Effi S Hidayat
Dijual : Masih baru.
Melati menyentuh gaun itu untuk ke tiga kalinya, setelah melihat sana pegang sini.
“Cantik,’kan? Gres! Cocok betul di lehermu yang putih jenjang…,” Handy, pemilik salon tangkas melepas gaun putih bertali di bahu itu dari tangkai hanger dan mematut-matutnya di tubuh Melati. “Mari, coba saja dahulu…,” katanya lagi, menggandeng tangan Melati ke kamar ganti.
“Hmm, kamu beneran suka gaun ini? Tidak ingin pilih yang lain? Mulanya, kan, kamu bilang lebih baik sewa saja daripada beli… Tuh, masih banyak gaun sewaan di sana?” Frans mendadak berkeringat dingin, dengan cepat ia menunjuk deretan gaun yang berjajar di etalase . Sedari awal ia tidak suka Melati mengajaknya ke bridal salon yang satu ini.
“Duh, coba lihat! Pas sekali di tubuhmu, seolah gaun ini memang dijahit untukmu,” tak dihiraukannya kicauan Handy yang gemulai melambai memuji-muji. Walau harus diakuinya, Melati nampak begitu bersinar dalam balutan gaun itu.
Melati tersenyum samar, menatap dirinya di cermin. Dibelainya kain tile gaun itu, ada renda-renda halus yang menjuntai elegan di sekeliling pinggang rampingnya. Dengan mata berbinar-binar ia menatap Frans, lalu katanya tegas, “ Aku pilih gaun ini saja untuk pesta malam pertunangan kita….”
***
Enam bulan lalu….
Akhir Oktober musim penghujan belum berakhir. Bau tanah basah menyebar di suatu sore yang ‘pecah’ oleh tangis Melati yang tiba-tiba membahana melihat tubuh Mawar tersungkur menggeletak di bawah ranjang.
Wajahnya membiru pucat . Ada darah mengalir di sisi bibirnya. Beberapa minggu terakhir ini sakit Mawar memang ada-ada saja. Ia kerap mengeluh mual, pusing, dan sakit kepala. Walau demikian, ia terlihat bahagia sekali menjelang pesta pertunangan dengan pujaan hatinya.
Begitu tiba-tiba kejadiannya, Mawar tak tertolong. Kata dokter, tekanan darahnya terlalu rendah dan ia mengalami gagal napas. Semua orang terlebih keluarga amat terkejut, namun tak dapat berbuat apa-apa selain pasrah menerima takdir yang menimpa diri gadis itu.
Dan, Mawar pun dimakamkan. Ranjang di sisi kiri yang biasa ditidurinya terasa dingin sekarang. Melati tak bisa bercengkrama atau sekadar curhat lagi menjelang tidur bersama saudari kembarnya.
Dia adalah orang yang paling sangat kehilangan dan terpukul karena kepergian Mawar yang tiba-tiba. Namun secara perlahan, hatinya luluh juga. Berlalunya waktu membuat Melati akhirnya bersedia menerima Frans. Apalagi kedua orangtua mereka sudah sepakat saling setuju.
“Tidak apa-apa, Mawar di surga tentu berkenan jika kau yang menggantikan tempatnya, menjadi pasangan seumur hidup Frans. Pasti dia rela….,” begitu kata Mama sembari mengelus rambut Melati yang terurai.
Dan, kini Melati memilih gaun putih ber-tile tipis renda-renda itu yang akan dikenakannya di pesta pertunangan nanti?
Oh, Frans benci sekali melihat gaun itu lagi! Dia sengaja telah menyingkirkannya dengan menjual murah kepada Handy, sang pemilik salon. Tetapi, kini ia muncul kembali membalut cantik tubuh gadis yang akan bertunangan dengannya.
Frans seolah melihat Mawar menertawainya. “Rasain kamu!” mungkin begitu ejeknya. Rohnya yang telah berpulang ke alam baka tentu tahu Frans sudah meracuninya sedikit demi sedikit dengan … sianida, di dalam kopi yang kerap diraciknya khusus untuk Mawar sebagai ‘tanda cinta’.
Namun sekarang, ‘tanda cinta’ itu pula kah yang telah membuat Melati (yang tidak tahu apa-apa karena ia belum pernah melihat gaun itu sebelumnya ), mendadak menjatuhkan pilihan kepadanya?
Tubuh Frans mendadak limbung. Perasaan bersalah yang selama ini terus mengejarnya muncul semakin menggebu. Kobaran gelora cintanya kepada Melati-lah yang selama ini terpendam telah membuatnya gelap mata menyingkirkan Mawar.
Oh, bulu kuduk Frans meremang menggila. Ia seolah melihat wajah Mawar kembali terbahak-bahak di seantero gaun putih itu….
Ia luput menangkap lirikan tajam Melati. “Rasain kamu! Akan ku bunuh kau pelan-pelan….”
BACA CERPEN LAIN;