Oleh RINI CLARA
Dr. Utami Roesli, SpA, MBA, IBCL, membuat kalangan medis di Indonesia terperangah. Pasalnya, ia berkeyakinan bahwa bayi yang baru lahir sudah bisa menyusu sendiri.Ia pun getol menyosialisasikan pentingnya Inisiasi Menyusu Dini (IMD), karena hasilnya sungguh luar biasa, IMD mampu menurunkan angka kematian bayi hingga 22 persen.
Penelitian yang dilakukan dr.Karen Edmund dan kawan-kawan dari Inggris pada 2006, terhadap 115.000 bayi menunjukkan bahwa Inisiasi Menyusu Dini (IMD) – bayi diberi kesempatan mulai menyusu sendiri segera setelah lahir – dapat menurunkan 22 persen angka kematian bayi di bawah usia 24 hari. Hal ini membuat mata dunia kesehatan terbelalak. Pasalnya, selama ini dunia kedokteran kurang tepat dalam menangani bayi-bayi yang baru lahir.
“Yang mengejutkan kami, ternyata IMD bukan hanya mempermudah bayi menyusu ASI eksklusif lebih cepat delapan kali lho. Tapi, juga yang baru kita sadari, ini berhubungan dengan kematian bayi,” tutur dr;Utami Roesli, SpA, MBA, IBCLC, yang sejak itu getol menyosialisasikan IMD sampai ke desa-desa pelosok.
Sebagai orang yang pertama kali menyosialisasikan IMD di Indonesia, dr Tami, begitu wanita yang selalu tampil cantik dan segar ini biasa disapa, beruntung mendapat dukungan penuh dari USAID, berkeliling di hampir 40 kabupaten. Termasuk di pedalaman seperti Calang, Meulaboh, Nagan Raya, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan NTT.
“Saya mungkin yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyadari kesalahan saya pribadi selama ini. Bahwa interpretasi langkah keempat dari 10 langkah keberhasilan menyusui – bayi yang baru lahir setelah dikeringkan, tali pusar dipotong lalu dibedong, kemudian mulut bayi dijejalkan ke puting susu ibu. Ternyata kita tidak menyadari bahwa bayi yang baru melahirkan dapat menyusu sendiri,” tutur dr Tami yang lebih 30 tahun praktik di RS. St. Carolus (Jakarta) ini.
Padahal, dalam langkah keempat dari 10 langkah keberhasilan menyusui, begitu bayi lahir, setelah dikeringkan, tali pusar dipotong, lalu diletakkan di dada ibunya. Apa pun, bagaimana pun proses kelahirannya, mereka akan melalui proses tahapan yang sama, Bedanya, ada yang menyelesaikan dalam waktu 25 menit, ada yang satu jam baru mencapai puting susu ibu.
Karena, kelahiran adalah trauma, ketika bayi merasa kehilangan tempat berlindung, kehilangan rasa aman, dan rasa nyaman.
“Begitu lahir, trauma sekali kan? Enggak ada lagi protect, skin to skin contact. Jadi, waktu diletakkan di dada ibu, bayi yang lahir trauma ini merasa, ‘O, sama, dia masih menyayangi dan melindungi saya.’ Sehingga, adrenalinnya agak turun dan oksitusinya naik. Berapa lama bayi memerlukan waktu transisi, tergantung berapa banyak trauma yang dialami,” jelas Duta Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 2007-2008, ini.
Setelah bisa mengatasi trauma, bayi akan mengendus puting susu ibunya dan mengendus tangannya sendiri – ternyata bau ketuban telapak tangan bayi mirip sekali dengan cairan pertama yang akan keluar dari payudara ibu,
“Amazing!!! Pada saat bayi sudah tahu, O, bau ini yang harus saya cari, dia akan berliur,” ujar lulusan Fakultas Kedokteran – Unpad/RSHS, Bandung (1972) dan Dokter Spesialis Anak FK-Unpad/RSHS, Bandung (1980) ini.
Tahap berikutnya, bayi akan merangkak dan menekan-nekan di atas rahim ibunya.
“Buat apa dia menekan di atas rahim ibunya? Ternyata untuk mengurangi pendarahan ketika persalinan,” kata dr Tami yang menyelesaikan Master Business Administration, di University of the City of Manila, Philipina (1994).
Harus diakui, di Indonesia, dua ibu meninggal setiap jam karena pendarahan ketika melahirkan. Ketika pendarahan berhenti, si bayi akan merangkak ke atas mencari puting susu sang ibu. Secara alami, ketika bayi merangkak ke arah payudara ibu, bayi memindahkan bakteri-bakteri yang ada di kulit ibunya, menjadi bakteri-bakteri yang menjaga di kulitnya sendiri.
“Dia jilati kulit ibunya, setiap jilatan dia telan, berkolarisasi di usus menjadi Prebiotik, Lactobaccilus dan sebagainya,” papar perempuan yang mendapat sertifikat sebagai konsultan laktasi internasional (International Board Certified Lactation Consultant – IBCLC) pada 2001 dan diperbarui pada 2006.
Sambil merangkak, bayi mendetak-detakkan kepalanya di dada sang ibu. Detakan itu ternyata sebagai massase payudara,
“Jadi, selama 25 menit atau bahkan sejam itu bayi melakukan masase payudara, bagaimana nggak keluar ASI. Sampai ke puting susu, bukannya dia enggak bisa langsung menyusu. Dia akan tahu berapa banyak yang diperlukan. Dia menjilat untuk merangsang keluarnya ASI,” jelas Ketua Sentra Laktasi Indonesia ini.
“Menurut saya Inisiasi Menyusu Dini adalah survival instinct yang diberikan Tuhan, yang kita lupakan. Dan hanya manusia yang melupakan pemberian Tuhan itu. Karena enggak ada mamalia lain memisahkan anaknya begitu lahir dari ibunya. Apa pun, enggak ada, – tidak jerapah, ikan paus dan sebagainya. Kita mesti keluar melihat deh, ke mamalia lain. Itu yang membuat saya shock.” tukas dr Tami.
Tapi, tambahnya, memang dulu tidak diajarkan yang demikian.
Menurut laporan The World Health Report 2005, dari 1.000 kelahiran hidup, 20 bayi dibawah usia 28 hari meninggal. Dari 1.000 kelahiran hidup, 26 balita meninggal di Indonesia.
“Kalau saya jabarkan, lebih kejam lagi. Seolah-olah di Indonesia tercinta ini setiap hari jatuh satu jet jumbo yang isinya semua bayi-bayi di bawah 28 hari, dan meninggal semua. Karena setiap hari sekitar 247 bayi meninggal. Lebih celaka lagi Balita, setara dengan dua jumbo jet, karena 435 per hari meninggal. Nah, kalau kita membiarkan, setiap enam menit satu bayi meninggal atau setiap 2,5 menit balita Indonesia meninggal, tandas penerima Penghargaan Wahidin Sudiro Husada atas jasa-jasanya yang menonjol di bidang pengamalan profesi kedokteran, khususnya dalam pengembangan program ASI eksklusif dari Ikatan Dokter Indonesia (2006).
Mungkin kalau kita kembali kepada yang diberikan Tuhan, dengan hanya memberikan kesempatan kepada bayi di atas tubuh ibunya satu jam saja tidak diangkat atau sampai selesai minum ASI.
“Kita melupakan bahwa skin to skin contack sangat penting. Temperatur dada seorang ibu yang baru melahirkan, naik datu derajat Celcius daripada dada ibu yang tidak melahirkan. Temperatur dada ibu akan menyesuaikan kebutuhan bayinya. Tempat yang paling tepat bagi bayi adalah dada ibunya,3 jelas penerima penghargaan Bakti Karya Husada Tri Windu dari Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. FA Moeloek (1999).
Ketika diundang USAID headquarter untuk berbicara di Global Health Forum di Washington DC, Amerika Serikat, kemudian di USAID headquarter, dan John Snow Institute Headquarter, Utami lebih kaget lagi, ternyata masih ada teman-teman medis di Amerika yang juga baru menyadari bahwa interpretasi mereka dulu juga kurang tepat.
“Lho, kok masih ada yang begitu ya. Saya kira mereka itu lebih maju ternyata nggak juga,” jelas wanita yang gemar warna merah ini.
*(Artikel ini pernah ditulis Rini Clara di Majalah Maestro News edisi Juli-Agustus 2008. Foto Rino Kamaroedin. Diunggah ulang Seide karena aktualitas permasalahannya masih tetap relevan dengan kondisi dan situasi saat ini.)