Seide.id – Foto udara di masa perang sangat penting fungsinya. Hasil foto bisa membantu kita untuk melihat keadaan lawan. Memperhatikan di mana kekuatannya, sekalig mempelajari titik kelemahannya.
Saat kita akan melakukan pemboman, foto udara juga membantu untuk menentukan titik atau patokan ke mana kelak bom akan kita jatuhkan. Kru pesawat pembom B-29 Enola Guy, misalnya, menggunakan Jembatan Aioi di Hiroshima, Jepang, sebagai patokan untuk melepas bom atom dengan sandi Little Boy, saat mereka membom kota itu pada 6 Agustus 1945.
Setelah pemboman, foto udara juga dibutuhkan untuk mempelajari sejauh mana kerusakannya, meleset atau tidak bom yang dijatuhkan.
Nah, kemajuan teknologi saat ini, dengan hadirnya satelit, memudahkan manusia untuk mengintip kondisi sebuah negara cukup dengan memotretnya dari luar angkasa.
Atau, bisa juga memanfaatkan drone yang kian canggih dan makin jauh daya jelajahnya.
Nah, bagaimana dengan pemotretan udara di masa Perang Dunia (PD) II? Ini menarik untuk disimak karena ukuran kameranya besar sekali!
Kameranya besar, juga filmnya
Merk kameranya adalah Fairchild K-17, didisain dan dibuat secara khusus untuk US Army Air Force (saat itu Angkatan Udara AS masih jadi satu dengan Angkatan Darat) oleh Folmer Graflex di Rochester, New York (Rochester juga merupakan “rumah” Kodak Film) pada awal 1940.
Gambar yang dihasilkan ukurannya besar yakni 9 inci x 9 inci atau 22,86 cm x 22,86 cm. Boks tempat menaruh film juga raksasa besarnya yakni kira-kira 24,3 cm persegi.
Karena memotret di udara dahulu sangat repot, maka boks film tadi dibuat mampu menampung 200 film atau gambar. Ini agar pesawat tidak harus turun naik hanya untuk isi film.
Ukuran lensanya juga mampu membuat mata terbelalak. Kalau lensa kamera biasa umumnya diukur dengan milimeter, lensa kamera udara era 1940-an menggunakan ukuran inci.
Ada tiga lensa yang tersedia: 6 inci dengan bukaan diafragma terbesar pada f/6,3 ; 12 inci pada f/5; dan 24 inci pada f/6.
Beratkah beban kamera dan rol filmnya? Ternyata lumayan, kurang-lebih 13, 6 kilogram. Dan, kalau sudah dipasangi lensa, bebannya jadi bertambah. Dipasang lensa ukuran 12 inci, berat totalnya mencapai 25 kg. Kalau kamera itu menggunakan lensa panjang 24 inci, beban totalnya luar biasa, kira-kira 35 kg!
Badan harus kuat
Tentu butuh stamina ekstra untuk menenteng kamera yang demikian besar dan berat. Awal mulanya kamera memang masih dipegang langsung oleh fotografernya dan si pemotret harus berdiri atau jongkok di kokpit.
Jadi, selain badan harus kuat, keberanian juga mesti berlipat. Bayangkan berdiri di kokpit pesawat yang sedang melesat di udara terbuka! Betapa berbahayanya.
Tahap berikutnya, demi keamanan, kamera dipantek di sisi pesawat atau dibaut di lantai bawah dan si pemotret tinggal tiarap sambil memotret.
Gambar di atas ini adalah Sersan Daniel F Hentscher, yang membuat foto udara dengan kamera yang dipegang langsung dari jendela samping pesawat pembom B–24. Lensa yang dipasang ukuranya 24 inci, itu berarti ia terus berdiri sambil menahan beban seberat 35 kilogram!
Repot sekali ya membuat foto udara zaman dulu (gun)