0leh EFFI S HIDAYAT
“Ayo, bangun. Tak perlu bersimpuh terus, Owen.”
“Hmm….”
“Tegakkan wajahmu ke altar, bahumu… mengapa berguncang terus seperti itu?”
“Aku… aku tak bisa, Mama….”
“Maksudmu? Mama tak mengerti , Wen… ssst, cepat! Cepat ambil hio-nya dan bersoja tiga kali. Lihat, adikmu sudah melakukannya. Yang lain-lain juga… hanya tinggal kita berdua.”
“Mama saja duluan….”
“Owen?”
“Aku akan melakukannya terakhir, Ma. Nai-nai akan mengerti….”
“Owen, Mama sudah melakukannya. Giliranmu melakukan penghormatan terakhir kepada Nai-nai. Eh, kamu menangis lagi? Mengapa sampai sesegukan seperti itu…”
“Pasti dia melihat sesuatu lagi, Lin?”
“Entahlah, Owen tak bilang apa-apa kepadaku, Pa.”
“Padahal, sudah cukup lama ia lumayan stabil. Mengapa hari ini…? Kau ingat, ketika ia kecil dulu, kerapkali bermain dengan Clementine. Apakah teman mayanya itu mulai datang lagi?”
“Aku tak ingin berprasangka. Lebih baik biarkan Owen tenang dahulu, pelan-pelan ia akan menceritakannya kepada kita nanti.”
“Ah, ya, ya….”
Dan, benar saja dugaanku. Selepas soja yang lebih lama dilakukan ketimbang anggota keluarga lainnya, Owen kembali duduk di sampingku. Sisa airmata dan sesegukan masih berurai di pipinya, namun ia sudah agak tenang.
“Aku melihatnya, Mama. Aku melihatnya, Pa….”
“Apaaa?”
“Aku melihat Nai-nai sedang tersenyum kepada kita semua. Ituuu…Nai-nai masih berdiri diam-diam di sana. Di dekat peti matinya.”
“Oh?”
“Melihat Nai-nai tak lagi bisa bicara dan ngomel seperti dulu, hanya memandang kita semua tanpa kata, tiba-tiba saja aku menjadi sedih sekali, Ma. Itu sebabnya aku menangis, Pa….”
“Nai-nai… , maksudmu Nai ada di tengah-tengah kita?”
“Ya, aku melihatnya tersenyum sekarang. Dan, ia melambaikan tangan mohon pamit….”
“ Owen, kau harus kuat. Harus, Wen.”
“Ya, Ma. Temanku, Clementine pun mengatakan hal yang sama. Dia sedang menemaniku, nih .”
“Clementine dataaang lagiii?”
“He-eh, Clementine bilang, dia akan pergi sekarang. Clementine siap menemani Nai-nai naik ke surga….”
Dan, Owen sesegukan lagi. Airmatanya mengalir deras, menuruni pipinya. Aku dan suamiku hanya bisa mengusap-usap lembut, menenangkan putri kami.
Menjadi “Anak Nila” memang bukan pilihannya. Kami harus menerima bahwa Florence — “Owen kami” sedari lahir adalah seorang anak yang istimewa….sungguh istimewa. Tidak ada yang salah dengan dirinya. Ya, tidak ada yang salah dengan Owen. Kami mencintainya.
Dan, bersama-sama dengan Owen, kami pun kembali soja kepada Nai-nai di depan sana, di dekat peti matinya. Selamat jalan, Nai. Selamat menempati ‘rumah baru’ di surga….
- Nai-nai = Nenek. Foto : Google Image.