Oleh ; NESTOR RICO TAMBUN
Sejak pandemi Covid-19 melanda, hampir setiap pagi saya ke sini. Menyiram-nyiram tanaman atau mencabuti rumput sambil berjemur. Haha… tanamannya sih banyakan gagal. Tapi yang penting tidak bersemak.
Tanah seluas + 230 meter persegi ini saya beli ketika nilai dollar melejit dari Rp 2.000-an jadi Rp 14.000. Kami punya $ 2.500, sisa uang jajan putri saya ketika ikut rombongan kesenian ke AS. Tanah dalam gang, sekitar 100 meter dari rumah, saya jadikan kebun. Ditanami pisang, kacang panjang, jagung, terong, timbul, nangka, apa saja. Subur.
Sekitar 10 tahun, atap bagian depan rumah kami ambruk, karena kuda-kudanya dimakan rayap. Sehari-hari bagian depan rumah itu jadi tempat belajar anak-anak LSM Edukasi Dasar, sekolah gratis untuk anak-anak jalanan, keluarga pemulung dan kalangan tidak mampu, yang didirikan dan dikelola istri saya, Tien Suryantini.
Kelompok Pemuda GKI Pamulang yang melakukan bakti sosial ke Edukasi Dasar menawarkan membangun kembali bangunan ambruk itu. GKI Pamulang adalah gereja yang tidak bisa membangun gereja atau bangunan apapun, karena protes pihak aliran keras. Sampai Gur Dur turun tangan tidak berhasil. Mereka kebaktian di aula sekolah. Dana mereka banyak disumbangkan untuk amal.
Saya menolak tawaran itu. Tidak mau LSM jadi jalan untuk keuntungan sendiri. Saya menawarkan membangun kelas di kebun saya. Jadilah bangunan kelas seluas + 70 meter persegi ini.
Istri saya merintis Edukasi Dasar tahun 1993. Ia melihat banyak anak-anak usia sekolah berkeliaran, teriak-teriak omong kotor. Dekat rumah kami memang ada perkampungan pemulung, menempati tanah milik PJKA (kini jadi Dipo Kereta Api).
Istri saya memanggil anak-anak itu, mengajak ngobrol. Mereka memang tidak sekolah, meski usia sudah 8, bahkan 11 tahun, Istri saya menawarkan mengajari mereka baca tulis. Ada 8 orang yang mau. Hanya beberapa bulan mereka sudah pintar baca, tulis, dan berhitung.
Semua anak itu kemudian dimasukkan ke Madrasah dekat rumah. Uang sekolah mereka langsung dibayar setahun, agar mereka tidak berhenti. Waktu itu, selain jadi Koordinator Reporter dan Koresponden di majalah KARTINI, saya sudah menulis skenario.
Begitulah sekolah itu berjalan dari tahun ke tahun. Istri saya mempunya keahlian spesifik mengajar Calistung (Baca, Tulis, Berhitung). Setahun belajar di Edukasi Dasar, kemampuan Calistung-nya setingkat kelas 2 SD. Senang guru-guru SD dan Madrasah menerima murid Bu Desy, panggilan istri saya.
Makin tahun, murid makin banyak. Bisa sampai 40-50 anak. Maklum, masuk TK cukup mahal. Ada uang gedung, beli seragam, macam-macam. Di Edukasi Dasar, pakaian bebas, semua, buku, pinsil, gratis. Kadang makan bersama. Mungkin karena “mematikan” TK ini ada tuduhan miring, sekolah serba gratis ini upaya Kristenisasi. Sedih.
Tahun 2004, sekelompok mahasiswa UI yang menjadi relawan mengajar di Edukasi Dasar mengusahakan jawaban. Mereka membantu membuat Edukasi Dasar menjadi LSM berbadan hukum, dengan menyertakan tokoh masyarakat setempat jadi penasehat.
Sejak jadi LSM, kegitan Edukasi Dasar berkembang. Bekerja sama dengan PKBM terdekat, Edukasi Dasar memfasilitasi persamaan ijasah Paket A, B, dan C untuk anak-anak putus sekolah. Anak-anak yang putus sekolah kelas 2 SMP misalnya, bisa dapat ijazah paket C, dan bekerja sebagai Satpam atau pelayan toko.
Sejak beberapa tahun lalu, kegiatan Edukasi Dasar sudah menurun, karena istri saya makin tua dan kelelahan. Tidak ada regenerasi relawan guru. Sampai kemudian pandemi Covid-19 datang. Mei 2020, Edukasi Dasar melepas rombongan siswa terakhir masuk SD/Madrasah. Tahun ajaran baru tidak menerima murid lagi.
Edukasi Dasar mungkin tidak akan pernah kembali lagi. Oktober 2020 istri saya menjalani operasi kantong empedu. Sejak itu ia hanya di rumah. Tapi Januari 2021 ia terkena covid. Isolasi mandiri di rumah, butuh 2 bulan baru negatif. Dan belakangan ia mudah keracunan makanan.
Kalau duduk sendirian di halaman sekolahan ini, saya kadang terkenang anak-anak yang pernah belajar di Edukasi Dasar, Banyak di antara mereka yang sudah berkeluarga, dan anaknya kembali belajar di Edukasi Dasar.
Terkenang mahasiswa-mahasiswa UI yang membantu saat lagi banyak-banyaknya murid dan membuat LSM ini berbadan hukum. Kini mereka tersebar, ada yang jadi diplomat, manajer bank, pendidik, dan sebagainya. Sebagian masih rutin kontak. Tuhan memberkati mereka.
Kadang terbayang suasana pagi pagi di tempat ini. Ibu-ibu yang mengantar anak ramai ngoceh. Anak-anak memulai pelajaran dengan nyanyi bersemangat…
selamat pagi Bu, selamat pagi Pak
selamat pagi, kawan semua
mari gembira, mari gembira
kita sekolah di sini…
Suara itu mungkin tak akan terdengar lagi. Tidak lagi. Tapi biarlah waktu mencatat kenangannya sendiri….