Oleh NADJIB KERTAPATI Z
Tiba di rumah, saya mendapati istri saya tengah duduk merenung di ruang tamu. Melihat kedua matanya yang merah dan garis bibirnya yang melengkung ke bawah, saya menarik kesimpulan bahwa istri saya sedang marah.
“Ada apa? Kamu tampak habis menangis, ya?” tanya saya.
Istri saya tidak menjawab, namun dia juga tidak membantah. Sinar matanya terasa membenarkan ucapan saya. Dengan perasaan yang masih diliputi tanda tanya, saya lempar map begitu saja ke atas meja. Udara yang begitu menggerahkan memaksa saya melepas baju. Saya hidupkan kipas angin yang berada di atas boks loud-speaker, lalu saya duduk tak jauh di depan kipas angin itu.
“Sini kamu!” seru saya.
Istri saya berpindah tempat duduk persis di hadapan saya. Saya pandangi wajahnya lebih dalam, dan saya menangkap kesan bahwa selain sedang marah dia juga tampak tengah ditindih kesedihan.
“Aku malu,” katanya masih dengan memberengut.
“Malu? Kenapa?”
“Tante Reta barusan mendampratku habis-habisan.”
“Tante Reta? Ah, mana mungkin?”
“Aku tidak bohong, Mas! Tadi dia kemari dan mengataiku bermulut racun,” ucap istri saya dengan suara yang semakin parau.
“Tante Reta ‘kan termasuk tetanga yang baik dengan kita?”
“Justru itu aku jadi malu besar,” sahut istri saya. “Tante Reta tadi mencaci-makiku, menuduhku sebagai musuh dalam selimut. Dia bilang, dia akan mengumumkan pada para tetangga bahwa saya adalah perempuan nyinyir penyebar fitnah keji. Kalau saya masih suka membicarakan keburukannya dengan tetangga lain, dia mengancam akan melumat mulut saya yang dikatakan lancang dan beracun…”
Mendengar kata “mengancam”, kehormatan saya sebagai seorang suami merasa sangat dilukai. Sekonyong-konyong bayangan wajah perempuan bernama Reta itu menyambar-nyambar ingatan saya. Seorang perempuan segemuk babi bunting, berkulit putih, berambut pendek, dan suka tampil dengan mengenakan daster you can see. Karena pakaian itu maka bahunya yang nyaris sebesar paha saya itu tampak bergenyal-genyal jika berjalan dengan tangan berayun, dan pada permukaan kulitnya kelihatan tidak merata lantaran terlampau banyak lemak. Saya sendiri tidak tahu kenapa yang tampak darinya hanyalah hal-hal yang kurang sedap saja.
“Kenapa bisa jadi begini?” tanya saya, menggeram.
“Ini gara-gara Bu Encim! Perempuan genit itu telah mengadu pada Tante Reta, dan tentu saja menyudutkan diri saya.”
“Bu Encim? Dia ‘kan paling akrab dengan kita? Menyudutkan bagaimana?”
“Semua kata-kata yang pernah kuucapkan padanya diadukan kepada Tante Rate. Perempuan busuk! Padahal dia sendiri yang mula-mula mengajak ngrasani Tante Reta,” jawab istri saya sambil menyeka air matanya yang mulai merembes lagi.
“Apa saja yang pernah kamu katakan pada Bu Encim?”
“Biasalah, kalau dia sedang ngobrol selalu mengajak orang lain ngrasani tetangga. Bu Encim ‘kan pernah sakit hati pada Tante Reta? Aku cuma membenarkan kata-katanya saja. Bagaimana sih namanya orang diajak ngomong itu. Basa-basi, begitu!”
Sekarang, yang menggantikan Tante Reta dalam benak saya tidak lain dan tidak bukan adalah Bu Encim. Wajahnya yang sudah diramaikan oleh kerut-merut dan permukaan bibirnya yang lebih mancung dari hidungnya itu seolah-olah begitu mencerminkan kebusukan hatinya. Lebih-lebih kalau saya membayangkan gayanya yang seperti gadis belasan tahun dan lagaknya yang seperti istri profesor bila sedang mengenakan kaca mata hitam. Aduh! Rasanya saya tak ingin lagi menjadi tetangganya. Seperti juga Tante Reta, entah kenapa yang terlintas di benak saya hanyalah keburukan Bu Encim saja.
“Kalau tahu hidup di kompleks perumahan kayak begini, mendingan kita cari kontrak saja,” ucap istri saya bersungut-sungut. Tampak sekali bahwa dia tengah berusaha melawan tangisnya.
“Kamu menyesal?”
“Jelas, dong! Di sini saya tersiksa. Saya belum siap hidup di tengah-tengah orang kota. Saya sering dipandang kampungan, tidak modern, miskin, bodoh, kurang pergaulan. Sering juga saya menjadi bahan tertawaan, dihina, dianggap rendah. Saya tak kuat, Mas!” kata istri saya dengan nada yang makin tinggi. Selanjutnya dia meledakkan tangisnya, menutupkan kedua telapak tangan ke wajahnya.
Saya benar-benar sangat iba terhadap Ningsih, istri saya. Tiba-tiba saya merasa berdosa kepadanya. Wanita muda dari desa yang sebenarnya masih harus belajar menjadi nyonya rumah itu terlalu dini untuk saya lempar ke tengah-tengah kehidupan orang kota.
Keinginan saya untuk membahagiakannya di Jakarta, menyediakan sebuah rumah baru hasil kreditan yang saya peroleh dengan susah-payah, ternyata tidak terkabul. Semula istri saya menyatakan keberatan untuk saya boyong ke Jakarta selama saya belum memiliki rumah sendiri. Sambil berusaha keras menabung, lama saya harus mondar-mandir Jakarta-Magelang hanya demi menebus kerinduan. Sebelumnya saya hidup sendiri di Ibu Kota dengan cara indekos.
Tujuh bulan yang lalu saya berhasil memboyong istri saya begitu kunci rumah diserahterimakan. Kami harus hidup di lokasi perumahan baru, bangunan baru, dan semua penghuninya pun baru. Saya tidak pernah membayangkan akan menghadapi kenyataan seburuk ini. Begitu kami meninggali rumah baru, godaan demi godaan datang bertubi-tubi dari kanan dan kiri. Saya sendiri merasa prihatin, akan tetapi saya yakin bahwa dengan berbekal kerendahhatian, rasa tidak gampang iri hati, dan ketabahan, semuanya dapat teratasi.
Mula-mula saya menasihati istri saya agar tidak terpengaruh oleh keberhasilan tetangga, tetapi juga jangan sampai hanyut dalam rasa rendah diri.
“Orang harus punya sikap teguh, punya kepribadian, tapi juga jangan terlalu kaku,” kata saya.
Saya tidak pernah membayangkan bahwa nasihat itu malah menjadi bumerang. Betapa tidak! Bu Erna, tetangga seberang jalan, suatu sore bertandang ke rumah dan bercerita bahwa dia baru saja membeli bufet seharga tiga setengah juta rupiah.
“Buat ukuran orang sini, jarang lho Jeng yang mampu membeli bufet semahal itu,” katanya sambil membusungkan dada.
Saya lihat istri saya menampakkan raut wajah sedikit cemberut. Saya tahu bahwa dia tentu muak mendengar kesombongan Bu Erna. Namun saya pikir, reaksi istri saya itu tidak bijaksana. Saya mengedipkan mata, memberikan isyarat agar istri saya mengiyakan saja. Setelah saya menggut-manggut seolah turut bangga menjadi tetangga Bu Erna, istri saya baru memahami isyarat saya. Dia pun ikut mengangguk-angguk, dan Bu Erna tampak gembira.
“Orang macam dia jangan kita bantah. Akibatnya bisa tidak baik,” kata saya setelah tetangga saya itu pulang. “Kita toh tahu bufet macam apa yang dia beli itu. Memang harganya segitu karena membelinya dengan cara kredit cicilan tahunan.”
Kesombongan semacam itu tidak hanya datang dari Bu Erna. Nyonya Mardanus, tetangga sebelah, suatu hari datang ke rumah. Tidak ada bahan pembicaraan yang diajukan kecuali menyombongkan diri dalam soal kekayaannya.
“Sekarang tanggal berapa, Jeng?” tanya Nyonya Mardanus.
“Tanggal sembilan belas, Nyonya. Kenapa?” balas istri saya.
“Nggak apa-apa. Saya heran, Jeng, baru tanggal sembilan belas kok tadi Bu Dayat sudah mengeluh bokek. Padahal, Jeng, gaji suami saya bulan kemarin saja belum saya tengok. Masih dalam amplop. Yah, saya biarkan tergeletak saja di meja kamar.”
Lagi-lagi istri saya mencibir. Namun, lagi-lagi saya memberinya isyarat agar mengiyakan. Kami hanya mengangguk-angguk tanpa memberikan komentar apa-apa.
Setelah beberapa kali mereka datang hanya untuk membanggakan kekayaan, barulah saya sadar bahwa orang-orang itu butuh pengakuan. Seolah-olah mereka saling berebut identitas, dan kekayaan selalu dijadikan simbol. Mereka butuh dukungan dari kami, butuh kesepakatan dan sanjungan.
Karena kami hanya mengangguk-angguk tanpa memberikan dukungan atau kesepakatan, apa yang kami terima kemudiah sungguh di luar dugaan. Mereka malah menilai kami sombong, angkuh, dan sok sudah kaya. Mereka mulai jarang lagi bertandang, tetapi sering melemparkan senyum sinis.
“Sudah tujuh bulan kok belum bikin pagar, Jeng?” olok Nyonya Mardanus yang belum lama membangun pagar besi rumahnya.
“Belum punya duit, Bu,” jawab istri saya.
“Memang susah hidup di Jakarta kalau nggak punya duit, Jeng.”
Istri saya kontan masuk rumah dengan wajah yang amat sengsara. Dia mengadukannya kepada saya, dan saya hanya bisa menasehatinya agar dia tabah dan tidak gampang terpengaruh.
“Bisanya cuma bernasihat,” cemooh istri saya. “Kamu bisa tenang karena nggak diajak ngomong langsung. Lha saya ini, Mas, kuping saya panas rasanya. Bagaimana mesti kuat kalau tiap hari dicemooh terus-terusan?”
Bagaimana mesti kuat? Aha, puitis bener pertanyaan itu! Diam-diam saya sadar bahwa saya belum mampu tinggal di kompleks. Membayar uang muka dan cicilan tiap bulan tidaklah berarti seseorang sudah mampu tinggal di kompleks. Saya pikir kemampuan itu terletak pada dapat atau tidaknya seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di tempat kami adalah dapat atau tidaknya saya terlibat dalam persaingan gengsi.
“Kamu yang memilih hidup di perumahan, Mas, jadi kamulah yang harus konsekuen dengan persaingan itu,” protes istri saya.
“Semula saya tidak mengira akan jadi begini,” bela saya. “Sudahlah, asal mereka tidak mengganggu kita, buat apa kita risaukan?”
Saya pikir, kalau hanya soal pamer kekayaan bukanlah termasuk gangguan, sejauh kami tidak terpengaruh. Biarlah istri saya sewot setiap hari, toh kondisi ekonomi saya tak mampu bicara banyak. Penghasilan saya sebagai penerjemah borongan hampir-hampir tak pernah memberikan peluang kecuali hanya untuk biaya hidup sehari-hari.
Akan tetapi, suatu saat muncul gangguan baru. Gangguan yang saya sebut belakangan ini tidak datang dari ibu-ibu tetapi dari anak-anak kecil yang kelewat badung. Suatu hari, di kompleks perumahan kami datang pencari barang-barang plastik bekas. Ada yang membawa gerobak dorong dan ada juga yang hanya membawa pikulan. Mereka berteriak sepanjang jalan dari pintu ke pintu. Mereka membawa mainan dan macam-macam jajan untuk ditukar dengan barang-barang plastik bekas.
Tentu saja cara mencari nafkah seperti itu sangat merangsang anak-anak kecil. Puluhan anak mulai bergerilya menggasak ember, baskom, atau apa saja yang terbuat dari plastik, di mana saja berang-barang itu berada. Sudah empat kali ember dan baskom kami mereka serobot dan sengaja mereka rusak lebih dahulu untuk kemudian mereka tukar dengan mainan atau jajan. Sialnya, yang melakukan anak-anak tetangga tetapi sayalah yang kena damprat istri saya.
“Habisnya sih kamu nggak bikin pagar,” dalih istri saya. “Coba kalau kita punya pagar besi, anak-anak itu tidak bakal bisa masuk.”
“Mulai sekarang semua perkakas harus kamu bawa masuk rumah! Saya tidak mau pusing dengan omelanmu lagi,” kata saya.
“Sesekali bertindak, kek! Pegang anak itu! Laporkan ke orang tuanya. Kalau mereka tidak bisa menghajar, kita yang kasih pelajaran.”
Dan saya terpengaruh oleh anjuran istri saya. Sering secara sembunyi-sembunyi saya ikut bergerilya mencari “setan-setan” kecil itu. Ternyata, belakangan saya ketahui bahwa biang keladi mereka adalah si Ali, anak Pak Mudrik. Saya tidak mempu berbuat apa-apa terhadap anak bungsu sersan polisi itu.
Memang yang namanya si Ali itu badung-nya kelewat batas. Ia sering berlari-lari sambil mencabuti tanaman kembang tetangga. Istri saya pernah menangis lantaran sedap malamnya yang sudah mulai berbunga dicabut begitu saja. Hampir semua tetangga pernah menjadi korban kenakalanya. Ia begitu perkasa di antara anak-anak sebayanya. Ia selalu memulai pertengkaran dengan anak-anak lain dan selalu ke luar sebagai pemenang. Yang lebih besar daripadanya tidak berani mengganggunya karena tahu ia anak polisi. Padahal, saya tahu persis ayahnya tidak akan membela. Sering saya melihat Pak Mudrik menghajar anak bungsunya itu dengan cambuk ikat pinggang.
Suatu hari ada tetangga baru, Pak Jalil namanya. Dia juga seorang polisi berpangkat peltu. Iseng-iseng saya mengajaknya bicara soal kenakalan anak-anak di kompleks ini, terutama soal kenakalan Ali, si jagoan kecil itu.
“Aha, kebetulan sekali. Nanti dia akan dapat tandingan. Biar dirasakan kalau anak saya sudah saya boyong kemari,” seru Pak Jalil bersuka-cita.
Saya semakin terheran-heran mendengar jawabannya itu.
“Kalau dilaporin jangan bengong saja!” hentak istri saya membuat saya tersentak dari lamunan.
“Terus maumu bagaimana?” tanya saya setengah menjerit.
“Memangnya seorang suami harus diam mendengar istrinya mau dipermalukan seperti itu? Aku tidak kuat, Mas! Begini saja sudah menderita, apalagi kalau semua tetangga mencapku bermulut racun!”
Kembali wajah Bu Encim menyambar-nyambar ingatan saya. Perempuan satu ini memang perlu diberi palajaran. Ia tak tahu etika pergaulan sehingga dengan enaknya mengadukan omongan orang kepada yang bersangkutan. Saya pikir sesungguhnya dialah yang bermulut racun.
“Kenapa Bu Encim sampai berbuat segila itu?” tanya saya kepada istri saya. “Pasti kalian punya persoalan. Iya, ‘kan?”
Istri saya terdiam. Wajahnya tiba-tiba berubah muram. Saya menangkap kesan bahwa istri saya menyembunyikan sesuatu.
“Kalian habis bertengkar ya?” tanya saya lagi.
Istri saya malah meledakkan tangis kembali. Dan saya terharu mendengar tangisnya. Saya segera tahu apa yang harus saya perbuat. Saya langsung bangkit, menyambar baju, dan bagaikan seorang pahlawan saya melabrak Bu Encim.
“Maaf, Bu encim,” kata saya tanpa basa-basi. “Istri saya tadi mengadu kepada saya bahwa Bu Encim telah…”
“Saya memang tersinggung dengan istri Dik Drajat,” potong Bu Encim bersemangat, sebelum saya sempat mengakhiri kalimat saya. Dia bicara sambil tetap mengunyah kacang goreng. “Kedatangan Dik Derajat memang saya tunggu!”
“Untuk apa Bu Encim menunggu saya?”
“Ya, gara-gara istri Dik Drajat itu. Dia itu ‘kan seusia anak saya, lho, kok, berani-beraninya memarahi saya dengan perkataan kasar.”
“Apa? Istri saya memarahi Bu Encim? Apa sebabnya?” tanya saya terperanjat. Napas saya mendadak jadi terengah-engah.
“Masak orang ditagih hutang malah memarahi yang menagih? Dik Derajat tahu, istri Dik Drajat kemarin pinjam uang sama saya. Tidak banyak sih, tapi tadi pagi saya butuh uang, lalu saya tagih. Eh, saya malah didamprat, dikatai segala macam. Katanya saya perempuan pelit, tidak tahu kesulitan tetangga. Bagaimana saya tidak tersinggung?”
Muka saya bagaikan kena tampar. Kegagahan saya bak seorang pahlawan luruh tanpa kuasa lagi saya tahan. Kemarin saya memang menyuruh istri saya untuk pinjam uang kepada Bu Encim sekadar untuk membeli satu rim kertas dan pita mesin ketik. Maklumlah saya lagi bokek.
“Saya sakit hati, Dik Drajat. Habis, istri Dik Drajat mengatai saya sebagai perempuan centil, genit, dan nyinyir. Tadi kami memang sempat bertengkar mulut. Sampai-sampai para tetangga pada ke luar rumah. Saya malu besar, Dik Drajat. Dan saya…”
Dan saya tidak mampu lagi mendengar secara baik serentetan kalimat yang muntah dari mulut Bu Encim. Tanpa harus bertanya saya bisa memahami pengaduannya kepada Tante Reta. Rupanya Bu Encim khawatir kalau istri saya sampai mendahuluinya mengadukan omongannya tentang keburukan Tante gemuk itu.
“Dik Drajat sudah tahu duduk persoalannya, ‘kan?”
“Ya, Bu! Kedatangan saya ini memang untuk memintakan maaf atas kekhilafan istri saya,” jawab saya sambil menahan rasa malu yang luar biasa.
Saya pulang dengan loyo. Dalam hati saya berjanji tidak akan meladeni segala tingkah-polah istri-istri tetangga. Namun saya tidak berani berjanji apakah istri saya dapat melakukannya.
Jakarta, 1987