HUMOR PASUTRI: Diet Baju Tidur Merah Jambu

Merah jambu

Oleh HARRY TJAHJONO

PAGI itu Remon khusus menemui saya untuk menyampaikan keluhan istrinya. “Sebaiknya kamu berhenti menulis Humor Pasutri. Istri saya keberatan. Istri saya jengkel dan tidak nyaman baca leluconmu yang dianggapnya bisa merusak hubungan harmonis suami istri. Saya sendiri sebetulnya juga rish,” katanya serius.

“Istri saya sebetulnya juga keberatan….”

“Itu dia! Gara-gara tulisanmu yang sering membeberkan kecurangan dan kebohongan suami, bikin respek istri terhadap saya jadi berkurang. Sandra, istri saya, juga bilang bahwa tulisan-tulisanmu bisa membuat rumahtangga berantakan. Bisa membangkitkan rasa curiga, merusak kerukunan dan kepercayaan antara suami-istri. Pendeknya, Sandra menganggap tulisanmu itu tidak mendidik,” lanjut Remon.

“Saya minta maaf. Saya janji….”

“Kamu sudah sering berjanji, tapi tak pernah menepati!”

Saya terdiam.

“Nggak usah janji. Cukuplah kalau kamu berhenti menulis. Anggap saja surat ijin menulismu dibreidel. Carilah pekerjaan lain,” lanjut Remon lugas.

Saya mengangguk. Tapi, saya melihat rasa tidak bahagia tersembunyi di dalam bola matanya. Dugaan saya benar. Sesaat kemudian Remon mengungkapkan keluhan tentang istrinya.

“Sandra pernah bilang pada saya, bahwa di dalam hal hubungan intim, ia jarang sekali memperoleh kepuasan. Ia mengatakan itu dengan tujuan baik. Supaya saya mengetahui dan mencari jalan keluarnya. Meski tahu maksudnya baik, keterusterangannya itu tetap membuat saya kaget. Saya khawatir hubungan intim yang tidak beres itu akan berakibat buruk terhadap keutuhan dan kebahagian rumah tangga kami,” kata Remon.

“Ya. Hubungan intim yang saling memuaskan, memang akan mempererat tali perkawinan. Begitu juga sebaliknya.”

“Selain khawatir, apa yang dikatakan Sandra itu membuat saya was-was. Jangan-jangan usia tua telah menggerogoti keperkasaan saya.
Pada hal saya sering minum jamu, lho.…”

“Kepuasan hubungan intim, sebetulnya, bisa diciptakan tanpa perlu melipatgandakan keperkasaan dengan jamu atau telor madu,” kata saya, yang melihat adanya peluang untuk menebus kesalahan karena telah membuat rumahtangga Remon terguncang tulisan-tulisan saya.

Mendengar itu, Remon menatap saya. Ada keraguan sekaligus harapan yang memancar dari bola matanya.

“Sekalipun perkasa, belum tentu kamu dapat memuaskan istrimu. Yang jauh lebih penting dari soal keperkasaan, adalah bagaimana kamu dapat menangkap sinyal-sinyal sensual yang diisyaratkan istri,” kata saya lagi.

“Maksudmu?”

“Begini. Dorongan untuk melakukan hubungan intim, pada pria dan wanita itu berbeda. Pria, kapan dan di mana saja dapat terdorong untuk melakukan hubungan intim. Bisa secara instan, begitulah. Sedangkan pada wanita, dorongan itu tidak bisa muncul begitu saja. Meski dibangkitkan. Itu pun tidak selalu berhasil. Itulah gunanya cumbu rayu, romantisme dan semacamnya. Namun, dorongan seksual itu secara berkala muncul secara alamiah. Nah, pada saat dorongan itu muncul, ada sinyal-sinyal sensual yang terpancar dari dalam dirinya. Celakanya, kebanyakan suami sering tidak dapat menangkap sinyal itu. Artinya, saat istri membutuhkan hubungan intim, suami justru tidur. Sedangkan disaat istri sedang tidak bergairah, suami ngotot minta dilayani. Hal-hal seperti itulah yang membuat hubungan intim menjadi hambar, dingin dan mengecewakan….”

“Sinyal sensual?”

“Ah, itu cuma istilah saja. Tak ada di kamus. Sekadar istilah saja. Bisa juga disebut isyarat.”

“Ya. Kamu mesti maklum bahwa wanita, istri, sering tidak bisa berterus terang lewat kata-kata. Rasa malu, sering membuat wanita sulit berterus terang. Apalagi soal seks. Biasanya, wanita memilih mengungkapkan hasrat seksualnya melalui sinyal-sinyal, lewat isyarat-isyarat, lambang-lambang, simbol-simbol. Nah, jika kita masuk tepat pada saat sinyal itu berdenyar, semuanya akan beres tanpa harus minum jamu atau menelan telor madu.”

“Tapi, bagaimana caranya agar dapat menangkap dan memahami sinyal-sinyal itu?” tanya Remon ragu.

“Perlu waktu, butuh pengamatan, perlu kesediaan untuk mencermati dan mempelajari kebiasaan-kebiasaan istri. Pendeknya, dibutuhkan sikap dan ketekunan seperti ilmuwan yang mempelajari dan memahami gejala alam.”

“Repot, dan sulit….”

“Memang tidak mudah. Tapi, ada jalan pintas yang cepat dan mudah.”

“Apa itu?”

“Mengkomunikasikan secara langsung. Artinya, jelaskan pada istri soal keinginanmu masuk pada saat yang tepat. Untuk itu, kamu bisa minta istrimu memperjelas sinyal dengan hal-hal yang lebih mudah kamu kenali. Misalnya, belikanlah parfum, dan mintalah istrimu agar memakai parfum itu hanya pada saat ia ingin berhubungan intim denganmu. Jadi, kalau suatu malam kamu mencium bau parfum pada tubuh istrimu, itu artinya….”

“Ide yang bagus!” tukas Remon, menjabat erat tangan saya.

SEBULAN kemudian, Remon kembali menemui saya. Tubuhnya tampak lebih langsing dari sebelumnya. Mungkin diet. Pasti diet.

“Bagaimana? Istrimu kamu belikan parfum merk apa?”

Remon menggeleng. “Bukan parfum. Saya belikan baju tidur warna merah jambu,” sahutnya pelan.

“Hm…, boleh juga. Memang tidak harus parfum. Baju tidur dengan warna khusus juga ide yang bagus. Yang penting hasilnya oke, ‘kan!”

“Ya…, Sandra menyatakan kepuasannya. Tak lagi mengeluh.”

“Syukurlah. Akhirnya saya bisa menulis sesuatu yang bermanfaat,” kata saya dengan lega.

“Ya. Sandra juga bilang begitu. Katanya, idemu hebat. Bahkan dua minggu yang lalu, Sandra memutuskan untuk membeli enam buah baju tidur serupa yang saya belikan. Supaya setiap malam ia bisa memakai baju tidur warna merah jambu. Saya jadi anu, deh….”

Kuping saya mendadak berdenging. Enam buah baju tidur merah jambu? Buset juga itu. Saya menatap Remon yang pantas saja tambah langsing. *

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara