Haji Galji Galbeh

Oleh SUSETYO JAUHAR ARIFIN

Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang pembatalan pemberangkatan haji Indonesia minggu lalu ibarat _cluster bomb_. Percikannya meletup susul menyusul, menyebar luas dan liar. Tentu banyak yang setuju tapi memilih diam. Karena mereka diam, maka tidak perlu dihitung di panggung pementasan suara publik.

Panggung itu praktis dipenuhi suara kritik hingga ejekan dan cemooh. Ada yang menilai pembatalan dikarenakan dana haji telah habis dipergunakan (baca: diselewengkan) pemerintah untuk hal lain sehingga tidak bisa membayar lagi untuk pemberangkatkan haji. Padahal persoalan pengelolaan dana haji bukan lagi otoritas Kementerian Agama sejak ada UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Ada pendapat bahwa penguasa Arab Saudi sengaja tidak mengundang Indonesia karena tidak menyukai kemesraan Indonesia dengan komunis China. Padahal Arab Saudi sendiri memiliki hubungan lebih manis dengan komunis China. Ada yang memberikan pandangan hal itu disebabkan Indonesia ngotot menggunakan vaksin Sinovac yang dibenci Barat dan tidak diakui Saudi. Padahal Arab saudi telah mengakomodir Sinovac. Ada pula yang tega mengunggah jumlah harta kekayaan Menteri Agama seakan itu relevan dengan topik haji.

Pandangan yang lebih moderat menganggap Menteri Agama telah terburu-buru menetapkan pembatalan pemberangkatan haji sebelum memastikan pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota haji. Ini masih mending dibandingkan analisis bahwa Indonesia sengaja tidak diberikan kuota haji, sementara ada 11 negara lain yang telah mendapatkan kuota haji. 

Pemerintah Arab Saudi, melalui duta besarnya di Indonesia telah meluruskan gagal paham ini, bahwa tidak benar Indonesia tidak mendapatkan kuota, dan bahwa 11 negara yang diperbolehkan masuk Saudi tidak terkait dengan kebijakan haji.  Pernyataan ini senada dengan statemen Menteri Agama bahwa hingga saat ini pihaknya belum diajak koordinasi oleh Arab Saudi terkait pelaksanaan ibadah haji 2021. Meski telah senada, ini masih tidak menyurutkan kritik deras pada pemerintah Indonesia, mengapa

Perluasan Politik Identitas Lokal

Beberapa waktu lalu publik di Indonesia turut terbelah oleh konflik Israel-Palestina. Sebagian kelewat semangat mendukung dan membantu Palestina. Sebagian yang lain mulai terang-terangan mendukung Israel demi untuk mengejek pihak pertama. Inti persoalan sesungguhnya bukan pada masalah Israel dan Palestina itu sendiri, nun jauh di sana. Mereka yang mendukung Israel lebih karena melihat kubu sebelah telah mendukung Palestina, yang penting bersikap beda. Intinya adalah ini perseteruan lokal yang diperluas ke segala arah dan front. Persoalan utamanya hanya soal cebong dan kampret yang belum juga selesai, kemudian Israel dan Palestina turut dibawa-bawa. Kali ini pun, dalam soal pembatalan pemberangkatan haji, perseteruan lokal kembali mencari jalan untuk tampil. 

Sudah hampir sepuluh tahun ini publik terus dibelah oleh isu-isu sosial dan politik. Seluruh isu intinya hanya satu: kamu pendukung pemerintah (baca: presiden) saat ini atau bukan? Jika iya maka namamu cebong, jika tidak maka julukanmu kampret. Apapun yang kamu lakukan dan dalam isu apapun kamu berbicara, kamu adalah tetap cebong atau kampret, tak lebih dan tak kurang. 

Politik identitas adalah cara termudah untuk membangun dinding pemisah di antara manusia, tak peduli dalam kenyataan keseharian mereka makan di warung yang sama, belanja di Indomaret yang sama. Bahkan mungkin indekost di rumah yang sama. Namun semua kesamaan itu disingkirkan demi mencuatkan perbedaan, sejauh apapun kepentingan mereka terhadap perbedaan itu. 

Perbedaan itu bahkan bisa ditarik jauh ke belakang hingga sebagian masyarakat percaya bahwa PKI masih ada dan siap beraksi. Walaupun seumur hidup mereka tidak pernah bertemu satupun anggota PKI. Pencapaian ini jauh lebih sukses dibandingkan kebijakan pemerintah Orde Baru yang mati-matian menyelenggarakan program berbiaya mahal untuk meyakinkan publik tentang adanya bahaya laten komunis. Semata-mata untuk membuat perbedaan semakin ekstrim jika hantu PKI dihidupkan kembali. PDIP dianggap penjelmaan PKI, bahkan NU turut dituding telah disusupi agen komunis. Semua yang terkait daratan China dianggap komunis meskipun negeri Panda itu telah banting tulang mengecap rezeki kapitalis. Barangkali jika LSI dan SMRC melakukan survey internasional akan menemukan data hanya di Indonesia dan Korea Utara yang masyarakatnya meyakini komunisme masih eksis dan penting. 

Reaksi setimpal pun terbentuk dalam judul kadrun, versi lebih radikal dari cebong. Semua yang berbau Arab dihajar tanpa pandang bulu, termasuk terhadap orang-orang yang hanya ingin mengamalkan ajaran agama tanpa nuansa politik. Demikianlah suara berbalas pantun di tengah era menguatnya politik identitas. 

Pada atmosfir itulah publik merespon pernyataan Menteri Agama. Mungkin akan ada yang menyerang Gus Menteri sebagai antek komunis dan kakaknya pro zionis, tak peduli beliau adalah putra ulama masyhur dan keponakan ulama-penyair yang terkenal zuhud. Apa saja bisa terjadi.

Galji Galbeh, Diplomasi Apa Ini?

Persoalan kuota haji sebenarnya bisa dilacak sejak 23 Mei 2021 ketika pemerintah Arab Saudi melalui jalur setengah resmi menyiarkan informasi bahwa kuota haji 2021 dibatasi sejumlah 60.000 jamaah, terdiri dari 15.000 orang jamaah dari Arab Saudi dan 45.000 sisanya untuk seluruh dunia. Meskipun demikian pernyataan ini tidak segera ditindaklanjuti secara resmi (official). Tidak ada pengumuman resmi dan tidak ada undangan koordinasi dengan negara lain, termasuk Indonesia. Malah yang beredar adalah informasi Saudi membuka pintu pada 11 negara yang ironisnya tidak termasuk Indonesia di dalamnya. 

Padahal kuota haji Indonesia sebelum Covid, tahun 2019, sudah mencapai 231.000 jamaah, terbesar di dunia. Untuk mengurus jamaah sebesar itu Kementerian Agama membutuhkan persiapan teknis yang memakan waktu. Biasanya sejak bulan Syawal sudah dimulai persiapannya. Telat dalam penyiapan dijamin akan berantakan dalam penyelenggaraan. Organisasi penyelenggara haji Indonesia telah berpengalaman menjadi Event Organizer raksasa yang menyelenggarakan drama kolosal, memindahkan hampir satu perempat juta manusia pergi-pulang dalam waktu kurang dari dua bulan. Pengalaman mereka puluhan tahun.

Maka Gus Menteri dan jajarannya membuat keputusan tegas pada 3 Juni 2021, bahwa ini sudah tidak masuk akal, tidak akan mampu dipenuhi. Mustahil menyiapkan haji ketika Pemerintah Saudi masih bungkam sementara Idul adha kurang dari 50 hari lagi. Lebih baik dibatalkan keseluruhan daripada menunggu yang belum pasti, telat, dan kemudian berantakan. Lebih praktis “Galji Galbeh”, gagal siji gagal kabeh. Solusi yang radikal.

Masalahnya, bagi banyak kalangan muslim urusan haji ini cukup sensitif. Jutaan muslim rela antri berangkat, ada yang harus menunggu hingga 30 tahun untuk dapat ke tanah suci. Sementara sebagian besar calon jamaah haji Indonesia adalah lansia yang telah menyelesaikan urusan duniawi mereka dan menyisakan satu urusan: haji. Kapan saja ajal dapat menjemput sebelum urusan terakhir ini ditunaikan. 

Sensitivitas ini nampaknya tidak mempengaruhi Gus Menteri ketika mengambil putusan tegas, batalkan semua!. Setiap pemimpin memang diuji kesanggupannya dalam mengambil risiko. Dan Gus Menteri telah mengambil risiko tersebut. Ia yang diberi tanggung jawab dan wewenang dalam hal ini. Jika ada kesalahan dalam pengambilan keputusan maka dialah yang harus menanggungnya. 

Namun di balik keputusan yang oleh sebagian kalangan dianggap terburu-buru tersebut, ada yang nampaknya bisa lebih dalam digali, sejauh apa Kementerian Agama telah merancang contingency plan dalam persoalan haji di tengah pandemi. 

Pertama, aspek pandemi Covid-19 yang mengganggu ibadah haji bukanlah yang pertama terjadi. Tahun 2020 ibadah haji hanya dikhususkan untuk warga Arab Saudi, semua karena pandemi. Dengan belum normalnya situasi hingga saat ini, semua pihak, baik Arab Saudi, maupun Indonesia, sadar sepenuhnya bahwa ibadah haji tahun 2021 tidak akan berlangsung normal. Harapan bisa mengirim armada penuh 231.000 jemaah haji tahun 2021 adalah mimpi di siang bolong. Pernyataan setengah resmi menteri kesehatan Arab saudi bahwa kuota haji keseluruhan hanya 60.000 orang telah menegaskan hal tersebut.

Kedua, apa contingency plan Indonesia menyikapi kemungkinan pembatasan kuota? Kementerian Agama telah menjelaskan memiliki beberapa rencana bila kuota haji dipotong separuh, seperempat, seperlima, sepersepuluh, hingga seperduapuluh (5%) dari kuota awal. Tetapi apakah rencana itu dijalankan dengan benar karena pernyataan menteri agama tanggal 3 Juni sama sekali tidak menyiratkan hal tersebut. Penjelasan bahwa seandainya kuota Indonesia tinggal 5% sekalipun (sekitar 10.000 jemaah) tetap membutuhkan waktu persiapan sekurangnya 45 hari justru menegaskan ketiadaan contingency plan. Ibaratnya, penyelenggara haji Indonesia adalah bus besar yang tidak mampu membuat terobosan canggih ketika hanya dijatah kuota sepeda motor. Persiapan untuk contingency plan pun tidak nampak, misalnya sosialisasi tatacara “penyeleksian jemaah”, termasuk dalam hal vaksin yang diketati oleh Arab Saudi. Vaksin untuk calon jemaah haji tidak termasuk dalam kebijakan vaksin nasional.

Ketiga, soal negoisasi atau bargaining position terhadap Arab Saudi. Dari satu sudut pandang sesungguhnya kebijakan pembatalan pemberangkatan haji Indonesia sebelum Arab Saudi mengumumkan kebijakan kuotanya dapat dimaknai sebagai “serangan” atau “tekanan” terhadap Arab Saudi. Indonesia adalah negara dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia, bukan saja saat ini, tapi sejak negeri ini belum bernama Indonesia (Hindia Belanda). Secara etis Indonesia adalah negara pertama yang seharusnya diajak koordinasi Arab Saudi dalam penetapan kebijakan haji. Faktanya, hingga keputusan dikeluarkan Menag, Arab Saudi tetap bungkam terhadap Indonesia. Kesan yang nampak adalah keberadaan kita tak terlalu dianggap, bukan hanya saat ini, tapi sejak dulu. Pada sudut pandang yang lain nampaknya negoisasi kita cukup lemah. Terbukti tidak ada terobosan langkah ketika Arab Saudi membuat pengumuman setengah resmi tanggal 23 Mei. Bila ada terobosan dalam negoisasi maka pada tanggal 24 atau 25 Mei Kementerian Agama semestinya telah memiliki pedoman bagaimana menyelenggarakan haji Indonesia di tahun 2021. 

Kecuali semua pejabat Kemenag memang telah kehilangan sensivitasnya?***

*Susetyo Jauhar Arifin adalah Aktivis dan Pengamat Sosial

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara