Ketika Ide Itu Kering

Foto : Tan Mau Tri Tam/Pixabay

Menolak kering! Hal itu saya lakukan, ketika ide kreativitas saya serasa kering dan macet. Padahal saya seorang penulis. Dan mati hidup saya sepenuhnya untuk menulis.

Anehnya, setiap kali duduk di depan meja komputer, pikiran saya seperti benang kusut, dan cuntel. Padahal banyak ide yang minta dituangkan. Baru satu dua paragraf tulisan itu saya baca ulang, tapi serasa tidak menyambung. Sehingga untuk yang
ke sekian kali tulisan itu saya revisi, hapus, lalu saya tinggal pergi untuk merokok. Dan menenangkan diri.

Biasanya menulis sambil merokok, mendengarkan musik nan lembut, bermain dengan dogy, atau melihat pepohonan yang menghijau segar itu, saya dengan mudah memperoleh mood kembali.

Ternyata banyak cara yang saya lakukan itu gagal total. Baru kali ini saya mengalami kesulitan untuk menulis menuangkan ide!

Saya makin penasaran! Kenapa pikiran ini seperti buntu? Padahal untuk lancar menuangkan ide itu saya selalu membiasakan disiplin waktu menulis entah apa, baik pagi hari, siang, atau malam. Saya juga tidak peduli tulisan itu berbobot atau tidak. Karena karya itu saya endapkan minimal sejam, lalu saya edit. Bahkan, jika perlu ditulis ulang.

Anehnya lagi, untuk yang kesekian kali pula saya gagal menuangkan ide itu ke dalam bentuk tulisan.

Apakah saya sungguh mengalami kekeringan ide dalam menulis?

Bukankah penulis itu ibarat sumur, makin sering diambil airnya, sumber air itu makin jernih dan bening?

Saya lalu mencoba mencari akar masalah sebab kebuntuan pikiran ini untuk menuangkan ide itu ke dalam karya tulis.

Hubungan saya dengan banyak teman tidak ada masalah atau konflik, bahkan akrab.

Hubungan saya dengan seluruh anggota keluarga juga tidak ada persoalan. Anggota keluarga biasa bersikap terbuka, jujur, dan saling peduli satu dengan yang lain. Bahkan kedekatan hubungan nan akrab itu membuat kami bahagia. Lalu, kenapa saya mengalami kebuntuan untuk menulis?

Ketika tengah merenung sendirian di gazebo, saya seperti ditegur oleh suara asing:

“Kenapa kau meninggalkan Aku?”

Saya kaget! Saya lalu tengak tengok ke arah sekeliling untuk mencari sumber suara itu, tapi tidak menemukan.

Malam Minggu itu saya sendirian. Istri sedang beberes entah apa di dalam rumah, dan anak-anak pergi nglencer.

Di keheningan malam itu lamat-lamat dari dalam rumah terdengar lagu “Hidup Ini Adalah Kesempatan” yang dinyanyikan oleh Herlin Pirena.

Saya tersentak kaget. Saya seperti diingatkan dan ditegur oleh hati nurani sendiri. Karena selama pandemi ini saya tidak ke gereja. Jika pun mengikuti misa Kudus secara online.

Kini, setelah pandemi mereda, saya terbentur oleh pembatasan usia umat yang boleh mengikuti misa Kudus. Karena gereja sedang dibangun, dan saya termasuk lansia. Sehingga untuk mengikuti misa itu harus mendaftar dulu lewat belarasa.

Selain gaptek, tidak mau repot, dan … yang utama adalah saya jadi pemalas!

Penyesalan itu datang bergulung-gulung. Lagu “Hidup Ini Adalah Kesempatan”, sungguh mengaduk-aduk hati ini. Saya telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah.

Air mata saya mengembang. Bibir saya gemetar melafal doa untuk mohon ampun pada-Nya.

Saya masuk ke ruang kerja. Sekali lagi saya berdoa, lalu membaca Kitab Suci, dan merenungkannya.

Saya lalu duduk di depan meja komputer untuk memulai mengetik.

Astaga…! Langit pikiran saya seperti dibuka. Ide itu mengalir deras bagai bendungan yang jebol…

Sastra Ide dan Kita

Avatar photo

About Mas Redjo

Penulis, Kuli Motivasi, Pelayan Semua Orang, Pebisnis, tinggal di Tangerang