Anak muda saling melayani sebagai upaya healing yan lebih tepat. ( Foto: Selisip)
Tidak percaya? Tanyakan saja orang-orang di sekitarmu, terutama anak-anak muda. Pasti jawabannya hampir seragam semua; butuh… healing. Healing? Iyaaa, dengan enteng dan anteng kata bahasa Inggris itu keluar dari mulut mereka. Merajalela di mana-mana, “Gue perlu healing, nih!”
Haiya, apa dan bagaimana sih, asal muasal si healing ini berkeliling-keliling sampai bikin pusing? Sedikit-sedikit butuh healing. Habis belajar sebentar, kepala serasa kejedot. Bahkan, separuh pekerjaan belum beres pun,sudah teriak,”healing,yuuk!”
Merasa dirinya dibebani sesuatu sehingga butuh penyegaran segera. Paling gampang, ya, makan enak atawa traveling. Belum lagi merasa insecure. Apa kata orang dan membandingkan diri dengan orang lain sudah menjadi makanan sehari-hari.Begitukah healing yang dimaknai generasi zaman now?
Apalagi dengan mudahnya informasi didapatkan, termasuk urusan medis yang menyangkut kejiwaan mental. Buka google, jreng… keluar tuh berjibun ramalan, termasuk diagnosa para dokter.
Dan, buntutnya setiap orang pun merasa mampu mendiagnosis dirinya sendiri. Misalkan, setelah menjawab tes yang diajukan… 1,2,10…”Yah, kayaknya persis sama nih semua yang gua rasakan!” Menangis tiba-tiba nggak karuan juntrungan, kepengin bundir (bunuh diri, red.) Oalaaa, kejamnya duniaaa!
Fix. Gue kena penyakit kejiwaan! Ane butuh healing sesegera mungkin!
Eit,eit,tunggu dulu!
Benarkah istilah yang dipakai; penyakit kejiwaan ini sudah tepat? Padahal,’kan…belum tentu!
Wong ndak pernah konsultasi sama dokter spesialis ahlinya,kok berani nekad sih, bilang situ kena penyakit kejiwaan?
Jika ada yang harus dibenahi di diri bukan berarti terkena yang namanya ‘penyakit’. Saya lebih sregberpedoman
kepada hasil riset, bahwa kita tak bisa tutup mata jika ternyata ; satu dari 10 anak muda di negeri ini memang punya masalah dengan kesehatan mental! Dan, itu biasanya dikarenakan pola hidup atau gaya hidup sehari-hari yang tak seimbang.
Lha, iya. Coba lihat gaya hidup mereka. Insomnia alias jam tidur yang terbalik kayak kalong, makanan junk food, belum lagi main games kelewat batas. Pekerjaan sebagai youtuber yang perlu extra keras ngedit, etc. Belum lagi kompetisi di sekolah maupun dunia kerja di era teknologi digital yang semakin cadas saja.
Buntutnya ya, itu tadi; butuh sangat healing! Karena emosi jiwa mudah kesundut amarah, temperamental nyemprot sumpah serapah perikebinatangan keluar dah dari mulut. Termasuk prilaku spontan lainnya: demo sana-sini tanpa betul-betul memahami jelas apa tujuan yang didemokan. Lalu, bukan tidak mungkin berakhir kepada kekerasan baku hantam yang memakan korban. Wah!
Jadi jelaslah, diperlukan terapi jiwa yang lebih dari sekadar healing traveling dan makan enak saja. Support system dari keluarga, masyarakat, dan tentu saja pemerintah dibutuhkan. Lebih banyak lagi didirikan Klinik Pemulihan Mental yang didukung para ahli medis psikolog dan psikiater mumpuni, misalnya. Atau pemberdayaan pendidikan kesehatan jiwa lainnya sedari usia dini di bangku sekolah, terutama keluarga.
Sungguh, saya berharap pendampingan para remaja sebagai kawula muda itu tidak bisa diabaikan atau dianggap remeh begitu saja. Karena, bukankah mereka sejatinya adalah generasi Z, bahkan generasi alpha yang kita harapkan sebagai aset bangsa. Penerus tongkat kepemimpinan negeri tercinta ini di masa depan?
Padahal, tidak dapat disangkal pula, semakin banyak kecenderungan di kawula muda yang sakingmengutamakan logika, justru dengan bangga mengakui dirinya agnostik, bahkan atheis?
Nah, bagaimana mungkin tidak terjadi lonjakan orang-orang muda yang butuh healing di sekeliling. Wong, mereka sendiri tidak punya keyakinan menyerahkan hal-hal yang tidak bisa mereka kontrol di luar diri mereka kepada Yang Maha Esa sebagai kekuatan yang mahatinggi.
Ya, sedangkan jika mau rendah hati
dikaji lebih jauh bukankah doa dan melayani juga bagian utamanya dari healing?
Dalam doa kita harus mau belajar mengesampingkan ego dan menyampirkan hal-hal di luar kuasa kita sebagai manusia kepada-Nya, Sang Pencipta . Lalu, berserah diri melakukan dalam upaya tindakan, syukur-syukur bersedia setia melayani sesama sebagai bagian utamanya dari healing yang sejati.
Membagikan kebahagiaan kepada orang lain, sesungguhnya diri sendiri pun kena imbas yang positif vibes. Kita menjadi sama berbahagianya tanpa terkecuali….
Saya berani meyakini, itulah healing paling sejati. Kembali kepada diri kita sendiri secara sadar diri. Tahudiri. Tahu malu. Sadar, sadar, sadar. Mau berkarya dan bekerja keras, termasuk ya, ituuu…mau rendahhati melayani orang lain. Bukan hanya memikirkan kepentingan diri semata.
Pe-er-nya, bagaimana kawula muda di sekeliling mau dan rela bersedia ikut ambil bagian di dalam jenis healing seperti ini? Support system di masyarakat, keluarga, termasuk diri sendiri –elaborasi setangguh apakah yang mereka punya…?
Tanpa kesadaran moral publik yang mau gotong-royong saling bekerja sama di luar hasrat menghakimi, hmm… sebatas mana batas upaya toleransi itu bisa tertanggulangi?
Wallahualam… .