Menyambut bulan suci Ramadhan 1443 H Sastrawan Akmal Nasery Basral meluncurkan buku kisah hidup Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (1908- 1961) yang memiliki panggilan akrab Buya Hamka. Serangkai Makna di Mihrab Ulama melanjutkan kisah Setangkai Pena di Taman Pujangga .
Kisah dalam kemasan novel sejarah ini berjudul Serangkai Makna di Mihrab Ulama diterbitkan oleh Republika Penerbit. Acara soft launching ditandai dengan Bincang Buku ini di kanal IG @bukurepublika secara langsung pada Jum’at, 1 April 2022, pukul 15-16 WIB sekaligus sebagai keriaan literasi memasuki bulan suci Ramadhan 1443 H.
Serangkai Makna di Mihrab Ulama adalah dwilogi kisah Buya Hamka setelah buku pertama Setangkai Pena di Taman Pujangga yang terbit persis sebelum pandemi (Maret 2020). Jika Setangkai Pena di Taman Pujangga mengisahkan kehidupan Buya Hamka sejak masa kanak-kanak sampai usia 30 tahun (1938) yang melontarkan namanya sebagai pujangga setelah menghasilkan dua karya besar Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, maka pada sekuel Serangkai Makna di Mihrab Ulama mengisahkan
periode hidup Buya Hamka umur 31 tahun sampai wafat di usia 73 tahun (1981).
Ini beririsan sejarah Indonesia menjelang masuknya Tentara Jepang ke Tanah Air, Proklamasi
Kemerdekaan dan masa revolusi fisik (1945-1949), gejolak politik domestik tahun 1950-an ketika Hamka menjadi salah seorang anggota Konstituante, era 60-an yang panas membara dengan pemberontakan PKI (Hamka dipenjara selama hampir 2,5 tahun tanpa pengadilan), runtuhnya Orde Lama, munculnya Orde Baru dengan Buya Hamka sebagai salah seorang ulama terpenting, pembentukan Majelis Ulama Indonesia (1975) yang menempatkannya sebagai ketua umum pertama, sekaligus sampai akhir hayatnya di tahun 1981.
Serangkai Makna di Mihrab Ulama adalah karya ke-24 Akmal Nasery Basral, sastrawan berdarah Minangkabau yang tahun lalu mendapat Penghargaan National Writers Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena, bersama sejumlah penulis lainnya (fiksi dan nonfiksi).
“Seluruh royalti dari dwilogi Buya Hamka ini, baik Setangkai Pena di Taman Pujangga maupun Serangkai Makna di Mihrab Ulama akan saya donasikan untuk program pengembangan masyarakat di Kep. Mentawai melalui program yang dijalankan ACT (Aksi Cepat Tanggap) Pusat,” ujar sastrawan yang biasa dipanggil Uda Akmal.
“Ini untuk menunjukkan bahwa sosok besar kaliber internasional seperti Buya sampai beliau sudah wafat dan fisiknya tak ada di antara masyarakat, kisah hidupnya masih bisa memberikan manfaat kepada umat. Alhamdulillah ahli waris keluarga Buya Hamka pun setuju dengan niat saya ini,” lanjut mantan jurnalis majalah Gatra dan Tempo ini.
GM Republika Penerbit, Syahruddin El Fikri, sangat mendukung Uda Akmal. “Itu niat yang bagus sekaligus membantu pembaca yang ingin berderma bagi sesama. Pembaca kisah Buya Hamka karya Uda Akmal bukan hanya mendapatkan bacaan inspiratif dan edukatif yang dikemas dalam story telling menarik, melainkan sekaligus juga membantu saudara-saudara kita di Mentawai melalui Program ACT.
“Untuk itu beli buku yang asli -jangan beli bajakanya”, “pintanya. – */DMS.