Ini Jalan Kita

Seide.id – Ya, ini jalan kita. Jalan kehidupan kita. Kita sama-sama menuju arah yang sama. Sama-sama meniscayai arah jalan kita. Namun cara kita menempuhnya belum tentu sama.

Cara menempuh yang belum tentu sama, ada yang melakoni perjalanan hanya manis di mulut, tapi kelakuan belum tentu. Banyak yang walk the talk, yang cuma bicara saja benar, kelakuannya lain lagi.

Ada yang melakoni perjalanan masih taraf kulit, namun belum sampai ke hati. Ada yang masih tahap religius, belum cerdas spiritualitas. Mereka yang masih memerlukan label agar dilihat orang lain, bukan tulus dalam menata kelakuan. Yang masih menjalani penuh id, dan ego, namun belum terkendali oleh iman, kendati mungkin hapal semua ayat. Mereka yang masih ingin dilihat orang lain kalau sedang berdoa, atau kalau sedang memberi. Inilah mereka yang belum khusyuk berbicara dengan Sang Khalik.

Ada yang menghalalkan cara demi duniawi. Rajin beribadah, tapi tetap menipu. Bukan rahasia kalau sampai ada ungkapan begini: “Kalau bisnis memanfaatkan ayat, tapi culas. Sepanjang hari kerja menipu klien, akhir pekan menipu Sang Khalik. Tempat ibadah selalu penuh, tapi koruptor tak berkurang.

Jalan kita mungkin masih panjang. Mungkin juga tidak. Dan itu misteri. Otobiografi perjalanan kita yang kita niscayai menjadi nilai siapakah kita.

Walau jalannya sama, tapi belum tentu semuanya mulus. Mungkin kita dilahirkan miskin, dan itu bukan salah kita. Namun kalau sampai tua kita masih tetap miskin, itu salah kita. Jangan pula salahkan Sang Khalik. Kartu kita belum tentu baik. Tapi bagaimana kita memainkan kartu kita sehingga kita memenangkan permainan, itulah ikhtiar kita.

Bahwa nasib hidup kita ialah apa yang menjadi ujung dari ikhtiar kita. Tanpa berikhtiar, kita hanya menerima keadaan, bukannya memilih keadaan. Jangan salahkan Sang Khalik kalau kita tidak pintar. Faktor IQ hanya seperberapanya kerja keras, perspiration, kata Einstein.

Butuh pula faktor cerdas secara emosi EQ (Emotional Quotient). Peran EQ lima kali lebih besar ketimbang pintar saja. Bagaimana luwes bergaul, penuh rasa empati, kental rasa kemanusiaan, lekat rasa bersahabat, dan memiliki kecerdasan sosial SQ (Social Quotient) yang tinggi. Itu semua modal untuk sukses duniawi.

Selama perjalanan katanya perlu seimbang dunia-akhirat. Maka di sepanjang perjalanan tidak cukup hanya berdoa saja. Tidak juga hanya berikhtiar semata. Perlu harmoni. Terlebih jangan sampai terjebak “hedonic treadmill”, terus tak henti mengejar duniawi, tapi kebahagiaan hidup lari di tempat.

Hidup ini indah, tergantung bagaimana kita melakoninya. Keras semasa kecil, akan lembut setelah tua bila ikhtiar kita penuh. Hikmahnya, jangan biasakan anak cucu kelewat lembut semasa kecilnya, mana tahu tuanya akan keras. Tua yang keras bukan cita-cita semua orang, karena bila itu yang terjadi, hidup akan kehilangan happiness.

Bahwa tujuan hidup kita sama, yakni meraih kebahagiaan, sejatinya bukan untuk menjadi kaya raya. Semua negara di dunia sekarang mengejar indeks happiness yang setinggi mungkin. Ternyata bukan negara kaya raya dan adikuasa yang indeks kebahagiaan rakyatnya tinggi, melainkan negara kecil yang tidak kaya. Sebut saja Bhutan dan Finlandia, serta semua negara Skandinavia. Negara kaya justru rendah indeks happiness-nya.

Maka paradigma sekarang, hendaknya jangan didik anak jadi orang kaya, melainkan didik mereka supaya menjadi orang berbahagia. Bila anak dididik jadi orang kaya, anak menilai segala sesuatu sebagai harga, bukan sebagai nilai. Anak yang akan menilai orang dari apa yang dipakai, semegah apa rumahnya, apa merk mobilnya, dan bukan siapa kepribadiannya.

Stasiun terakhir perjalanan kita nanti hendaknya sebuah tempat yang indah, yang ayem, tentrem, gemah ripah, yang sudah berhasil menjadikan kita seorang Profesor Kepribadian, dan Insinyur Kebahagiaan. Untuk itulah kita berhak meraih Oscar Kehidupan.
Salam tabik sama-sama mengarungi.

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul

IKUTI : Hidup Ini Terlalu Indah Untuk Tidak Dirongrong Penyakit