POJOK BUKU Jose Rizal adalah oase dari kegersangan TIM yang kini tengah dibongkar dan dibangun, dalam proyek akbar komplek TIM yang tengah dikembangkan sebagai pusat seni budaya dunia. Konon, pendesain dan insinyurnya dari Australia.
Proyek pembaruan TIM sempat menuai protes, di antaranya Radhar Panca Dhana (alm) – sesama alumni Bengkel dan novelis Noorca N. Massardi. Bahkan dibawa ke Komisi X DPR RI, namun protes itu mereda setelah mereka dipertemukan dengan pihak yang bisa menjelaskan.
” Ada kesalahan Pemda DKI mengutus orang; untuk menjelaskan kepada para seniman. Yang dikirim nggak tahu ‘bahasa seniman’, sok jagoan juga. Jadinya bukan dialog malah nantang berkelahi, ” kata Jose menyesali.
“Kalau sudah jadi di sini akan menjadi pusat seni dan pertunjukan terbaik di seluruh dunia, ” katanya.
Panjang lebar dia menuturkan rencana rencana dan perubahan di TIM. Gedung pertunjukan, tempat latihan, teater, kine klub, gedung dokumentasi sastra HB Jassin penginapan seniman dalam. Satu kompleks. Di seluruh dunia hanya ada di TIM, tegasnya.
TIM saya sambangi sejak 1980-an, sejak sang legenda dan maestro lukis Affandi, R. Basoeki Abdullah masih sehat dan pameran tunggal. Juga mengenal SriHady Soedarsono di sana, Nazar dan Hardi, nonton pentas baca sajak Sutardjo Calzoum Bachri, WS Rendra, setelah dilarang tampil selama bertahun tahun oleh rezim Orde Baru.
Ikut diskusi filsafat dan budaya dari Prof. Wiratmo Soekito, Drs. Asrul Sani, Mochtar Lubis, bersama Pak Boedihardjo, mantan Menteri Penerangan, yang rajin mendokumentasikan dengan kamera poketnya.
Nonton pertunjukan di Teater Terbuka, Tertutup, Teater Kecil, ikut shalat di masjid Amir Hamzah dan melihat latihan tari di Huriah Adam, di halaman belakang.
Semua berubah kini. Dan semoga menjadi lebih baik, lebih indah dan lebih megah, sebagaimana digagas pembangunannya dan dijelaskan Mas Jose.
Meski demikian, surganya TIM, sejauh ini, bagi saya masih pojok Buku Jose Rizal Manua. ***