SOAL kesetiaan, dalam rumah tangga siapapun, tentu mendapat tempat paling penting. “Kaum laki-lai, terutama, paling getol menuntut agar istrinya setia mutlak hanya kepada suami. Sedangkan kaum istri, dalam hal menuntut kesetiaan suaminya, cenderung lebih longgar, lebih toleran,” kata Mas Moncos, lelaki setengah baya yang tampak sakit-sakitan tapi di lingkungan teman sekantor dikenal sebagai playboy.
Menurut Mas Moncos, adanya perbedaan tuntutan setia dianatara suami dan istri itu dikarenakan. “Pola pikir kaum wanita terlanjur terbentuk oleh pendapat umum yang menganggap wajar jika ada suami yang menyeleweng.Jadi, penyelewengan yang dilakukan suami lebih bisa diterima istri sebagai hal yang wajar, karena secara turun-temurun orang juga berpendapat demikian. Biasanya ditambahi embel-embel: asal tidak langsung di depan mata istri, tak apalah.”
“Malah banyak yang berpendapat bahwa, di rumah Mas-ku emang suamiku, tapi di luar rumah siapa yang tahu kalau Mas-ku itu suamiku?” tambah Bang Koming.
“Jadi, suami yang menyeleweng itu sebetulnya memang wajar to?” tanya saya memperbodoh diri.
“Bukannya wajar, tapi oleh masyarakat dianggap wajar. Sedangkan jika ada istri menyeleweng, wah…, dunia bakalan heboh, deh!” sahut Boypung menukas.
“Hebohnya?” tanya saya kembali memperbodoh diri.
“Ya heboh…, karena pendapat umum terlanjur memvonis bahwa peyelewengan yang dilakukan istri itu dianggap tidak wajar, hina, terkutuk!” tegas Mas Moncos.
Saya terdiam, merasa bodoh atau barangkali dalam soal demikian itu saya memang benar-benar bego. Ketika kemudian topik pembicaraan beralih pada bagaimana caranya agar bisa menyeleweng tanpa diketahui istri, saya jadi merasa tambah goblok.
“Memangnya kalau situ habis nyeleweng, istri ndak curiga?” tanya saya pada Boypung yang baru saja mengungkapkan affair-nya dengan beberapa cewek.
“Curiga kenapa? Yang penting kita tetap berlaku wajar. Pulang ke rumah, biasa-biasa saja. Nggak usah bawa oleh-oleh, karena justru akan dianggap aneh. Biasa pulang kantor nggak pernah bawa oleh-oleh kok tiba-tiba bawa, kan istri jadi curiga,” jelas Boypung.
“Kalau saya sih cuek saja,” sahut Bang Koming.
“Cuek bagaimana?” tanya saya.
“Ya cuek. Kalau misalnya istri curiga, banyak tanya, saya diemin saja. Lama-lama kan capek sendiri,” jawab Bang Koming acuh tak acuh.
“Apa kuping Abang nggak berisik?” desak saya—mengingat kalau istri saya marah-marah dan mengomel, telinga saya rasanya seperti kemasukan kereta api.
“Sebetulnya sih berisik. Tapi, kalau istrimu ngomel, biarkanlah alam pikiranmu terbang bebas ke langit angan-angan. Saya sendiri, kalau istri ngomel, selalu memejamkan mata sambil membayangkan kenangan saat affair dengan si Anu, mislnya….,” kata Bang Koming senyum lebar.
“Kalau Mas Moncos bagaimana?” tanya saya, terdorong ingin menimba pengalaman dari sesama suami.
“Saya? Ah.., istri saya nggak pernah yakin kalau saya mampu selingkuh,” sahut Mas Moncos santai.
“Oya? Kalau begitu…., istri Mas sudah percaya seratus persen pada Mas, dong?
“Enggak juga…”
“Buktinya, istri Mas nggak pernah curiga, nggak pernah percaya kalau Mas bisa nyeleweng. Padahal, setahu saya…, Mas kan punya banyak pacar….”
“Dukunnya Mas Moncos itu kuat! Makanya istrinya tunduk,” sergah Bang Koming tertawa lebar.
Iya, Mas? Pakai dukun??” tanya saya menegaskan.
Mas Moncos menggeleng.
“Lalu bagaimana cara Mas menyakinkan istri bahwa Mas setia, nggak pernah nyeleweng….”
“Cukup dengan akting,” jawab Mas Moncos singkat.
“Akting bagaimana?”
“Wah…, kamu ini kok kayak intel saja sih? Kamu ini bertanya atau menginterogasi?” ucap Mas Moncos balik mengusut.
Saya tergagap, mencoba tersenyum tapi gagal. Wajah saya tiba-tiba terasa panas. Perasaan malu dan jengah mendadak bergumul dalam rongga dada.
“Kamu ini banyak tanya maksudmu mau apa? Mau belajar membohongi istri? Iya? Apa kamu juga berminat nyeleweng? Apa sekarang ini kamu ada affair? Sudah bosan sama istri?’
Serbuan pertanyaan Mas Moncos yang memberondong bak senapan mesin itu, membuat saya semakin merasa terpojok. Tapi, rasa ingin tahu saya perihal kiat mas Moncos menutupi perilaku playboy-nya di mata istri, membuat saya nekat.
“Sekarang ini memang saya belum ada minat bikin affair. Tapi, siapa tahu.…”
“Oke. Kalau kamu memang ingin tahu, akan saya jelaskan.”
Saya menatap Mas Moncos.
“Begini. Kamu kan tahu, secara fisik, saya ini kan kelihatan sakit-saitan. Badan kurus, usia di atas kepala empat, wajah pucat dan sehari-hari tampak loyo. Iya kan?”
Saya mengangguk.
“Nah…, kondisi fisik saya ini sangat menolong akting saya untuk memerankan tokoh suami setia. Di depan istri, saya cuma tinggal memperburuk penampilan saja. Artinya, semakin meloyokan diri. Kalau misalnya diajak berhubungan intim, ya mau…, tapi disertai sedikit keluhan…, bahwa semakin tua rasanya tenaga saya jadi makin rapuh. Dengan begitu, istri saya jadi berkesimpulan bahwa kondisi tubuh saya memang benar-benar rapuh. Tuntutan di rumah saja tak selama terpenuhi dengan baik, mana mungkin bisa melakukannya di luar rumah. Logikanya begitu, kan? Jadi, berkat kondisi fisik dan penampilan ditambah sedikit akting, istri saya yakin saya benar-benar loyo. Padahal…, di luar rumah… kamu tahu sendiri kan? Ha ha ha….”
Saya termangu. Perlahan saya menengok diri sendiri. Umur saya juga di atas 40 tahun. Badan saya juga terbilang kurus. Mungkin, hanya diperlukan begadang dua tiga hari agar wajah saya tampak kuyu, kelhatan loyo…., dan kemudian melakukan suatu affair secara mulus tanpa dapat dideteksi istri.
Namun, tiba-tiba saya tersentak. Benarkah hanya kaum suami saja yang punya kiat mengelabui istri? Memikirkan kemungkinan bahwa kaum istri juga punya cara menutupi jejak ketidak-setiaannya, saya jadi bergidik ngeri. Niat untuk menyeleweng pun tiba-tiba hilang. Setidaknya, dalam waktu dekat ini, masih akan tetap memilih tetap setia pada istri. Entahlah nanti…. *Harry Tjahjono