Hari-hariku Bersama WS Rendra (3)

Sebagaimana Dikisahkan Iwan Burnani pada sahabatnya

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

TAHUN 2009. Kami kedatangan Panda Nababan,  anggota DPR dari PDIP menemui Mas Wlly dan aku pas mendamping karena kebetulan lagi ada di rumahnya di Cipayung. Bang Panda meminta Mas Willy untuk baca sajak untuk launching buku Taufik Kiemas. Ternyata, Mas Willy menolak tawaran itu. Alasannya, “malas ketemu Megawati”.

Keesokan harinya Bang Panda telepon aku, dia bilang, “ “Wan tolong bujuk Mas Willy”.  

Kupenuhi permintaannya, bicara sama Mas Willy. “Mas kenapa mas Willy menolak dengan alasan seperti itu? Pekerjaan mas Willy itu seniman yang membuat puisi dan dibacakan. Itu juga sumber keuangan Mas Willy, selama ini ? Kita harus pisahkanlah dengan politik”.

Lama dia mikir, aku bicara lagi. “Sekarang Mas Willy butuh uang untuk berobat mata ‘kan? Ya, sudah kerjakan saja, secara profesonal sebagai seniman”.

Lama dia nampak berpikir, sampai akhirnya, dia menjawab “Oke, tapi aku tetap mempertahankan honor aku sebagai seniman tetap dihargai yang tinggi, “ tukasnya.

“Oke Mas, nanti aku bicarakan sama Bang Panda” kata saya lega.

“Adalagi,  Wan. Nanti di tempat acara aku nggak mau duduk sama Megawati atau Taufik Kiemas, “ pesannya.

“Oke Mas, “ sambutku mantap.

Begitu hari H tiba, aku sama Mas Willy berangkat ke DPR dengan mobil VW kodok tuaku,  menuju DPR RI. Sampai di DPR menuju Ruang Nusantara – entah Nusantara yang berapa, aku lupa. Begitu masuk panitia menyambut dan menyuruh Mas Willy duduk di depan bersam Mega dan Taufik, Mas Willy menolak dan mengajak aku duduk bersama undangan yang lain ditengah-tengah.

Begitu selesai baca sajak salaman sama Taufik Kiemas, lalu langsung keluar gedung dan bang Panda mengikuti, lalu kami diajak keruangannya dan masWilly langsung dikasih honor. Lumaayan cukup besar dan bisa berobat mata dan makan-makan .

Dari kompleks DPR RI, kami menuju kantor Kementrian Parawisata ketemu mentri Jero Wacik.   Agenda pertemuan itu untuk membuat pementasan besar yaitu Kantata Samudra di panggung terapung di pantai Ancol dengan latar belakang laut. Deal.

Dalam perjalanan pulang di mobil mas Willy bilang,  “Wan, kamu nggak bisa pulang ke Cibubur karena banyak yang harus kita kerjakan. Aku minta kamu jadi asisten sutradara pertunjukan, ” katanya penuh semangat.

Terus aku tanya, kita harus mengumpulan Iwan Fals, Sawung Jabo dan mas Setiawan Jodi, Mas? Mas Willy menjawab, “Nggak! Aku mau ganti pemainya yang masih muda-muda. Tapi untuk yang nyanyi, kamu punya pandangan siapa?

Aku bilang, “Giring Niji”

“Siapa itu, Wan? “ tanyanya.  

“Dia penyanyi dn punya group band namany Niji, itu Mas yg ketemu kita di Mall Pondok Indah dan dia nyamperin mas Willy.”

“Ooh ya, ya. Aku ingat. Boleh itu. Kalau yang perempuan siapa, Wan? “

“Dewi Persik” jawabku.

“Sopo meneh iku Wan?”

“Penyanyi dangdut Mas

“Oooh penyanyi yang pernah ke Prancis itu, ya?” tanyanya.

“Bukan. Itu Anggun C sasmi dan aku kenal baik  sama orang tuanya”.

Obrolan penuh semangat itu pun stop lantaran kami sudah sampai rumah. Malam harinya, kami bicara program yang lain, pembuatan film tentang dokter di Papua. Mas Willy bilang kita sudah dapat investor, tapi kamu harus buat film yang benar-benar film.

“Maksud Mas Willy film yg benar itu gaimana mas ? ” tanyaku.

“Yang benar itu jangan pakai camera video shotingnya benar2 pakai camera film.

“Itu biayanya mahal, Mas, ” sergahku.

Gagasan Willy WS Rendra untuk membuat film layar lebar dan pertunjukan besar ‘Yacuba’ tak terujud hingga akhir hayatnya. Iwan Burnani di tengah kru film Falcon. (foto dok FB-Iwan Burnani)

“He, Wan, buat film itu memang mahal. Kamu tahu film ini nanti aku bawa buat festival di Eropa. Kamu juga harus didamping seorang supervisi. Soal dana kamu nggak usah mikirkan. Kamu bikin saja anggaran produksi sampai pasca produksi”. katanya. “Selain film, kita juga akan menyiapkan pertujukan tuk keliling Eropa, “ tambahnya.

“Judunya apa Mas? “

“Yacuba dari naskah Yunani. Besok kamu bereskan rumah batu untuk jadi kantor kita,” pesannya.

“Oke Mas siap “

“Juga kita harus cari yang bisa membantu kamu , “ tambahnya.

Mulai sejak itu aku sudah tidak pulang ke Cibubur karena rumah Batu ada kamar dan aku sekeluarga pernah menempati rumah Batu.

SAMPAI di satu hari, tiba-tiba Mas Willy sakit dan harus menambah ring jantungnya. Dia dibawa ke RS di Cinere. Setelah pemasangan ring dan Mas Wwilly sudah sehat boleh pulang dan selang beberapa hari, Mas menyatakan, mau ke Jogya.

“Lho Mas, M Willy selama dua bulan nggak boleh naik pesawat, hubungan sex dan….”

 “Wan, yang menentukan hidupdn mati itu Gusti Allah, “ potongnya. “Jadi besok aku bernagkat dan kamu urus semua persiapan dengan Arifin”.

“Lho Arifin nggak ikut mendampinggi mas wily? Dia menggeleng, “Aku sendiri aja, “ jawabnya.

 Setelah beberapa hari di Jogya dan pulang-pulang Mas Willy mengalami anval dan merasa kesakitan di bagian dadanya. Saat itu, yang di rumah hanya istriku, Lily Suardi, sedangkan Mbak Ken Zuarida berobat juga. Akhirnya Mas Willy dibawa sama istriku ke RS Cinere. Kata istriku “nggak tega lihat mas willy kesakitan di mobil”.

Kemudian istri telp aku yg sedang di jalan tuk program cantata, mendapat kabar itu aku sama Arifin langsung ke Cinere dan melihat mas Willy sudah di tangani di ruang IGD.

Waktu itu aku masih merokok berat dan aku bilang sama Arifin aku keluar dl mau merokok sambal ngantar istri ke parkiran. Belum lama merokok Arifin menyusul aku dn bilang mas Willy marah-marah. Mas Willy nggak mau cuci darah, “ katanya.

Saat aku masuk mas willy menjelaskan, kalau harus cuci darah, maunya di Singapura, atau telp Suhu. Mas , tenang nanti aku ketemu dokter dulu. Lalu aku temui dokter, kalau ada apa-apa jangan dulu disampaikan ke Rendra dan apa benar harus cuci darah?

“Ya kita lihat nanti, “ kata dokternya.

Aku Kembali menemui Mas Willy dan aku bilang, “belum tentu cuci darah, Mas”.

Setelah itu mbak Ida dan Clara Shinta, putrinya,  datang dan kami berunding. Terutama untuk biaya kalau cuci darah. Apalagi Mas Willy maunya di Singapura. Trus aku ada ide. Bagaimana kalau telepon Ibu Siti Fadilah, Menteri Kesehatan ? Karena dia pernah ikut diskusi di Cipayung dan Mbak Ida ‘kan punya kontaknya.

Lalu mbak Ida telp ibu Menteri dan lansung di tanggapi, “WS Rendra itu milik negara” karenanya untuk sakitnya, Mas Willy WS Rendra akan ditanggung oleh negara.  Menkes minta agar Mas Willy dibawa ke RS Harapan Kita dengan tanpa biaya sambil menjanjikan akan memberikan profesor  ahli jantung dan dokter ahli ginjal.

Kami pun lansung membawa Mas Willy ke Harapan Kita dan benar Mas Willy mendapat ruangan VVIP,  setril dan tak ada yang tidur di situ.

Masalahnya adalah,  Mas Willy itu manja kalau sedang sakit . Dia minta anak-anaknya menemani tidur. Sampai diketahui perawat dan mendapat teguran. Mas willy tak suka dan tidak betah betah lalu minta pindah. Tapi aku dan mbak Ida nggak setuju. Sayangnya  anak-anak punya hak untuk itu. Kepindahan itu membawa hal yg tak bisa diceritakan . Aku pun setiap hari ke RS mitra keluarga di Kelapa Gading. (Bersambung)

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.