Ken Zuraida Dalam Kenangan

RENDRA suka sama kamu!” sambut Mbak Ida, setelah dua kali saya menyambangi markas Bengkel Teater di Jl. Mangga Raya 89 – Depok di tahun 1986. Matanya berbinar seperti mak comblang yang berhasil menjodohkan dua orang yang sedang saling jatuh cinta. “Saya tahu dia. Kalau ada tamu yang dia sukai,  dia pakai parfum. Tadi dia pakai parfum, ” jelasnya.

Saya hanya mengangkat dua tangan dan memberi tanda sembah sambil mengangguk takzim – sebagaimana salam orang Budha di Thailand. Salam sembah itu dihidupkan di Bengkel Teater Rendra menjelang pementasan Panembahan Reso 1986.

Saya ngobrol dengan Mbak Ida – panggilan saya untuk Ken Zuraida  –  setelah WS Rendra melayani saya sebentar,  untuk pergi latihan. Kami ngobrol berdua.  Itu kesekian kalinya saya datang ke markas Bengkel setelah wawancara tengah malamnya masuk halaman satu di koran tempat saya bekerja, beberapa hari sebelumnya.  Sejak itu pula saya sering main ke Bengkel Teater.

Koran saya koran kriminal. Banyak darah mengalir di pemberitaan, kejahatan, orang orang yang diborgol dan segala pemacam kejahatan. Redaktur Pelaksana HM Syukri Burhan menugasi saya meredam dan menghaluskan dengan berita seni dan kebudayaan.

“Tidak ada salahnya menghadirkan WS Rendra, Guruh Soekarno, La Rose, Titiek Puspa,  di koran kita, “ kata almarhum Pak Syukri – 35 tahun yang lalu. Saya mengiyakan, meski gamang. Saya coba, dan satu satu saya sambangi. Ternyata semua terjangkau. Meski semua terkejut ketika saya datang, menelepon dan memperkenalkan diri. “Pos Kota mau wawancara saya?” Tanya mereka dengan suara kaget.

WS Rendra, pentolan Bengkel Teater, seniman dan budayawan flamboyan, tokoh kritis yang diawasi aparat pemerintah, di antara nama seniman kondang yang paling menantang. 

Saya datang sebagai reporter muda. Wajah culun dan gagap,  tapi tak mau konyol, sehingga giat melakukan riset pustaka. Saya baca buku semua tentangnya yang ada di perpustakaan. Dan ketika saya berhadapan saya sudah tahu apa yang saya tanyakan. Saya membawa notes dan menyiapkan daftar pertanyaan.

“Mas Willy suka sama kamu waktu kamu tanya, sebenarnya sebagai budayawan maunya negara musti ngapain? Selama ini seorang WS Rendra cuma mengritik dan tak menjelaskan apa tuntutannya, ” ulang Ken.

Saya ingat, saya memang menanyakan itu.   Masa itu WS Rendra menjadi pengritik keras pemerintah. Sajak sajaknya – sebagaimana terkumpul dalam Pembangunan dalam Puisi (1979) – bernuansa konfrontatif.  Juga pertunjukan teaternya, hingga dia dipenjarakan.  Sempat dijebloskan ke RTM Guntur, penjara paling menyeramkan di masa Orba.  Tapi dia terus mengritik sehingga kegiatannya dibatasi. Bahkan dilarang.  Intel selalu mengawasinya.

Konon, menurut Ken, baru saya yang menanyakan itu. “Maunya Rendra apa? Pemerintah harus bagaimana?”

Hubungan kami selanjutnya seperti kakak beradik. Tak cuma menjalin keakraban sebagai seniman dan wartawan, WS Rendra dan Ken Zuraida membawa saya ke New York – Amerika, nyaris sebulan.  Saya hampir jadi warga negeri paman Sam, karena digoda staf Konjen RI di sana, supaya jangan pulang.  Mas Willy memberi rekomendasi kalau mau bea siswa. Saya menolak, karena beberapa minggu sebelumnya baru tunangan.  Mau kawin saja.

Mbak Ida menjadi saksi, saya pamit duluan, karena ditunggu di Tanah Air. Juga uang saku yang sudah menipis.   “Nggak usaha kuatir, Mas Willy juga biasa terbang hanya dengan pegang 10 dollar, “ kata Mbak Ida menghibur. “Yang penting tiket pesawat sudah confirm, “ katanya

TIDAK MUDAH bagi Ken Zuraida bersuamikan seorang WS Rendra. Di usia 50, saat saya dekat dengannya,  pesona keaktorannya masih memancar. Dia bukan hanya karismatis, cerdas, tapi juga matang, dan ganteng. Banyak wanita tergila padanya. Dan dia punya banyak pengalaman mendapatkan wanita. “Kata Mas Willy, mereka terlalu mudah menyerah, ” kata Mbak Ida.

Penulis bersama Ken Zuraida, aktor sutradara Jose Rizal Manua dan pelukis Jupri Abdullah di Halaman Balai Budaya Menteng, Jakarta, Juli 2019 lalu. – foto : koleksi dms

Saya duduk bersebelahan dengan aktris dan model Zoraya Perucha, sama sama menyaksikan ketika Rendra menjadi pembicara dalam acara kebudayaan. Ucha, panggilan Perucha, sesekali mencubiti saya, “Gitu deh Mas Willy, gitu deh…” bisiknya, gemas.  Rendra bicara tentang peradaban Inggris, Tiongkok dan Mataram, dan pengaruhnya pada kekuasaan pemerintah Orba dengan sangat fasih dan memukau.  Hadirin terpesona.

Saat itu Ucha memang sedang dekat dengan Rendra dan main dalam salahsatu karya panggungnya, Oidipus Sang Raja (Istora, Juli 1987).

Ida Ken Zuraida bukan hanya sabar ketika Rendra di puncak masa popularitasnya, bersuamikan pria yang dikeliling para wanita cantik. Ida juga tahan saat mereka mengalami saat saat tersulit dalam perjalananan keseniannya,  saat  dilarang mentas, masuk RTM (rumah tahanan militer), tak ada pemasukan, buat menafkahi keluarga, saat kedua isteri sebelumnya, meninggalkannya.  Sunarti dan Sitoresmi mengajukan gugatan cerai. Hanya Ken Zuraida yang terus bertahan.

Ken Zuraida, aktris, sutradara, pegiat seni, meninggal di usia 67 tahun, Senin pagi, 9 Agutus 2021, dimakamkan di sebelah suami tercinta, penyair dan budayawan Si Burung Merak, WS Rendra di Cipayung Bogor . foto Dms.

Bagi orang lama di Bengkel, sebaliknya. Khususnya yang aktif di Depok, baik di Mangga Raya maupun Cipayung.  Tak mudah bagi Rendra beristrikan Ken. Ida bukan type perempuan Jawa sebagai  koco wingking  dan pendamping semata.  Atau teman tidur. Isteri yang nrimo. Ken Zuraida adalah sparing partner yang sama kuatnya.

Saya – dan kita semua – menyaksikan kemesraan mereka dan saling memuji dan menyayangi, satu dengan yang lain. Ikatan cinta mereka bukan hanya melahirkan dua anak (Isaias Sadewa dan Mariam Supraba), melainkan juga bertahan dalam kasih sejati, hingga akhir hayat masing masing . “Mas Willy itu guru, sahabat,  kekasih, tempat curhat, lawan debat, ” katanya dalam wawancara di Youtube.

Yang tak diucapkan Ken Zuraida, WS Rendra juga lawan kelahi.  Baik saat berdua maupun di depan anggota Bengkel, mereka juga berselisih, saling berteriak,  bertengkar hebat. Bahkan adu fisik.  “Hari ini kelahi, besok mesra lagi, “ kenang seorang anggota. “Kami masih dibikin kaget, eh, tahu tahu mereka pulang bareng turun mobil, nenteng belanjaan, kayak nggak ada kejadian apa apa,  “ kata seorang anggota senior Bengkel, sambil senyum senyum.

ITULAH yang saya kenangkan tentang Ken Zuraida, teaterawati, isteri Mas Willy WS Rendra, yang meninggal kemarin pagi. Sepanjang jalan menuju rumah duka di Cipayung,  Depok,  saya mengenangkan pengalaman kebersamaan kami. Saya dan Mbak Ida.

Terakhir kami ketemu di Balai Budaya – Menteng, dalam pameran lukisan 70 tahun Remy Sylado, Juli 2019 lalu. Lama sekali tak bertemu saya mencium tangannya, mencium ke dua pipinya dan membisikan kata,  “apa kabar? ”. Lalu dengan keramahannya seperti biasa, dia berbisik, “Kamu kemana aja?” Lalu kami saling melampiaskan kangen, dan mengabsen nama teman teman yang ke Cipayung.  “Kapan kapan saya main, “ bisik saya, sebelum berpisah, “ ditunggu, ya?” sambutnya, dengan senyum.

Lalu Covid 19 datang, dan kemarin saya baru bisa ke Cipayung, melihat gundukan tanah merah bertabur bunga. Wajah wajah kesedihan mengantarkannya,  berbaring bersama kekasih tercinta, Mas Willy Rendra di sampingnya.  Iwan Burnani, Klono Gambuh, Otig Pakis, Dewi Emalia Joesoefina, Malhamang  Zamzam, Uki Bayusejati, Ahmad Yusuf,  Totok Tewel, Edi Haryono masih di Pekalongan dan dalam perjalanan.  Ada juga Nampak A’uk (Clara Shinta) , Mei Mei (Mariam Supraba), dan anak anak Mas Willy serta cucu serta sahabat dan rekan Rendra dan bengkel teater selama ini.

Selamat jalan, Mbak Ida. Selamat berjumpa dengan Kekasih Abadimu.  Semua kebaikanmu tak terlupakan. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.