam beberapa gebrakan Prabu Baka terkapar. Napas putus, dada robek oleh Kuku Pancanaka. Sisa prajurit yang menyerah dibebaskan oleh Bratasena. Toh, mereka terpaksa menjadi gedibal Prabu Baka.
Di rumah Keluarga Wijrapa, Dewi Kunthi berdoa dan berdoa untuk keselamatan serta kejayaan Bratasena dan Permadi. Tak lama selesai berdoa, Dewi Kunthi mendengar kabar bahwa Prabu Baka tewas di tangan Bratasena.
“Gusti Maha Agung, Nyai.”
“Terima kasih, Kanjeng Ratu. Kalau saja tidak ada Kanjeng Ratu dan…”
“Sudah, sudah. Jangan sebut-sebut lagi Kanjeng Ratu, Nyai.” Dewi Kunthi menukas. “Ayo, kita sambut anak-anakku di luar.”
Penduduk kampung berduyun-duyun ingin melihat tamu-tamu Wijrapa. Percaya tidak percaya bahwa salah seorang tamu Wijrapa berani melawan Prabu Baka, bahkan membunuhnya. Belum pernah mereka mendengar perlawanan atas raja lalim itu. Sebab itu, mereka bersorak-sorai menyambut Bratasena, Permadi, dan Wijrapa yang berjalan gagah, tak kurang suatu apa.
“Kita harus adakan pesta besar-besaran untuk ini, ” kata Tetua Kampung.
Sayangnya, usulan ini terdengar oleh Dewi Kunthi. Mati-matian Dewi Kunthi menolak dipestakan. Wijrapa bergegas menemui Tetua Kampung, menyampaikan penolakan Dewi Kunthi.
“Wijrapa, Nyai, aku dan anak-anakku harus meneruskan perjalanan,” ujar Dewi Kunthi.
“Lho, jangan Kanjeng Ratu. Percaya saya, pesta tidak akan ada.” Wijrapa terlonjak kaget.
“Sekalipun tidak ada pesta, berita ini pasti melebar dari kampung ke kampung. Akhirnya, sampailah ke lingkungan Kerajaan Hastinapura. Aku tidak ingin Korawa tahu aku dan anak-anakku masih hidup.”
Apalah daya Wijrapa dan istri untuk mencegah kepergian Dewi Kunthi dan Pandawa. Akhirnya, mereka hanya bisa menangis sambil berkali-kali minta maaf sekaligus berterimakasih.
Dewi Kunthi adalah junjungan yang tidak mungkin dibantah. Dewi Kunthi bahkan menolak sewaktu Wijrapa menghaturkan bekal untuk di perjalanan.
“Aku dan anak-anakku tak mungkin sanggup membawa bekal sebanyak ini. Bungkuskan saja makanan mateng yang tidak gampang basi, untuk Pinten dan Tangsen.”
Semakin bersedih Wijrapa dan istri. Belum lagi, kalau nanti penduduk kampung tahu kepergian Dewi Kunthi dan Pandawa, Wijrapa bakal disalahkan habis-habisan. Dituduh tidak berterimakasih kepada Sang Penolong.
“Puntadewa, Bratasena, Permadi, kita tidak mungkin lagi masuk kampung keluar kampung. Kita harus bersembunyi di hutan,” kata Dewi Kunthi, sebelum mereka berenam masuk Hutan Kamiyaka. (Bersambung).
.






