oleh SYAH SABUR
JAUH sebelum Pemprov Jawa Barat mempromosikan mudik/balik lewat jalur alternatif pantai selatan (Pansela) Jabar, saya sudah berniat mudik atau balik melalui jalur tersebut. Tapi berkali-kali niat itu gagal karena sebagian dari anggota keluarga kami bangun kesiangan.
Padahal, banyak teman yang mengingatkan, untuk melewati jalur Pansela sebaiknya berangkat sepagi mungkin agar tidak kemalaman di jalan. Sebab, ada dua risiko yang harus dihadapi: kabut tebal di dataran tinggi dan begal di jalur yang sepi.
Tahun 2009 saya sebenarnya pernah melewati Pansela dari Sukabumi, Cianjur, Garut, dan berakhir di Tasikmalaya. Jalurnya mayoritas pantai dengan kombinasi pegunungan yang beraspal mulus.
Info lengkap
Akhirnya hari Jumat (06/05/2022) kami sekeluarga memutuskan melalui Pansela walaupun baru berangkat sekitar pk. 09.00 pagi. Karena melewati jalur ini lebih dari 10 th lalu, saya pun meminta informasi ke pos mudik sebelum memasuki kota Singaparna. Singkat kata, polisi mengatakan, saya harus masuk lewat Cipatujah agar bisa menyusuri pantai. Karena sudah agak siang, kami pun memutuskan untuk keluar di kawasan Bandung. Sebab, jika kami nekad tembus sampai Sukabumi, pasti banyak rintangan yang akan kami hadapi.
Disuguhi pantai
Dari Tasikmalaya, Cipatujah, Naringgul, hingga Pameungpeuk (Kab. Garut), kami bisa nyaman berkendara melewati pantai hingga dataran tinggi. Selain pantai, kami pun disuguhi hamparan sawah yang menghijau, jalan berkelok, dan tebing yang berkali-kali dihiasi air terjun. Kami sampai di Pameungpeuk yang masih diselimuti hutan belantara sekitar pk. 16.00.
Setelah memasuki Cidaun, drama pun dimulai. Jalanan mulai sepi, tidak ada rumah atau bangunan di sepanjang jalan. Jalur pun makin sempit yang diapit tebing dan jurang.
Bukan hanya itu karena matahari sudah lama ngumpet. Sebagian orang di mobil pun mulai khawatir karena kendaraan yang lewat hanya 1-2. Di kursi belakang, istri saya makin rajin melantunkan ayat-ayat Quran agar perjalanan lancar.
Kabut tebal
Semakin mendekati batas wilayah Cidaun-Ciwidey, kabut tebal mulai menghalangi pandangan. Di tengah kabut, tak ada lagi warga yang siap membantu jika ada mobil mogok. Beruntung di depan ada mobil Toyota Fortuner dengan lampu terang di depan dan lampu hazzard di belakang.
Tapi seiring dengan dataran yang makin tinggi, kabut pun semakin tebal. Fortuner di depan pun terpaksa menepi karena mata sang sopir terhalang kaca depan yang terlalu gelap. Cat putih di tengah jalan yang jadi satu-satunya pedoman untuk sopir pun makin samar terlihat.
Terbelah dua
Putra kedua saya yang memegang kemudi –yang beberapa kali ngomel karena jalur yang amat panjang– tiba-tiba kegirangan melihat kabut yang amat tebal. Dia pun meminta kakaknya untuk mengabadikan jalur berkabut itu.
“Gila ini, baru kali ini lihat kabut setebal ini sampai nyaris gak bisa melihat apapun di depan. Tapi ini seru,” kata anak saya berulang-ulang.
Saya pun terbelah dua: antara menikmati petualangan kecil yang mengasyikkan dan rasa bersalah melihat istri yang amat cemas. Tapi di dalam hati saya amat yakin bisa melalui jalur ini dengan selamat karena kondisi mesin mobil yang prima dan sang pengemudi yang sudah teruji, termasuk saat melewati jalur Ciletuh, Sukabumi bbrp tahun lalu dengan kelokan dan tanjakan yang jauh lebih tajam.
15 jam perjalanan
Akhirnya kami pun bisa melewati kabut dengan bantuan cahaya lampu sejumlah sepeda motor dan pandangan saya sebagai navigator yang masih bisa melihat garis pinggir jalan. Setelah mengemudi dengan amat hati-hati, kami pun tiba di kawasan wisata Ciwidey sekitar pk. 21 malam. Total, jarak Tasikmalaya-Cipatujah-Pameungpeuk-Ciwidey sepanjang 170-an km kami tempuh sekitar 12 jam. Sejam berikutnya kami memasuki tol di daerah Kopo, Bandung hingga tiba di kota Tangerang sekitar pk. 01.00.
Ada beberapa catatan setelah menyusuri jalur Pansela. Pertama, pastikan kita mendapat informasi lengkap tentang jalur yang kita pilih. Dari polisi, kami mendapt info bahwa kami akan melalui jalur yang didominasi pantai. Menurut polisi, tanjakan pun hanya sekelas di jalur Tasik-Garut-Nagreg.
Kenyataannya, jalur ini lebih banyak menyuguhkan dataran tinggi ketimbang pantai. Tanjakan mungkin tidak jauh berbeda dengan jalur Tasik-Garut. Tapi ada beda yang nyata; jalur lebih sempit dibanding jalur Garut. Hanya cukup 2 mobil di jalan lurus. Di jalanan yang menikung, satu kendaraan harus mengalah. Bagi kendaraan yang tidak prima, hal itu bisa jadi hambatan serius.
Minim penerangan
Jalur Pansela juga bukan saja minim penerangan dan rambu jalan tapi juga minus polisi di sepanjang jalan. Selain itu, hanya ada 2-3 SPBU di jalur Cipatujah-Ciwidey sepanjang 100 km. Selebihnya hanya ada penjual BBM eceran. Last but not least, nyaris tidak ada rumah makan besar di sepanjang jalur, kecuali saat memasuki kawasan wisata Ciwidey.
Yang juga tidak kalah penting, sebaiknya kendaraan Anda dilengkapi lampu kabut. Kalau Anda menyiapkan segalanya dengan lebih saksama, insha Allah perjalanan akan jadi petualangan kecil yang memikat dan istri tercinta bisa menikmatinya dengan sedikit lebih nikmat, bukan denganp kecemasan. Terakhir, pastikan pengemudi dan penumpang siap benar bahwa jalur yang akan ditempuh memang panjaaang dan lamaaa.*