Cerpen oleh Belinda Gunawan
“Nadia!”
Gadis itu mengangkat kepala dari ponselnya, lalu segera menunduk lagi. “Ada apa sih?” ia menggumam.
“Kita lagi makan. WA bisa menunggu.”
“Aaaah, Papa.”
Ia masih tersenyum-senyum pada benda kotak di tangannya.
“Anak ini! Sepertinya kamu sekarang tidak perlu Papa dan Mama lagi. Asal ada hape.”
Nadia mengetuk tanda kirim, lalu meletakkan ponselnya. Matanya melotot menatap Indra. Bersamaan waktunya ada protes lain berupa cubitan di lengan Indra. Dari Marta. Ketika menengok, ia melihat istrinya juga membelalakkan mata.
Sarapan pagi itu jadi terasa hambar. Sebelum berangkat, Marta “mengartikan” cubitannya. “Pa, kamu jangan bilang begitu. Nadia memang salah, tapi kamu jangan sesinis itu pada anak sendiri.”
Indra tidak menyahut, sebab tidak mau urusan kecil jadi besar.
Di mobil, ketika mengantar Nadia sekolah, Indra mengira anak itu akan melancarkan aksi diam terus. Tapi ternyata di tengah perjalanan ia berkata, “Papa tajam amat sih mulutnya.”
Lagi-lagi Indra diam. Sekolah sudah dekat, dia tidak mau Nadia terlambat. Sekolah susteran itu ketat banget soal disiplin.
Indra merasa, sudah beberapa minggu ini Nadia berubah. Gadis tujuhbelas tahun itu tadinya sering dijuluki “Daddy’s Girl” oleh keluarga besar mereka, tapi sekarang ia seperti menjauh. Sore dan malam hari ketika Indra ada di rumah, dilihatnya anak itu asyik dengan ponselnya. Tersenyum-senyum sendiri.
Kata Marta, ada mantan kakak kelas Nadia, dulu “secret admirer”, kini sudah kuliah, yang belakangan ini sudah tidak begitu “secret” lagi. Sudah PDKT. Entah dari mana Marta tahu istilah itu, tapi Indra tidak suka. Ia ingin menahan Nadia sebagai “kekasih Papa” selama mungkin.
***
Biasanya Nadia pulang sekolah tanpa perlu dijemput. Ia nebeng Prita yang tinggal di mulut kompleks. Tapi hari ini Indra ada tugas luar, dan kebetulan tak jauh dari sekolah. Ia membelokkan mobilnya dan menunggu di bawah pohon di sisi gerbang.
Ia menajamkan mata. Satu persatu anak-anak SMA itu keluar dari kelas menuju gerbang. Indra pikir, tentu Nadia akan senang dijemputnya. Mereka akan makan siang bersama, dan Nadia boleh pilih restonya. Indra ingin memperbaiki relasi dengannya. Tidak, ia tidak akan menyebut-nyebut soal cowok itu (dulu). Ia akan membiarkan obrolan ayah-anak mengalir normal, seperti biasanya.
Nah itu Nadia. Tapi…lho, kok ia melangkah menuju sepeda motor persis di depan gerbang sekolah? Ojek? Gojek? Grab bike? Bukan. Pengendara motor itu tidak berjaket hitam-hijau. Eh, dia membuka helmnya, tersenyum, lalu menyerahkan helm lain pada Nadia. Dan Nadia tersenyum cerah. Senyum yang biasa ditebarnya pada Indra, bahkan lebih manis lagi.
Ia ingin memanggil, “Nadia, naik mobil saja!” tapi lidahnya kelu. Ia membiarkan Nadia mencemplak di belakang motor dan serrrr… menjauh.
Oh, ada nyeri di dada Indra. Mungkinkah ini… cemburu?