Humor Pasutri: Pameran Istri Pamer

SEBETULNYA saya tak pernah ingin membicarakan masalah rumah tangga dengan teman kantor. Saya paham, memperbincangkan soal rumah tangga atau perilaku istri dengan seorang sahabat sekalipun, sama halnya dengan membeberkan aib sendiri. Ibarat kata pepatah: menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri.

            Namun, bagaimanapun saya hanyalah manusia biasa. Yang bisa lupa, khilaf dan cenderung mengabaikan nasihat yang sudah dikemas dalam pepatah. Itulah yang terjadi pagi itu, di kantor, saat berdua dengan Dirohadi dan hampir tanpa sengaja saya mengeluh soal istri.

            “Ini untuk yang kelima kalinya istri saya minta dibelikan gelang,” kata saya mengawali keluhan.

            “Gelang emas?” kata Dirohadi menegaskan.

            “Tentu saja gelang emas, dong. Padahal..”

            “Padahal kamu lagi nggak punya duit. Obyekan lagi sepi,” tukas Dirohadi menebak.

            “Ya…, kamu ‘kan tahu sendiri…, padahal.…”

           “Padahal dengan empat jenis gelang yang sudah dimilki istrimu, kamu merasa….”
            “Ya…, merasa sudah berlebihan. Kalau satu jenis gelang saja beratnya 25 gram, maka berat empat jenis gelang itu ‘kan mencapai satu ons. Kalau satu gramnya dua puluh ribu, satu ons ‘kan sudah bernilai dua juta rupiah,” sahut sya ganti menukas.

            Dirohadi manggut-manggut. “Lalu, apa yang kamu keluhkan? Bukankah kalau kamu belikan satu jenis gelang lagi, berarti tabunganmu dalam bentuk emas menjadi lebh banyak?” tanya Dirohadi.

            Saya menarik napas dalam-dalam. Dirohadi mengangkat tangan, menyingsingkan lengan baju dan menjenguk alroji.

            “Kamu ada janji?” kata saya.

            Dirohadi menggeleng. “Nggak. Cuma janji menelepon istri saja, kok,” katanya santai.

            Saya kembali menarik napas dalam-dalam.

            “Terus, kenapa kamu bukannya malah senang punya tabungan lebih banyak dalam bentuk emas?” tanya Dirohadi.

            “Ah…, kamu nggak tahu, sih…, begitu beli gelang baru…, itu berarti istri saya harus beli baju baru, tas baru, sepatu baru, bahkan jepit rambut baru…, yang kesemuanya itu harus dibeli agar sesuai dan serasi dengan gelang baru.

            “Ooo….”

            “Nah, kalau soal beli gelang lagi sih nggak apa-apa. Hitung-hitung menabung. Tapi kalau kemudian juga harus membeli macam-macam benda yang kalau sudah rusak cuma jadi sampah, namanya ‘kan pemborosan. Iya nggak?” kata saya mencari dukungan.

            Dirohadi manggut-manggut, lalu menjenguk alroji. “Pinjam teleponnya sebentar ya?” katanya sambil menjangkau telepon, mencet tombol dari angka 0812…..

            Saya terdiam, menatap Dirohadi yang menelepon entah siapa.

            “Halo…, bagaimana, Ma? Jam berapa pulang? Oke…, nanti saya telepon lagi…, ha? Oke…, beres! Lima menit lagi? Dua? Oke…, daag…,” Dirohadi menutup telepon.

            “Siapa?” tanya saya.

            “Biasa…, istri…,” sahut Dirohadi, kemudian kembali memperbincangkan topik saya. “Terus…, apalagi yang membuat kamu puyeng?’

            “Ah…, soal istri pamer sih sebetulnya wajar-wajar saja. Bukan istrimu saja kok, yang punya kecenderungan memamerkan kekayaan, jabatan suami, IQ anaknya dan hal lain yang mereka anggap perlu dipamerkan. Bukan istrimu saja yang punya tabiat seperti itu. Banyak dan itu biasa-biasa saja. Wajar,” kata Dirohadi.

            “Ah, masa iya, sih?” tanya saya tak nyakin.

            “Iya. Dan bukan cuma istri saja yang punya kecenderungan pamer. Kaum suami juga punya kecenderungan memamerkan istrinya. Misalnya memamerkan kecantikan istrinya supaya orang mengagumi kehebatannya dan keberuntungannya menjadi pria beristrikan wanita cantik. Atau memamerkan keburukan istri pada wanita yang lebih cantik supaya….”

            “Ah, kamu mesti ngawur!” tukas saya.

            Dirohadi tertawa, lalu menjenguk alroji.

            “Pinjam teleponnya lagi, ya…, dan Rohadi kembali memutar angka yang dimulai dengan bilangan 0812…”

            Saya menatap Rohadi yang menelepon tanpa ekspresi.

            “Halo? Ya…, apa? Ah, masa iya, sih? Sama? Sama persis? Terus? Iya…, tapi merk itu sudah yang paling mahal, lho! Oke…, iya, iya…, nanti saya coba tanyakan ke dealer. Oke…, dua menit saya telepon lagi…, daaag..,” Dirohadi menutup telepon.

            “Istrimu lagi?”  tanya saya iseng-iseng.

            “Iya. Bah!” tiba-tiba saja Dirohadi memukul meja.

            “Kenapa?” tanya saya kaget dan heran.

            “Tahu nggak…, kurang dari dua jam ini aku sudah menelepon istri sebanyak enambelas kali!”

            “Enambelas kali dalam tempo kurang dari dua jam?” tanya saya mengulang sekaligus menegaskan.

            Dirohadi mengangguk.

            “Memangnya ada hal penting sampai kamu harus menelepon istrimu sesering itu?”

            Dirohadi menggeleng. Wajahnya mendadak kusut.

            “Lalu kenapa kamu mesti sering menelepon istri?”

            “Yaah…, istri saya ‘kan baru saya belikan hand-phone. Telepon genggam. Kebetulan hari dia ada beberapa pertemuan di beberapa tempat. Ada arisan, seminar, kursus kepribadian….”

            “Terus?”

            “Ya…, saya diminta sering menelepon, supaya hand-phone yang disimpan dalam tasnya berbunyi…, supaya dia bisa memamerkan hand-phonenya itu kepada teman-temannya….”

            Saya termangu.

            “Barusan dia bilang, hand-phone temannya juga berdering. Ketika istri saya melirik, dia lihat merk hand-phone temannya itu sama dengan merk hand-phone miliknya. Jadi, dia minta saya belikan hand-phone merk lain…, kalau bisa yang harganya lebih mahal dari hand-phone temannya….”

            Saya termangu, menatap Dirohadi yang lagi-lagi menjenguk alroji, kemudian meraih telepon dan memutar angka 0812….***

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara