Oleh Heryus Saputro Samhudi
Aktivis pro-lingkungan, Emmy Hafild wahat. Innalilahi wainna ilaihi rojiun. Kenangan saya pun melompat ke tahun 1980 almarhumah Nurul Army Hafild atau Emmy masih mahasiswa AGH/FAPERTA IPB Bogor, dan kami amprok di hutan Taman Nasional Ujung Kulon.
Almarhumah memang pencinta alam, pendiri kelompok Lawalata IPB, gemar menjelajah alam, keluar masuk hutan, naik gunung turun gunung, berlayar ke pulau-pulau terpencil Indonesia, mengenyam lebih dari 40tahun pengalaman dalam gerakan pro-lingkungan, sampai-sampai di tahun 1999 majalah Time menganugerahkan Emmy Hafild sebagai “Pahlawan Planet”.
Putri pegawai perkebunan ini lahir di Pertumbukan, kota kecil di Sumatera Utara pada 3 April 1958. Selepas SMA ia hijrah ke Jakarta dan kuliah di IPB Bogor, lulus S1 tahun 1982. Tahun itu pula dia aktif di SKEPHI (Sekretariat Kerjasama Konservasi Hutan), dan pada 1994 menerima beasiswa Fulbright untuk program Master of Science dalam Studi Lingkungan di University of Wisconsin.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) periode 1996 – 1999 serta Forum Lingkungan Hidup Indonesia dari tahun 1996 sampai 2001, ini juga (selama tiga tahun), co-founder dan Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia (TII), sebuah organisasi anti-korupsi yang berbasis di Jakarta.
Tahun 1998 saat masih di WALHI, dia terlibat dalam pembentukan gabungan LSM antikorupsi, dan tercatat pernah melawan Presiden Soeharto. Kiprah menantu dari HR Dharsono, Sekjen ASEAN pertama, ini mendapat perhatian dari AS dan menjadi orang asing pertama yang beraksi di depan Senat urusan dana bantuan luar negeri dan lingkungan.
Emmy pernah menjadi Direktur Ekselutif Greenpeace Asia Tenggara. Tapi memilih keluar di tahun 2015, karena “Saya kecewa dan marah dengan strategi constructive engagement Greenpeace dengan perusahaan besar (Sinar Mas, APRIL, APP dan WILMAR) yang terlibat dalam kebakaran lahan gambut, tulis Emmy Hafild di akun media sosialnya.
Namun kepeduliannya terhadap lingkungan tak pernah berhenti. Ia senantiasa mengajak semua pihak untuk peduli akan lingkungan sekitarnya. Jiwa perlawanannya terhadap ketidakadilan yang merugikan alam dan masyarakat, membuat dia rela mengorbankan posisinya di Greenpeace. Emmy kemudian dipercaya menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Komodo Kita
Tanggal 31 Desember 2000, saya jumpa almarhumah di lembah Sungai Citarik di Sukabumim saat operator jasa wisata Arus Liar menggelar Nigh Rafting. Kami bersama keluarga masing-masing, seide berperahu karet bareng sekitar seratus orang peserta lainnya, sama menyusur melintasi jeram-jeram Sungai Citarik dalam pekat malam.
Kemarin menjelang tengah malam, sedulur Seide.id Herman Wijaya alias Matt Bento mengabarkan bahwa Emmy Hafild telah pergi selamanya.
Semoga terang dan lapang kubur Emmy. Al-Fatihah. ***
04.07.21 . Pk 09:00 Wib.