Cerpen: Kisah Ping di Jalur Kata

Suatu hari ketika Ping usai menggarap naskah antologi cerpennya, ia memandang tumpukan buku itu yang bisu bagai patung di ruang kerjanya. Sekarang buku-buku itu telah jadi, lalu apa yang harus kulakukan? Ping termenung sejenak.
Usai pensiun dari sebuah tabolid remaja, ia memang mengerahkan seluruh kemampuannya ke dalam rangkaian kata-kata. Intuisi kreatif yang selalu didengung-dengungkan sang ayah, melekat dengan kuat di benaknya. Ya, ia telah berjanji melalui kata ia akan mencurahkan seluruh energinya agar bisa hidup dan menghidupi orang-orang di sekitarnya, termasuk sang ayah yang kala itu mulai sakit-sakitan.

Maka mulailah ia menelusuri beragam cara agar bisa mandiri di dunia yang menurut penuturan sang ayah, penuh dengan intrik dan air mata. Di dunia ini, kata ayahnya, bisa teman makan teman, ada musuh dalam selimut dan unsur pemanfaatan yang bersembunyi di balik selimut. “Jangan pernah percaya kepada mereka, sebab mereka akan baik jika kau dianggap baik, jika kau memilih jalan yang bertentangan, maka saling menjatuhkan itulah yang terjadi. Jadi hati-hatilah, jarang teman yang tulus, mereka bisa menjadi musuh tanpa bayangan yang menyerangmu dengan cepat tak terlacak.” Ah ayah, ujar Ping dalam hatinya. Mengapa kalimat-kalimat itu pula yang kau jejalkan ke telingaku. Aku ingin menjadi pengepul kata, mencari uang dari kata, itu artinya aku harus banyak teman di mana dan kapan pun aku berada.

Maka melengganglah Ping dengan harapan yang yang membumbung di dada. Ia mulai menulis cerpen, novel juga puisi. Ia berjalan dengan hati teguh, memasuki dunia sastra yang selalu ia anggap penuh aura kemanusiaan dan kasih sayang. Sebab setelah ia melihat orang-orang yang terlibat di dalamnya, ia yakin mereka benar-benar tulus. Maka ketika jalur waktu mengantarnya benar-benar bermetamorfosis menjadi seorang penulis karya-karya sastra, Ping seolah telah menemukan dunianya, dunia yang ia impikan sejak ia remaja. dunia imaji di mana orang-orang berhati bak peri yang berwajah suci. Dan buku antologi cerpennya menjadi karya momentum yang sejak lama ia tunggu-tunggu. Pembuatan yang kini trend dengan sebutan ‘indie’ pun ia lakukan, ia tak peduli ada sebagian teman-temannya menganggap bahwa ‘indie’ adalah jalur tanpa rintangan untuk memiliki sebuah buku. Ping menatap cakrawala dengan hati berbunga.

Betahun-tahun ia meniti jalan itu, hingga sang ayah meninggal di jalur sengsara dengan pilihannya sebagai penulis sastra, Ping enggan membelot. Ia menyaksikan sang ayah meregang nyawa di sebuah rumah sakit swasta setelah usahanya yang ‘berdarah-darah’ mencarikan biaya untuk sang ayah agar tetap sehat. Jalur kering sastra tetap menjadi pilihannya. Lalu, tatkala seorang taipan membeli buku-bukunya ia senang.

Buku-buku tersebut dikirimkan ke puluhan teman sesuai dengan komitmen antara si penjual dan si pembeli. Adakah yang salah di sini? Ping yang kala itu menyerahkan semua pengiriman pada sang asisten, lupa mencantumkan namanya sebagai pengirim, lalu gelegar mesiu mulai menjadi bumerang yang menusuk jantungnya. Ia bersalah, ya ia bersalah.

Dari semua itu, sesungguhnya ia hanya berpikir sederhana, sedikit keuntungan itu akan ditabungnya agar ia bisa membuat nisan indah untuk sang ayah. Ping yang hanya seorang penulis sederhana, memandang semua orang baik adanya, mendapati bahwa manusia adalah sekumpulan dari serigala dengan seringai ganas yang mengintai si gadis berbaju merah melalui senyuman dan kata-kata yang teramat manis, membuat Ping tersentak!

Dunia manis di jalur sastra kini telah menjadi ambigu dan pertanyaan di dirinya, apakah ia akan meneruskannya atau berbalik meninggalkannya, sebab sosok-sosok yang ia anggap tulus dan baik, tak lebih hanya sebuah ‘Drama Korea’ yang pemainnya pandai mengubah karakter dalam hitungan menit. Ping merenung di kamarnya yang sunyi. Di dunia kriminal, di mana sang penjahat melancarkan tindak kriminalnya secara verbal, bagi Ping itu lebih elok, ketimbang dunia yang yang ditekuninya, mengadili dia tanpa reserve, melalui kata yang santun namun menusuk bagai sembilu tajam.

Ping bersemedi diruang sunyi, ucapan Albert Camus menjadi pokok pertimbangannya, apakah ia harus tetap di jalur kata, menikmati segala euforia semu dan senyum basa-basi yang siap menusuknya dari belakang, atau meninggalkannya dan mencari ‘jalur sutra’ yang lebih manusiawi?

Entahlah…sebab Camus telah menuliskannya demikian, “Tetapi perubahan berarti bertindak dan bertindak. Bisa saja besok untuk membunuh, dan hal itu tetap tidak diketahui apakah membunuh itu disahkan. Pemberontakan melahirkan tindakan-tindakan yang secara nyata dipertanyakan keabsahannya.” Ping kemudian memutuskan, ia akan berkubang di lajur yang dipilihnya, menghadapi sandiwara demi sandiwara dengan sandiwara pula, life is a drama…begitu kata hatinya.

Tamat

(Fanny Jonathan Poyk)

Cerpen : Pertemuan

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis